3.

142 11 0
                                    

Biasanya sebelum orang-orang pergi, terkadang kita akan membuat serangkaian kata untuk perpisahan. Contohnya, Dazai yang selalu berdiri di depan makam orang itu, Odasaku.

"Sudah-sudahlah, sampai kapan?" Tegur Dazai tenggelam sendirian pada dirinya sendiri. Menuntut kesadaran saat ia mulai melemah lagi.

Matanya menatap lurus ke batu nisan bertuliskan nama pria paruh baya yang umurnya sedikit lebih tua. Kadang, dia selalu kemari hanya untuk menenangkan kebisingan yang makin berisik.

Namun bukan ketenangan dan teduh yang dia dapat, dia selalu merasa kian jatuh sampai frustasi kala berdiri di depan peristirahatan terakhir Odasaku.

Ia kemari, karna ia ingin bersandar. Ia ingin seseorang tau, dan dia ingin merasa sembuh bahkan berlari saat kaki-kakinya mungkin sedang lumpuh. Namun, pada siapa? Pada batu nama?

Pada siapa Dazai bersandar? Pada siapa dia mulai menyerahkan diri? Odasaku? Tidak, jangan bercanda.

Kekehan kecil keluar dari bibirnya. Tepat setelahnya, dia pasti akan mengatupkan mulut seolah memang bisu dari awal.

"Aku bosan kemari." Dia mulai gelap.

Netranya tiada lampu. Enggan bercahaya atau bahkan mengerjap silau. Dia butuh seseorang menegur bahunya sekarang. Selamatkan dia agar dapat bernafas lagi.

Kala tiga detik kemudian saat dia menelusuri tiap benak, rintik-rintik berjatuhan. Renyai hujan yang mulai berderu nyaring, Dazai membiarkan tubuhnya tumbang disiram angin dan air ribut.

"Hujannya deras," ia bertutur masih menatap ke arah batu nisan. Dazai sedang bicara dengan orang mati.

Semuanya terasa percuma. Dia melakukan ini pun percuma. Bernafas percuma. Bergerak percuma. Hidup pun, percuma.

Tidak ada motivasi apapun, dia kosong. Dazai telah hancur dan hilang sempurna.

Rintik yang makin kali dibiarkan, makin kali juga menyerbu kejam. Basah total, Dazai bahkan tidak mengangkat kepalanya dari mematung ke arah Odasaku.

Tidak ada seorang pun yang tau atau berani mengira perihal apa yang sedang ia renungkan.

Hari-hari kian berdarah. Dan orang yang mengaku sebagai pangkuannya tidak ada disini. Walau, mereka sedang berdiri berhadapan. Dazai melemahkan penjagaannya, di masa itu pula ia kehilangan alasannya untuk hidup.

Memainkan musik pelan di nada yang sulit, Dazai. Hujannya menderas, tidakkah kamu ingin berteduh?

Dingin dan dingin. Lama-kelamaan kain kasa yang dipakainya ini juga ikut basah. Mereka luntur susah merekat di pergelangan. Hilang pegangan sampai-sampai hampir terlepas.

Dan, tidakkah kamu bisa lihat goresan-goresan di tangannya itu? Horizontal vertikal bagai barcode yang diacak 300 kali.

Rasa sakit yang merambat pelan, menjalar ke goresan-goresan yang belum sembuh dengan matang saat air hujan beri sapa dan mengajak bicara sang luka. Tapi bodohlah pasal rasa sakit itu. Lagipula yang dapat dirasakannya memang kekosongan percuma.

Tapi coba dipikirkan lagi? Kenapa harus Odasaku yang telah hilang, sementara Dazai sebenarnya masih memiliki orang yang masih hidup. Pertanda, entah Dazai memang buta tidak bisa melihat sekitar, atau ia sengaja bodoh bertampang tidak tau memilih tuk menetap.

Maka inilah saatnya sang pengdialog pencipta naskah ini untuk bicara. Menyadarkanmu makhluk tak ingin hidup tentang satu orang yang masih peduli. Dia dengan rambut pirang nya, mempedulikanmu sebagai bagian dari dia.

Karna apa?

Karna di setiap gerakan kecil yang orang itu lakukan, orang itu adalah kamu, Dazai. Menjadi alasannya jatuh cinta.

AMAN DENGANKU (Dazai X Kunikida / Kunikida X Dazai (Switch))Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang