1.1

82 9 1
                                    

'Prim berlari ke pojok, terjebak di antara rak-rak buku, tangannya yang memegang pisau terangkat ke udara.'

TAAAAK!

Apo membanting pena yang sedari tadi digenggamnya. Terlalu sayang untuk menutup paksa laptopnya seperti yang sering dirinya lihat di drama-drama. Ia masih membutuhkan laptop tua kesayangannya itu untuk mengerjakan tugas-tugas diakhir masa perkuliahannya.

Helaan nafas yang entah sudah keberapa, kembali dirinya hembuskan. Mencoba bersabar pada otaknya yang hari ini sama sekali tidak dapat diajak bekerjasama. Ia menatap layar yang sejak setengah jam yang lalu hanya dapat ia isi dengan beberapa baris kalimat. Bagaimana bisa dirinya menghasilkan sepuluh lembar naskah dalam dua hari jika begini caranya. Rasanya Apo ingin menangis saja di pojokan.

"Makanan dataaaang~"

Apo mengernyit saat May -sahabatnya- menggeser kedudukan laptopnya dengan semangkuk bubur panas dengan bola-bola daging cincang dan segelas teh hangat. Ia ingat betul jika dirinya memesan nasi dengan tumis basil daging super pedas. Mengapa May membelikannya semangkuk bubur?

"Kenapa bubur? Po tidak pesan bubur." Bibirnya mengerucut menatap mangkuk yang menguarkan aroma jahe tesebut.

"Come on. Kau sudah muntah sepanjang pagi, apa jadinya perutmu itu jika kau makan tumis daging pedas kesukaan mu itu?!"

Apo menyentuh perutnya, menyadari sedikit sensasi perih yang sedari tadi telah dirinya abaikan. Selalu seperti ini. Dirinya akan terus merasa mual dan muntah jika terlalu stres dan itu tidak akan berhenti hingga isi perutnya benar-benar kosong.

Seperti hari ini. Pihak universitas tiba-tiba saja menghentikan semua beasiswa miliknya tanpa alasan yang jelas. Padahal dirinya sama sekali tidak melakukan kesalahan apapun dan nilai-nilainya masih sempurna seperti biasa. Dirinya rela melewatkan kelas analisa film lanjutan kesukaannya demi mencari keadilan akan nasib dirinya. Namun, ia hanya dilempar kesana kemari dan semuanya berakhir nihil. Selanjutnya, Ia menghabiskan waktu satu jam di toilet, menangis dan mengosongkan isi perut ditemani oleh May yang rela berlari dari fakultas hukum ke fakultas seni.

"Kenapa? Mual lagi?"

Apo menggeleng. Meraih sendok dan mulai memakan makanan cair yang sebenarnya tidak terlalu dirinya suka tersebut. Lebih baik makan bubur daripada berakhir di rumah sakit.

"Aku akan minta bantuan papa untuk mencaritau soal ini."

"Tidak perlu, May dan paman sudah melakukan terlalu banyak untuk Po. Po merasa tidak enak."

"But this is so unfair... "

Suara gelak tawa dari meja yang berjarak beberapa meter dari mereka memutus kalimat May. Membuat gadis itu hampir saja melemparkan gelas limunnya ke arah meja tidak tau adab tersebut. Namun, suara Apo yang terbatuk langsung mengalihkan perhatiannya.

"Po?" May berani menjamin bahwa dirinya mengenal Apo lebih dari siapapun. Baginya, Apo seperti buku yang terbuka lebar yang dapat ia pahami dalam sekali lirik. Padangan Apo yang terus mengarah ke meja berisik tersebut menyita atensinya.

"Apa yang mereka lakukan padamu?"

"Tidak ada."

"Jangan bohong Po."

"Tidak ada May sayang."

Sebuah lonceng besar berdentang di kepala May. "Phunsakorn sialan!"

May sudah bersiap untuk menghajar pria berambut setengah pirang tersebut. Namun, aksinya digagalkan oleh Apo yang menariknya untuk duduk kembali.

"Jangan membuat keributan. Kita tidak tau apa yang akan Phu lakukan ke May. Po tidak mau May ikut terlibat."

Phu atau Phunsakorn adalah teman satu jurusan May. Ayahnya adalah petinggi yayasan yang menaungi universitas mereka dan ibunya tentu saja adalah donatur terbesar pula. Statusnya memungkinkan Phu melakukan apa saja sesuai keinginannya, yang mungkin saja termasuk meminta universitas menghapus beasiswa milik Apo karena Apo menolak ajakan tidurnya.

ARCANE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang