Sunyi, dingin, gelap, seorang perempuan bernama Jovita tengah duduk di bagian paling atas bangunan tua tak berpenghuni.
Ia hanya terdiam menikmati pemandangan motor mobil berlintasan dari atas. Dengan ditemani satu kaleng kopi dan rokok yang ia beli tadi di supermarket untuk mengurangi rasa kesepiannya.
Tak ada yang istimewa sebenarnya. Sudah menjadi rutinitasnya sehari-hari duduk di atas sini.
Berharap bisa langsung loncat saja tapi dosa yang ia miliki masih cukup banyak. Dan dirinya masih tak mampu menanggungnya.
Huh, berpisah dengan seseorang yang ia sayangi membuat dirinya kehilangan arah. Tak ada lagi yang bisa memanjakannya, memeluknya, menciumnya, dan yang paling menyedihkan tak ada lagi seseorang yang mengusap-usap punggung dan kepalaku ketika dirinya tertidur.
Baginya ini mengacaukan, sungguh mengacaukan.
Dirasa sudah terlalu dingin dan membuat tubuhnya sedikit gatal karena alergi yang dimilikinya membuatnya menengok jam di handphonenya yang sudah retak karena ulahnya, karena dia yang tak bisa mengatur diri. Sekarang sudah menunjukkan pukul 23.24. Ia pun bangun dan memutuskan untuk pulang. Setidaknya duduk selama 4 jam disini sudah sedikit membuatnya merasa tenang, jadi ia bisa pulang dan semoga malam ini tidurnya tak lagi memikirkan seseorang yang sudah lewat.
****
Itu aku, Jovita Oksana namaku. Dan perempuan manis di sampingku itu, adalah dia. Namanya Jingga, Jingga Hana Daniella lebih tepatnya. Tinggi badannya hanya sebatas hidungku saja, dan itu membuatnya begitu menggemaskan. Perempuan cantik dan lucu dengan gigi gingsulnya. Senyumnya membuat candu, ia selalu tertawa, namun itu dulu, sebelum ia jatuh cinta denganku.Aku mengenalnya sejak kelas 3 SD. Iya, dia teman SD ku, juga teman SMP ku, dan beranjak menjadi teman SMA ku. Kita selalu satu sekolah, tidak ada yang istimewa, banyak yang seperti itu.
Saat SD aku hanya mengobrol dengannya saat kelas 3 dan 4, saat kita benar-benar satu kelas. Selebihnya, aku tak mengenalnya. Karena dirinya yang pendiam, dan aku yang tidak terlalu mempedulikannya.
Saat SMP pula kita tak pernah mengobrol, berpas-pas an saja kita tak saling menyapa. Aku yang terllau gengsi dan dia yang tak terlalu suka dengan lingkup pertemanan ku saat itu membuat kami tak saling mengenal. Malahan aku lebih dekat dengan sahabatnya, Alya. Iya aku dan Alya pernah berteman baik saat SD kelas 6. Ia memang berbeda sekolah denganku, tapi kami kenal dengan cukup baik.
Dan untuk Jingga yang tak menyukaiku circle pertemananku waktu SMP ya itu memang wajar. Memang kala itu pertemananku sedikit kelas atas, namun sekarang sudah tak lagi.
Kemudian aku kembali mengobrol dengannya pada saat memasuki SMA. Pada saat masa PLS kami di gugus yang sama. Aku mengajaknya bicara karena aku rasa dia tidak punya teman, tak teman sekelasnya saat SMP yang berada di gugus kita. Sedangkan aku, aku bersama Naya, sahabatku saat SMP. Kita mengajak Jingga mengobrol karena kita takut dia merasa kesepian. Namun Jingga masih terlalu pendiam. Tapi entah aku saja yang merasa atau bagaimana, tapi Jingga begitu dingin padaku, berbeda dengan sikapnya pada yang lain. Saat itu aku belum meras kalau Jingga memang tak suka padaku. Bahkan waktu itu aku dengan beraninya memfollow second ignya yang padahal aku tau isinya hanya untuk teman-teman dekatnya saja.
Lalu pada saat malam terakhir masa PLS itu aku baru sadar, jika memang Jingga tak menyukaiku. Dia selalu menghindar ketika ku dekati jadi aku pun tak mencoba lagi untuk berteman baik dengannya
Yasudah aku tidak terlalu peduli awalnya, karena ku kira nanti di kelas 10 asli kami tak akan satu kelas. Dan ternyata aku salah.
Kita sekelas
KITA SEKELAS
Dan kisahku bersama Jingga, dimulai dari sini.
tbc.