19. Awal Dari Sebuah Perjalanan

23 7 0
                                    


Naiang tidak sudi membiarkan ayahnya berlama-lama di tanah para bajingan ini.

Umat Rangraka. Umat Alaskafaca. Semua sama saja di matanya. Munafik. Bersembunyi di balik topeng ketaatan kepada agamanya, semata agar orang tidak bisa melihat menembus jiwa aslinya yang busuk dan bejat. Beda di antara mereka paling hanya satu; umat Rangraka berdalih pembebasan kebejatan mereka itu adalah bakti mereka pada sembahan mereka, sementara umat Alaskafaca menyombongkan diri mereka sebagai kaum paling welas asih padahal selalu diam-diam memandang rendah siapapun yang bukan mereka.

Cih.

Sepanjang malam, menembus gulitanya dunia dengan langkah yang terpatah-patah dan darah yang masih sesekali menetes dari hidungnya, Naiang menggendong jasad Beriang kembali ke kaki Bukit Beliung, ke rumah mereka berdua. Tak barang sekali pun ia berhenti untuk beristirahat, meski telapak kakinya terasa sudah terkuliti sampai habis dan bahunya sudah ia yakini akan selamanya bungkuk ke depan. Lapar dan dahaga bahkan tak sempat melintas di pikirannya.

Baru ketika semburat warna terang di langit mulai menyembulkan kepalanya di barat, dan suara-suara pilu para makhluk malam yang seolah ikut berduka atas kepergian Beriang itu akhirnya tergantikan dengan cerewetnya cicitan burung-burung pagi dan sayup suara kokok ayam jantan entah di mana, akhirnya Naiang tiba juga di tepian rumahnya.

Ia menurunkan jasad ayahnya di atas balai bambu yang biasa menjadi tempat peristirahatan Beriang setiap malam. Dengan mata terpejam seperti itu, meski dengan memar di sekujur tubuhnya dan lubang luka menganga di sana-sini yang mulai mengundang perhatian lalat-lalat lapar, Beriang tak ubahnya seperti sekadar sedang tertidur pulas. Naiang malah tidak akan terkejut jika sekarang ia mengguncang lembut bahu ayahnya, dan pemilik sepasang mata keriput itu akan terbuka seiring dengan seringai gigi yang telah banyak tanggal dan menguning, untuk kemudian meminta Naiang menimba air di sumur belakang rumah sementara Beriang sendiri akan menyiapkan sarapan dan bekal mereka berdua hari itu. Seperti kemarin. Sama persis seperti yang terjadi kemarin. Meskipun kini, kemarin itu rasanya jauh sekali.

Naiang jatuh terduduk. Matanya berembuk dengan tanah, sementara pikirannya kosong sama sekali. Air matanya sudah terkuras sampai ke dasar, tidak akan bisa terpancing lagi. Setiap cedera di tubuhnya tak lagi ia hiraukan. Hanya mati rasa yang tersisa. Kebal. Kebas.

Mentari makin merayap tinggi. Panasnya mulai menyengat belikat Naiang dan membangkitkan denyut nyeri di situ. Bunyi burung tak lagi ramai, digantikan oleh senandung satu ekor saja, meliuk menembus gesekan dedaunan di sekitarnya. Melodi yang dulu selalu Beriang nyanyikan sebagai pengantar tidur Naiang. Tanpa sadar, mulut Naiang ikut bernyanyi, lirih.

Jagad mendekat penghujung kala

Lesat sengangkar merobek angkasa

Semesta mandi meruah berma

Burung tanah lindungi yuwana

Percik api pancar cahaya

Dampingi dara pergi kembara

Burung kecil ada untuk tiada...

Sesaat setelah senandungnya usai, bisikan-bisikan mengganggu itu datang lagi, kali ini terasa lebih gaduh dari sebelumnya.

"Temukan kami, Naiang... Datanglah pada kami..."

Naiang menggelengkan kepalanya.

"Baiklah, suara keparat," gerutunya. "Akan kuikuti ke mana kau menyuruhku pergi. Aku bersumpah akan mencarimu dan menemukanmu, siapapun atau apapun kau itu. Lagipula, sudah tidak ada yang tersisa untukku di sini."

"Kami tunggu," balas bisikan itu.

Naiang akhirnya bangkit. Ia masuk ke dalam rumah, mengumpulkan dedaunan, akar-akaran, dan madu dari dapurnya untuk ia racik menjadi obat oles. Arak beras yang Beriang sempat simpan di dekat sumur namun tidak pernah sempat dia minum Naiang siramkan untuk membersihkan luka-luka di sekujur tubuhnya sambil mencoba menahan erangan kesakitan yang kabur dari mulut ketika cairan menyengat itu bereaksi dengan kulitnya. Setelah semua lukanya selesai ia balut, ia mengambil pakaiannya yang memang cuma ada beberapa helai, mengosongkan bejana berisi sisa persediaan uangnya ke dalam sebuah kantong kulit yang ia jahit dalam-dalam di balik bajunya, dan mengisi kantong air minumnya sampai penuh.

Langkahnya sempat terhenti ketika matanya tertumbuk pada meja di sudut luar dipannya. Meja yang menjadi tempat barang-barang milik mendiang ibunya dahulu, menumpuk usang dimakan usia.

Tangannya terulur untuk mengambil satu benda yang sejak dahulu selalu membuatnya penasaran sekaligus kagum, namun terlalu ragu untuk mendekat.

Gelang berbentuk tanaman sulur yang terbuat seluruhnya dari ukiran batu andesit, yang dipoles licin hingga menyerupai logam, dengan sebuah bunga yang sedang mekar di tengah-tengahnya.

Naiang memasangkan benda kesayangan Kamali itu di pergelangan tangannya.

Ibu, aku memang tidak pernah mengenalmu, pikirnya. Tapi akan aku pastikan Ibu akan selalu jadi bagian dari diriku.

Selesai berkemas, Naiang menyambar obor kayu yang tergantung di sisi-sisi gubuknya dan membasahi kain yang membalut kayu itu dengan arak yang masih tersisa. Ia baru saja hendak mengambil batu pantik api dari balik keranjang anyaman miliknya, ketika seekor makhluk kecil tiba-tiba meloncat ke dadanya dari balik sana.

"Astaga, Cupluk!" Naiang lupa sama sekali tentang musang hutan kecil berbulu kemerahan itu.

"Bagaimana kau bisa sampai di sini?"

Tentu saja hewan itu tidak menjawab. Sungut Cupluk mengerut sementara kedua telinganya bergerak silih berganti, sebelum dia bergegas menaiki kaki punggung Naiang dan bertengger di bahunya.

Naiang serta merta teringat bagaimana akal pintar hewan itu telah menyelamatkan kesuciannya yang hampir terenggut kemarin. Ia menggaruk belakang telinga Cupluk.

"Terima kasih, Cupluk."

Cupluk mengeluarkan suara berdecit. Naiang mengangguk paham.

"Ya, ya, kau boleh ikut aku. Aku sepertinya akan butuh teman bicara di perjalananku nanti."

Sebelum pergi, ia mengecup kening ayahnya yang kini telah berubah warna menjadi biru keabu-abuan. Naiang tidak mau mengusik kedamaian di wajah tuanya, apalagi melihat wajah itu tertimbun tanah.

"Beristirahatlah dengan tenang, Ayah."

Umat Alaskafaca dan Rangraka sama-sama menguburkan orang yang telah meninggal. Naiang tidak rela disamakan dengan mereka.

Ia menghela napas. Batu di tangannya mulai ia pantik. Dua kali, batu itu mulai memercikan bunga api. Empat kali, apinya mulai menyala. Ia sulutkan api itu keatas obor bersimbah arak tadi.

Obor itu ia lempar ke dalam rumahnya.

Api yang berkobar menjilati langit terpantul di sinar matanya yang masygul. Dengan mengucapkan selamat tinggal yang terakhir kalinya pada tanah kelahirannya, Naiang pun berlalu, mengikuti arah suara-suara misterius itu, menyambut takdirnya yang entah apa.

*

Di tengah-tengah hutan yang rimbun karena rapatnya pepohonan, seorang pemuda tersentak terbangun dari tidurnya yang gelisah. Sekujur tubuhnya dibanjiri peluh, padahal udara sedang dingin-dinginnya.

Dia terduduk, menatap sekelilingnya. Seekor kuda yang menjadi teman perjalanannya sedang merumput tak jauh dari tempatnya tidur tadi.

Pemuda itu berusaha mengingat mimpinya. Dia melirik benda yang terbungkus secarik jubah coklat kemerahan di pangkuannya. Benda itu seperti berpendar ganjil, cahayanya samar menebus lipatan kain.

Sekonyong-konyong, sebuah suara menyusup di antara ranting-ranting yang bergoyang, membuatnya tersentak:

Merpati, dia akan menemukanmu.

Semesta AlaskafacaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang