TIGA

29 4 0
                                    

Selamat membaca, jangan lupa vote dan komen. Terima kasih.❣️

🍂🍂🍂

Menurut Bentara hari sabtu harus dimanfaatkan dengan baik, padahal Freya berniat enggak keluar rumah sama sekali, tapi lelaki itu sudah menyuruh anak sulungnya untuk segera membersihkan diri.

"Harus sekarang? Kenapa enggak minggu aja," tanya Freya sambil menatap ke arah Bentara, gadis ini masih berada di atas kasur sambil menaikan selimut hingga leher.

Bentara enggak menjawab apapun, lelaki itu sudah keluar sambil menutup pintu. Freya menguap kemudian berjalan ke kamar mandi.

Di sinilah Freya juga Bentara sekarang, berada di rumah salah satu teman lelaki itu. Duduk di ruang tamu sambil menatap beberapa desain rumah yang di kira cocok untuk Freya.

"Pa, enggak kelamaan kalo Mira bangun sendiri?" Freya merapatkan sedikit tubuhnya ke arah Bentara sambil berucap.

"Tanah Papa lumayan buat kamu pake." Hanya itu jawaban dari Bentara.

"Jadi gimana, Pak, Mbak?" tanya lelaki berusia tiga puluhan itu. Anak dari temennya ini salah satu arsitek yang lumayan bagus dan jam terbangnya sudah cukup lama.

"Gimana, Mir?" Bentara menatap anaknya, sedangkan Freya tengah menyentuh beberapa desain yang di rasa bagus. Setelah beberapa saat dia menggelengkan kepala, sudah kertas ke lima belum ada salah satu desain yang pas untuk model rumahnya.

Lelaki di depan mereka tersenyum lalu merapikan kembali berkas yang sudah berantakan di atas meja.

Tidak mau menunggu lama Bentara juga Freya sudah keluar rumah. Wanita berusia hampir kepala tiga itu berjalan lebih dulu ke arah mobil. Entah apa yang dia rasakan hari ini, badannya lemas juga kepala sedikit sakit.

"Papa masih ada kenala lain," kata Bentara seraya memutar kemudi.

"Enggak usah, Pa. Mira mau beli apartment aja."

"Enggak, Papa mau yang terbaik buat anak Papa." Tolakan dari Bentara bikin tubuh Freya merosot di kursi samping supir, kepalanya semakin sakit.

Dari sekian banyak sifat Bentara, hanya ini yang Freya kurang suka. Meskipun dia tahu perlakuannya ini adalah wujud kasih sayang, tapi enggak semua harus di selesaikan seperti ini, bukan?

Freya menyalakan audio di mobil dan mengalun sebuah lagu dari musisi tanah air, lagu Dewa 19 mengisi kekosongan di antara Bentara juga Freya.

Mendengar lagu dari salah satu band kesukaannya membuat Bentara mengikuti lirik dari lagu tersebut sampai akhir. "Tumben isi radionya lagu lama, biasanya lagu hits anak jaman sekarang."

"Mungkin dia tahu kalau kita anak lama," kelakar Freya seraya melirik ekspresi Bentara.

"Udah tua ya," sahut Bentara. "Kamu enggak ada niatan nikah?"

Tuhan! Kenapa pertanyaan itu yang harus dibahas. "Belum, nunggu Chris Martin pensiun," jawab Freya.

"Sebenernya Papa enggak setuju kamu pindah, kalau alasannya karena udah gede, Papa masih menganggap kamu anak kecilnya Papa." Bentara berkata jujur. Sejak mengetahui dari Danish dia enggak setuju dan berakhir berdebat dengan Aneshia, enggak lupa menasihati Danish.

"Mira juga pengin kayak yang lain, hidup mandiri dan enggak di setir orang tua." Freya berkata pelan, takut dengan reaksi Bentara.

Kening Bentara berkerut lalu menatap sekilas ke arah anaknya. "Karena Papa-Mama enggak mau kamu salah jalan, Mir. Kami lebih berpengalaman soal kehidupan."

Ini yang aku enggak suka dari kalian. Freya diam mendengar semua penuturan soal kehidupan; karir, asmara, hingga tempat tinggal. Entah apa yang Bentara harapkan dari kalimat itu. Agar Freya mengubah keinginanya dan tetap tinggal bersama?

Menurutnya hidup bukan soal karir, asmara dan status sosial belaka, tapi soal mental yang sehat juga kesehatan tubuh. Dia bukan enggak suka kalau orang tuanya memberikan fasilitas selama dia hidup. Cuma Freya hanya perlu tinggal sendiri dan menyembuhkan luka.

Memang benar kata orang, penyumbang luka terbesar adalah keluarga. Awalnya Freya menyanggah hal itu, tapi seiring berjalannya waktu dia menyadari semua.

"Lagi pula kamu perempuan dan anak kebanggaan Papa. Nanti kalau ada sesuatu di luar sana bagaimana?" Bentara kembali bersuara, kali ini dia sudah menghentikan laju mobil, menepi di depan salah satu bangunan berlantai dua di sisi jalan raya.

"Boleh ya Pa, Mira pindah. Capek kalau harus lembur."

"Pindah kerja kan bisa, cari aja yang deket atau mau pindah ke tempat kerja Papa?" Wanita ini menggeleng, kalau harus pindah rasanya enggak mungkin, dia sudah nyaman berada di kantornya sekarang, walaupun ada beberapa rekan kerja yang enggak menyukainya dan itu wajar di sebuah perusahaan.

💅💅💅

"Papa udah bilang Mira kalo kita enggak setuju dia pindah?" Bentara menatap Aneshia di sisi tubuhnya. Keduanya sudah berada di atas ranjang hendak beristirahat.

"Mama enggak mau dia pergi, Pa. Walaupun masih ada Danish, pasti berbeda kalau dia pergi." Aneshia kembali berbicara, dia menunggu jawaban dari suaminya ini. Kabar baik yang sudah dia tunggu sejak pagi.

"Mira tetep pergi, dia sudah mau menyewa apartment dekat kantor sebelum membangun rumah sendiri," jawab Bentara setelah berdiam diri.

Sifat Freya seperti dirinya, keras kepala dan cukup susah untuk di nasihati, kadang Bentara seperti melihat dirinya di diri Freya. Bahkan ayah-ibunya dulu sudah mengatakan kalau Freya duplikat dari Bentara.

"Lo ngapain ke kamar gue?!" Teriakan dari luar membuat Bentara juga Aneshia mengerutkan dahi lalu melangkah menuju sumber suara.

Pintu kamar Freya sudah terbuka dengan kedua anaknya berdiri berhadapan di dalam kamar. Freya dengan berkacak pinggang sedangkan Danish menundukkan kepala.

"Mira ada apa sih teriak malem-malem, malu sama tetangga." Aneshia menghampiri sambil bersuara sedikit tinggi. Ini pertama kalinya Freya memarahi Danish seperti itu, dulu anak sulungnya ini selalu diam atau langsung pergi ketika Danish membuatnya kesal.

"Minggu depan Mira pindah!" Freya menatap Bentara juga Aneshia sebelum mendorong tubuh Danish yang semakin berisi.

"Mbak Mira enggak boleh pergi. Nanti Danish sama siapa?!" Danish menggelengkan kepalanya sambil menatap ketiga orang di dekatnya.

Freya enggak menjawab, ia masih saja menyuruh Danish dan orang tuanya keluar. Ia enggak suka privasinya di ganggu, bahkan tadi Danish masuk ke kamarnya tanpa izin. Untungnya ia sudah selesai mandi dan tengah merebahkan tubuh di atas ranjang.

"Keluar dulu ya, nanti Mama bicara sama Mbakmu," bujuk Aneshia. Wanita itu kembali memasuki kamar dan duduk di tepi ranjang sembari menatap anaknya.

"Kamu kenapa? Enggak biasanya teriak kayak gitu ke adekmu," ucap Aneshia. Ia sedikit terkejut akan hal itu.

"Iya, aku salah," kata Freya. Kali ini dia memilih berdiri di dekat jendela, menjauh dari Aneshia.

"Bukan karena salah apa enggak, kamu kenapa? Kalau adekmu salah bisa bicara baik-baik, dari dulu juga gitu, kan?" Aneshia bicara panjang.

Freya menarik napas lebih dalam lalu menghadap Aneshia. "Aku capek selalu ngalah, aku capek harus sabar liat kelakuan Danish. Dulu sebelum ada dia, hidupku damai bahkan menyenangkan."

Aneshia menatap enggak suka ke arah Freya, bahkan ia cukup terkejut dengan penuturan anak sulungnya ini. "Mira, Mama—" suara Aneshia terhenti tatkala mendengar suara benda pecah dari luar kamar. Wanita ini menatap Freya lalu berjalan ke depan pintu. Memastikan kalau bukan seseorang yang ia pikirkan berada di sana.

🍂🍂🍂

Tangerang, 08 Juli 2023
08:00

UPBEATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang