2. All Too Well

5 0 0
                                    

Kadang Paris merasa konyol karena menerima ajakan Edith untuk berpacaran karena satu cup gelato. Terlebih hubungan mereka yang tidak pernah renggang selama kurang lebih lima belas tahun ini. Paris tidak pernah dekat dengan perempuan, kecuali Mamanya, Edith dan Shena. Tidak ingin? Bukan juga. Tidak ada yang mendekatinya? Ini juga bukan karena tidak sekali dua kali dia didekati oleh temannya, atau bahkan orang yang Paris tidak tahu siapa namanya. Paris tidak mempermasalahkan eksistensi cewek-cewek itu. Tapi, Edith iya. Cewek-cewek itu segera menjauh dari Paris ketika Edith sudah mengusir mereka secara perlahan, entah dengan menggenggam jemari Paris, maupun memainkan rambut cowok itu ketika mereka berada di tempat ramai. Dia juga tidak menolak perlakuan Edith. Menjadi pihak pasif bukan hal yang sulit untuk Paris. Apakah dia pernah merasa muak? Lagi-lagi Paris tidak tahu. Dia hanya bersikap terbuka atas Edith dan segala perlakuannya tanpa pernah menolaknya.

Suka? Atau sayang? Cinta? Paris tidak pernah tahu dan tidak pernah berpikir dalam tentang itu. Paris pernah membaca buku yang menyebutkan, ketika diri sendiri kesal dan marah saat ada satu orang yang didekati atau mendekati orang lain baik secara romantis atau tidak, maka itu adalah suka, karena perasaan kesal disebut cemburu. Lima belas tahun bukan waktu yang sebentar. Paris tidak pernah cemburu terhadap Edith. Tapi mungkin karena tidak ada orang lain yang mendekati Edith, karena mereka berdua sudah seperti lem dan perangku. Paris tidak pernah bisa memastikan perasaannya dengan betul. Paris bahkan sempat mengira hubungan antara dirinya dan Edith sebatas cinta monyet, kalau Edith tidak pernah absen memberinya gelang bracelet buatannya sendiri. Shena bahkan hanya punya satu, itu pun kembaran dengan dia dan Edith. Entahlah, Paris tidak tahu perasaan apa yang ada pada diri sendiri jika itu sudah menyangkut Edith.

"Seriously, Shen?!" Mata Edith melebar, dia hampir meneteskan air mata kalau tidak segera di beri tisu oleh Paris.

Mereka tengah berada di kantin sekolah. Setelah sesi pengenalan lingkungan, murid-murid baru diperbolehkan untuk makan siang dan masuk kelas pada pukul dua belas. Sekarang pukul sebelas, dan masih ada satu jam untuk istirahat dan mereka bertiga memilih untuk makan siang di kantin.

"Kenapa emangnya?" Shena malah balik bertanya.

"Gue kira lo nggak bakal menyentuh yang namanya bakery ataupun menyanyi lagi. Terharu."

"Ya, selagi bisa kenapa nggak. Gue bisa jenuh juga kalau nggak nyentuh dua hal itu. Lo sendiri mau ikut apa?"

"Lo mau ikut apa, Ris?"

Paris yang lagi menyedot jus jambunya berhenti. Dia terdiam sambil menatap Edith. "Kok malah balik tanya ke gue sih? Jangan coba-coba ngikutin gue."

Edith meringis, "Yah. Ketahuan deh." Cewek itu kembali berpikir. "Kayaknya mau join basket?"

"Nggak nyampe lo mau nge-shoot. Nggak usah."

"Lo mau ikut basket emangnya?"

"Nggak, sih. Tapi jangan."

"Dih? Katanya nggak boleh ngikutin lo?"

Shena sepenuhnya jadi nyamuk, seperti biasa.
"Yaudah. Terserah." Edith tersenyum senang.

"Emangnya lo mau ikut apa, deh, Ris?"

"OSIS."

Kini keduanya menutup mulut, menatap Paris tidak percaya. "Yakin lo mau jadi babu sekolah?"

"Lo aja yang petit mau ikut basket, kenapa gue nggak boleh ikut OSIS?"

"Ya... nggak apa-apa sih."

"Yaudah ini jadinya mau makan ayam geprek, apa ayam bakar?" Shena yang mulai merasa tidak enak karena atmosfer di antara mereka bertiga tidak enak segera menengahi.

Olive TreeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang