⊱ ━━.⋅ εïз ⋅.━━ ⊰
Tepat pukul 23.30, Saskara sampai di rumah sakit. Laki-laki dengan baju kaos yang sudah lusuh serta rambut berantakan itu berlarian di dalam rumah sakit. Hati serta pikirannya benar-benar berantakan saat mengetahui sang Ibu kembali drop dan harus segera dilakukan tindak operasi. Ruangan Ibu nya dirawat berada di lantai tiga, Saskara dengan dada yang sesak karena berlarian serta kekhwatiran, hanya bisa mengumpat kesal.
Saat pintu lift terbuka Saskara kembali berlari di lorong rumah sakit yang sepi.
Saat Saskara berada di ruangan Ibu nya di rawat, ia langsung membuka pintu ruangan tersebut. Dan saat itu juga Saskara kembali berderai air mata saat di mana melihat Ibu nya mengejang dengan hebat dengan para dokter dan perawat di sekitarnya. "BU! IBU!" seru laki-laki itu diiringi dengan air mata yang terus berjatuhan.
Belum sempat Saskara menghampiri sang Ibu, ia sudah terlebih dahulu ditahan dan dibawa keluar oleh petugas rumah sakit.
"Tolong beri kami ruang untuk menangani Ibu kamu. Kamu harap tenang, Ibu kamu pasti akan baik-baik saja," suara seorang suster dengan membawa Saskara pergi keluar.
Saskara mengusap wajahnya dengan gusar, "tolong, Sus! Berikan yang terbaik untuk Ibu saya, saya bayar berapa pun, Sus, asal Ibu saya selamat." Suster itu hanya mengangguk dan tersenyum, lalu pergi meninggalkan Saskara.
Saskara duduk lemas di lantai rumah sakit yang dingin, pikirannya benar-benar sangat kacau, ia tidak bisa membayangkan bagaimana jika Ibu pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Saskara menggeleng, menghilangkan segala pikiran negatif yang berkecamuk di kepalanya. Tubuhnya perlahan menenang dengan mulut yang terus melafalkan segala doa untuk keselamatan Ibu nya.
16.45 WIB.
Saskara tersenyum tulus sore itu, tangannya sibuk menyuapi sang Ibu yang terbaring di brankar rumah sakit. Melihat wajah sang Ibu yang pucat dengan bibir yang kering sangat munafik jika Saskara masih bisa tersenyum sedangkan Ibu nya sedang menderita dan menahan segala rasa sakit yang menimpa. Meskipun begitu Saskara tidak mau membuat Ibu nya sedih, maka dari itu Saskara harus tetap tersenyum seperti ini agar Ibu tidak ikut mengawatirkan dirinya.
Saskara menaruh tangan yang mulai terdapat kerutan itu di pipinya, serta menciumnya beberapa kali. "Bu, Ibu pasti sembuh, kan?" Saskara berucap sembari menaruh mangkuk.
Bibir yang kering dan pucat itu tersenyum. "Iya, Saskara. Ibu pasti sembuh."
"Iyaaa. Saskara percaya sama Ibu." Saskara kembali mencium tangan Ibu, lalu Saskara kembali tersenyum. "Kalau dulu Ibu yang suapin Saskara, sekarang gantian, Saskara yang harus suapin Ibu," lanjut laki-laki itu, diiringi air mata saat Ibu yang mulai perlahan memejamkan matanya.
Sudah satu minggu penuh Ibu dirawat di rumah sakit. Meskipun Ibu bersikeras tidak mau di rawat tetapi Saskara tidak mungkin menuruti dan membiarkan sang Ibu begitu saja sedangkan dirinya ingin Ibu sembuh dan mendapat perawatan yang terbaik. Saskara akan lakukan apapun untuk kesembuhan Ibu, sekalipun ia harus mempertaruhkan nyawanya ia akan lakukan untuk kesembuhan Ibu.
Setelah berbincang dengan Dokter mengenai Ibu yang harus segera dioperasi dan juga melihat biaya tagihan rumah sakit yang mulai bertambah menjadi sekian juta, Saskara hanya bisa menghembuskan napasnya dalam-dalam. Ia memejamkan matanya, dan meremas ponsel digenggamnya, Saskara berdecak saat seseorang yang ia hubungi tak kunjung menjawab teleponnya sejak satu minggu yang lalu.
Tabungan yang ia punya hanya tersisa kalengnya, Saskara sudah pinjam uang kesana-kemari bahkan ia sudah menjual sepatu futsalnya agar mendapatkan uang untuk biaya rumah sakit. Tapi ternyata masih kurang untuk biaya operasi dan segala halnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
1,5 M!
Teen FictionJika Hanna diberi pilihan untuk memilih kekasihnya atau uang satu koma lima miliar, maka gadis itu akan memilih opsi kedua. Hal itu ternyata benar adanya terjadi pada Hanna, seorang karyawan minimarket yang memiliki kekasih anak konglomerat. Bukan...