"Berhenti berbicara dengan menggunakan teka-teki!"
Aku terperanjat ketika mendengar diriku sendiri berbicara dengan nada sekeras itu. Padahal, tadinya kupikir telah begitu terbuai dengan pesona dua batari di hadapanku ini sampai-sampai akal sehatku tidak lagi berfungsi. Ternyata, masih.
"Dari sejak kalian mengirimkan mimpi-mimpi itu kepadaku, kalian tidak pernah berbicara dengan jelas. Sekarang pun sama saja. Kalian terus menerus menyebutkan tentang takdir, takdir. Takdir macam apa sebenarnya yang harus kami sambut?" Aku menekankan kata terakhir dengan penuh amarah. "Jika kalian tidak lekas menerangkannya, aku akan angkat kaki dari sini."
Untuk pertama kalinya, aku melihat raut Krida dan Kiara seperti terusik. Masygul, malah. Mungkin ini pertama kalinya seorang manusia fana berbicara seperti ini kepada mereka. Sebenarnya, mengingat kesaktian mereka sebagai turunan deva dan devita yang menciptakan dunia dan seisinya, mereka mungkin hanya perlu mengembuskan sedikit napas untuk mengubahku menjadi tidak ubahnya debu. Namun, sadar bahwa aku adalah pemegang takdir entah-apa yang mereka terus menerus sebut itu, aku tidak gentar sedikit pun. Mereka lah yang membutuhkanku. Bukan sebaliknya.
Setelah terdiam, mereka akhirnya bersuara.
"Adha, kami sadar bahwa tidak langsung membicarakan inti dari permintaan kami. Sejujurnya, kami harap bisa meyakinkan kalian. Karena itulah kami menceritakan asal-usul kami berikut dengan asal-usul kalian terlebih dahulu. Kami harap itu bisa menggerakkan kalian untuk menyambut takdir tersebut Sesungguhnya... apa yang akan kami minta ini sama saja dengan meminta nyawa kalian."
Aku terperangah. Di sebelahku, Merpati seakan menciut. Namun, sebelum salah satu dari kami sempat bereaksi lebih jauh, Krida dan Kiara melanjutkan.
"Peperangan ini membuat dunia tidak lagi baik-baik saja. Kami membutuhkan kalian untuk mengembalikan keseimbangan semesta. Memastikan bahwa kekuatan Ayahanda dan Ibunda kembali setimbang, tidak seperti sekarang yang masing-masing ingin saling menguasai. Adha... Merpati..."
Sejenak, Krida dan Kiara tampak ragu untuk melanjutkan. Namun, kemudian...
"Kami memohon kepada kalian untuk datang ke tempat kelahiran kami di puncak Gunung Benderang. Kini, tempat itu telah diambil alih oleh Ayahanda sebagai singgasana-Nya. Patungnya berdiri dengan gagah perkasa di puncak, tingginya hampir menembus awan-awan di langit. Di kaki patung itu, para pendukungnya rajin datang untuk menjalankan ritual persembahan darah yang membuat Ayahanda semakin kuat dan berkuasa. Tetapi di saat yang sama... patung itu adalah titik kelemahan Ayahanda. Oleh karena itu... hancurkanlah patung itu, wahai Adha dan Merpati. Dengan begitu, semesta ini bisa kembali seimbang seperti sedia kala, tanpa ada satu kekuatan yang mengalahkan yang lainnya. Kekuatan Ibunda dan Ayahanda akan kembali saling menyeimbangkan."
Sebuah keheningan yang menusuk tulang mengikuti pertanyaan itu.
"Kalian gila." Aku menggelengkan kepala. "Sinting. Tidak waras. Kenapa harus kami yang melakukannya? Yang devata kan kalian!"
Krida dan Kiara menundukkan kepala. "Kami tidak bisa meninggalkan Pohon Dwisangga, wahai Adha. Jika kami beranjak dari sini, kami akan layu dan mati, beserta seisi hutan dan sungai di sekitarnya. Termasuk Bukit Duri," ujar mereka lirih.
Heh, bisa saja kalian mengarangnya, pikirku, tetapi aku memilih untuk tidak mengatakan itu karena masih ada pertanyaan lain yang mengusikku. "Kalian sadar kan kalo kami ini hanya manusia biasa? Kami tidak punya kekuatan ajaib atau apa lah. Dan kalian mengharapkan kami untuk melawan seorang deva?!"
"Kami sadari betul itu. Sungguh, jika kami bisa, kami yang akan melakukannya sendiri. Namun tidak punya kuasa untuk melawan apa yang sudah disuratkan oleh takdir. Kalianlah yang terpilih, dan tidak ada kekuatan apapun yang bisa mengubahnya. Terutama kekuatan kami. Lagipula, ada satu hal yang kami tidak miliki, tetapi kau, Merpati, miliki," mereka mengangguk bersamaan ke arah pemuda di sebelahku. "Kau yang memegang kunci dari musnahnya Ayahanda. Senjata terkuat sejagad raya yang bisa membunuh seorang Deva. Senjata itu ada di kantong yang terdapat di balik pakaianmu. Senjata itu adalah Pusaka Alaskafaca."
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta Alaskafaca
FantasyKaum Durjana, di bawah pimpinan sebuah sosok yang disebut "Sang Paduka" bersama harimau piaraannya, berhasil mengambil alih kota Gankasha Prana, kota suci pengikut Devita Alaskafaça. Seluruh penduduknya dipaksa mengingkari keyakinan mereka atau mele...