28. Hanguriar

12 5 0
                                    


Sudah beberapa hari lewat semenjak kejadian yang aku lebih pilih tidak ingat-ingat itu, tapi Demulani dan Pilung belum juga menemuiku. Aku juga tidak merasa melihat mereka di sudut mana pun di pemukiman Bukit Duri.

Kuputuskan untuk tidak menunggu mereka supaya tidak ditelan kegelisahanku.

Aku menjalani keseharianku dengan berusaha tidak peduli bahwa aku diperhatikan ke mana pun aku pergi. Tapi ternyata aku tidak perlu khawatir. Di luar dugaanku, semua orang di sini ramah bukan main dan menerimaku dengan tangan terbuka, dengan pengecualian Ningar Bawula yang kadang masih suka menggumamkan kata-kata aneh setiap aku kebetulan lewat di dekatnya. Tak kugubris ia.

Ada satu hal yang kupelajari dari orang-orang Bukit Duri. Tidak peduli warna kulit atau bahasa mana yang mereka pakai, mereka luar biasa tulus. Aku yang terlalu terbiasa hidup di tengah-tengah kelicikan dan muslihat Kaum Durjana harus pelan-pelan belajar untuk menekan rasa curiga dan waspadaku. Apalagi, orange-orang di sini terbiasa melakukan semuanya bersama-sama.

Di dapur besar mereka, mereka bertumpuk bekerja sama untuk memasak bersama. Aku diajak mereka mengupas sagu dan membuatnya menjadi papeda. Gadis, pemuda, paruh baya, bocah kecil, semua ikut membantu. Memang awalnya mereka masih mencoba menawarkan daging binatang untukku lagi, namun setelah aku beberapa menolak, mereka mengerti. Tetap saja Barei berkelakar sesekali, "Tapi harus kau akui, daging binatang itu enak bukan?"

Aku diajari cara mengolah buah nira menjadi arak, memanen ulat sagu dari pohonnya, dan memancing bersama Neta, Barei, dan beberapa laki-laki lain. Di sekitar Batu Akar tempat mereka menemukanku tersangkut meregang nyawa, Barei mengajariku memancing dengan jala yang terbuat dari anyaman daun sagu. Menurutnya, ikan dan binatang-binatang air lainnya memang cenderung untuk berkumpul di sana, seolah ada semacam kekuatan tak terlihat yang membuat mereka tertarik.

Neta dan pemuda-pemuda lain memang tidak bisa bicara bahasaku dan hanya tahu beberapa patah kata saja. Barei yang ternyata cerewet dan lebih banyak bicara. Aku diberitahu kalau Batu Akar diberi nama seperti itu karena batu itu langsung tersambung dengan akar Pohon Dwisangga.

"Krida dan Kiara menyediakan semua yang ada untuk kebutuhan kami. Denyut semua makhluk yang hidup di segala penjuru hutan dan sungai dipersembahkan untuk memuja Mereka. Alangkah tidak berbaktinya kami jika menyia-nyiakan semua karunia yang telah Mereka berikan untuk kami."

Aku menahan lidahku untuk bertanya lebih jauh tentang sembahan mereka itu, karena aku ingat janji Demulani tentang penjelasan orang yang bernama Naedang Merak itu.

Tanpa kuduga, salah satu dari laki-laki kawannya Barei (yang sayangnya aku lupa namanya karena sulit kurapalkan dengan lidahku) sempat merangkulku, dan sambil berseri-seri, mengucapkan sebaris kalimat yang aku tak paham artinya. Aku menoleh pada Barei, meminta diterjemahkan.

"Dia bilang, jika kau sudah sempat mencicipi air dan hasil panen kami, maka kau tak lagi orang asing. Kau adalah bagian dari kami. Gusenai'do ir. 'Keluarga kami'."

Rasa hangat yang sudah lama sekali tidak kurasakan tiba-tiba menghampiri dadaku. Rasanya sama ketika aku mengingat masa-masa kebersamaanku dengan Jinar dan pendeta-pendeta lain, menunduk di atas Kitab Ykanasia di bawah pengawasan Edang Biyaksa dan tongkat mautnya. Mereka adalah hal terdekat yang bisa kupanggil keluarga. Betapa aku akan menukar apa pun yang ada di bumi dan langit ini untuk bisa kembali ke masa-masa itu.

Namun, mendengar kata "keluarga" meluncur dari mulut orang asing yang tengah merangkulku dengan akrab ini, batinku tak lagi terasa serindu itu.

"Gusenai'do ir," aku mengulang.

"Kalau kau sendiri yang mengucapkan, kau bicaranya gusena'do ingro," Barei membetulkan ucapanku dengan logatnya yang kental itu. "Artinya 'keluargaku'."

Aku mengulanginya lagi, dan laki-laki yang merangkulku tadi menyeringai senang. Mereka lalu mengajariku beberapa kata lain setelahnya, seperti "ilian" ('kau', tapi khusus untuk yang berusia sebaya dengan sang pembicara atau kawan akrab), "guar" ('banyak' atau 'sering'), "ungkaesi" ('ikan', tapi bisa juga berarti 'berenang di sungai'), dan "a'raesi" ('air', tapi bisa juga berarti 'memandikan', 'menyirami', dan beberapa hal yang berhubungan dengan air lainnya).

Tentu saja aku tidak tahan untuk tidak bertanya apa arti "hanguriar". Ternyata itu malah mengundang tawa terbahak-bahak dari mereka.

"Itu sebenarnya... apa ya kata itu dalam bahasamu?" Barei terlihat berpikir keras. "Bi uldanesi... Ah, ya, 'lelucon'! Semacam itu lah. Hanguriar itu bagaimana kami menyebut hewan buruan yang lari terbirit-birit karena panik. Kadang terlalu panik sampai mereka tergelincir ke sungai! Kau mengingatkan kami pada hanguriar saat kami menemukanmu tersangkut di Batu Akar. Apalagi wajahmu itu, persis burung kasuari yang ketakutan!"

Mereka terbahak lagi. Aku tidak tahu apa harus merasa geli atau tersinggung.

Matahari telah mematangkan puncak kepala kami ketika jala kami berhasil disesaki ikan-ikan berbagai ukuran dan bentuk. Padahal menurut perhitunganku, tengah hari belumlah datang. Udara di sini memang terasa jauh lebih panas dan pengap dibanding Gankasha Prana. Mungkin karena itu lah kulit orang-orang di sini terlihat lebih gelap dari kulitku.

Barei berkata sudah saatnya kami kembali ke pemukiman untuk memasak hasil tangkapan hari ini. Kakiku sudah mulai melangkah untuk mengikuti mereka, tapi entah mengapa aku urung. Aku memberitahu Barei dan yang lain bahwa aku akan menyusul nanti. Sekarang aku sedang ingin berjalan-jalan di tepi sungai dahulu. Barei mengedikkan bahu tanpa bertanya lebih jauh. Dia hanya berpesan padaku untuk jangan terlalu lama pergi jika tidak ingin kehabisan makan siang. Aku tahu dia berkelakar lagi, karena makanan di Bukit Duri jumlahnya mustahil bisa habis.

Sepeninggal mereka, pandanganku terpaku pada aliran sungai yang membawa hanyut ranting-ranting pohon dari hulu.

Aku mengumpulkan kayu bakar. Kayu bakar selalu menerima doa-doa, ketika burung-burung membuat sarangnya.[1]

Kata-kata tersebut mendadak terlintas di benakku. Rasanya aku pernah mendengar kata-kata itu sebelumnya. Itu jelas tidak terdengar seperti kata-kataku. Mungkin ibuku? Tapi tidak juga, ibuku jarang berbicara banyak selain erangan sakitnya. Sepertinya kata-kata itu meluncur dari seorang penyair atau pujangga. Mungkin aku pernah mendengarnya suatu saat di masa laluku. Mungkin malah bukan di hidupku, tapi kata-kata itu terekam di kehidupan milik orang lain, di dunia lain, di semesta yang lain.

Ibu. Aku tak tahu mengapa begitu jarang dirimu melintas di pikiranku selama aku berada di Kuil. Padahal aku seharusnya bertanya-tanya terus tentang mangkatnya dirimu. Apa mungkin aku terlalu lugu, percaya pada segala yang dikatakan para pendeta atasanku? Setelah mendengar cerita pengusiran Demulani oleh sejawatku, aku tak tahu lagi harus berpikir apa tentang mereka.

Aku melepaskan pandanganku ke seberang sungai yang seolah tidak bertepi. Pikiranku melayang tanpa arah, sampai akhirnya mataku menangkap sesuatu yang langsung menyedot perhatianku.

Beberapa titik api yang terlihat bagai kunang-kunang yang berterbangan, namun anehnya tetap mencolok di bawah cahaya siang bolong, mengawang beberapa jengkal di atas sungai.

Halimun!

Itu pasti Halimun. Kuda api itu berhasil menyusulku ke sini rupanya!

Perlahan titik-titik api itu mulai bergeser menjauhiku. Mataku sekuat tenaga tak kulepaskan darinya, dan kakiku mulai berlari mengikuti ke mana bias cahaya itu pergi. Semakin lama dia semakin jelas nampak. Aku hendak berteriak, memintanya untuk menunjukkan saja wujud aslinya. Mulutku baru terbuka, dan—

Tanah merah di bawahku luruh tepat ketika kupijak.

Membawaku meluncur menuju batu-batuan sungai sebesar dua kali tubuh kerbau yang siap mencerai-beraikan isi kepalaku.

Aku tak sempat berteriak. Bahkan tak sempat menarik napas. Aku hanya sempat memejam, memasrahkan diri pada ajalku yang menjelang.


[1] Kutipan dari salah satu puisi Afrizal Malna

Semesta AlaskafacaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang