02

2.8K 275 59
                                    

Sempat menimbang-nimbang sebentar, akhirnya aku pun mengempaskan tubuhku ke salah satu sofa dan menunggu Gamal kembali membawakan wine yang dijanjikannya. Sambil memandang sekitar, tanganku meraba lengan sofa yang berbahan kulit.

Aku menoleh ke arah jendela panjang, yang memantulkan bayangan wajahku. Sudah satu tahun lamanya sejak terakhir kali aku memijakkan kaki di apartemen ini. Namun, masih jelas tergambar dalam benakku kejadian di ruang tengah pada malam itu. Memori itu melekat dengan sempurna, seolah menjadi pengingat bagi diriku sendiri untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Malam di mana segalanya berakhir dan bermula pada saat yang bersamaan.

Gamal bekerja sebagai pembaca berita atau newsanchor terkenal dalam tayangan program berita pagi dan malam hari di salah satu stasiun TV besar di Jakarta; pekerjaannya itu mengharuskannya untuk pergi subuh dan pulang larut malam setiap harinya. Sama seperti hari itu. Aku masih ingat jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul tiga dini hari kala itu.

Kedua mata Gamal terlihat berat, ia mengerjap-ngerjapkan matanya sejak tadi, berusaha membuat kelopak matanya tetap terbuka.

Aku menarik napas dalam-dalam dan menatapnya tajam. "Kurasa kamu perlu menjelaskan sesuatu padaku."

Gamal menoleh menatapku, namun dia diam saja tak merespons. Di bawah sinar lampu di ruang tengah yang disetel agak redup saat malam hari ini, kedua pipi Gamal tampak seperti terbakar. Aku mengernyit saat mencium bau alkohol yang bercampur dengan parfum wanita yang menyeruak dari pakaiannya.

"Siapa wanita yang mengantarmu barusan?" tanyaku langsung.

Gamal menoleh sekilas. "Maksudmu?"

Aku mendengus. "Gam, don't play dumb. Kamu mengerti apa yang kumaksud."

"Oh," Gamal memejamkan matanya lagi. "She's just a friend at work."

"That's it? Kamu tidak akan memberitahuku mengapa kamu bisa bersama wanita itu sepanjang malam dan dia membawamu pulang dalam keadaan mabuk pagi-pagi buta begini?"

Gamal memijat keningnya pelan sambil menggerutu,"Gigi, my head hurts and my throat feels like it is on fire. Can't you just leave me alone? Your nagging is the last thing on Earth I want to hear right now."

Mataku menyipit. "Apa katamu?"

Tangan Gamal bertumpu pada lengan sofa dan ia berusaha berdiri susah payah meski keseimbangannya agak goyah. "Let's just talk about this tomorrow," katanya.

"We're fucking gonna talk about it now!" tuntutku sambil mendorong tubuh Gamal hingga pria itu kembali terduduk di sofa.

Gamal menggertakan rahangnya dan mata gelapnya bersibobrok dengan pandangan mataku. Rupa wajahnya jadi terlihat lebih jelas sekarang. "Apa, sih, masalahmu?!"

"Kamu bilang dia hanya teman, bukan?" Suaraku mendadak parau. "Apakah seseorang akan mencium temannya di bibir saat dia sedang mabuk?"

Gamal menautkan kedua alisnya, masih tak mengerti. Dia terlalu mabuk untuk mencerna perkataanku barusan. Kontan, aku pun tertawa sumbang.

"You've got a lipstick stain on your mouth, Gamal."

Mata Gamal sontak melebar dan tangannya terangkat untuk menyentuh bibirnya. Punggungnya menegang. Ia berdiri dan mencoba menyentuh lenganku, namun kutepis dengan kasar.

"Gigi, it's nothing I swear. She did it without my consent!"

Aku mengatur napas dan emosiku, kemudian segera kutatap sepasang mata cokelat yang menyiratkan berbagai ekspresi itu. Tiba-tiba dadaku merasa sesak, aku merasa jantungku berdenyut sangat keras dan menyakitkan. "Aku ingin memahamimu, Gamal, aku ingin memercayaimu. Tetapi, kamu sendiri kelihatannya tidak peduli apakah aku baik-baik saja atau tidak sekarang. Kamu hanya peduli mengenai apa yang kupikirkan tentangmu. And, you said my presence can only make matters worse? Apakah sebaiknya aku pergi dari hidupmu saja sekarang?"

Gamal tercengang. Mungkin dia sangat terkejut sampai tak bisa bereaksi. Dan, kalian pasti sudah dapat menebak apa yang terjadi setelahnya. Aku pergi meninggalkannya malam itu juga. Meninggalkan kepingan hatiku dan hatinya yang hancur menjadi serpihan kecil yang tidak bisa disatukan lagi.

Sebuah suara bariton yang memanggil namaku membuatku tersadar dari lamunan. Aku mendongakkan kepalaku dan mendapati Gamal telah berdiri di sampingku dengan sebelah tangannya yang tergantung di udara memegang gelas berisi wine untukku dan tangan lain memeluk box kecil berisi barang-barangku yang tertinggal di sini.

"Sebetulnya, aku tidak pernah membayangkan kamu akan datang kembali lagi ke sini," kata Gamal yang kemudian duduk dalam jarak satu meter di sebelahku. Ia juga memberikan box tersebut padaku, yang ternyata cukup berat dari kelihatannya.

Aku menenggak wine di tanganku dalam sekali teguk dan meletakkan gelasnya di atas coffee table. Gamal menoleh menatapku karena gerakanku yang tiba-tiba.

Aku mendekap box kecil berukuran 30 x 20 cm tersebut dan berujar, "Thank you for the wine and thank you for not throwing away my things. Aku boleh pergi sekarang, kan?"

Gamal terpaku beberapa saat. Dia lantas menatap mataku dalam. Aku memalingkan wajahku. Satu hal lain yang tak pernah bisa berubah. Tatapan Gamal Sanjaya selalu mampu membuatku tak berkutik.

"Kamu pernah berkata aku hanya peduli pada apa yang kamu pikirkan tentang diriku, tetapi bagaimana dengan kamu? Apakah hubungan kita tidak berarti di matamu hingga kamu memutuskan segalanya secara sepihak? Bagaimana dengan perasaanku?"

Aku tersenyum lirih. "Tidak ada gunanya membicarakan masa lalu, Gamal."

Gamal mengangguk membenarkan. "Ya, kamu benar. Tidak ada gunanya membicarakan masa lalu. Toh, hal tersebut tidak akan membawamu kembali, bukan?"

Beberapa lama aku dan Gamal tertelan dalam kesunyian, tenggelam dalam pikiran kami masing-masing, sampai aku memutuskan untuk berkata, "Cukup, Gamal. Aku tidak ingin membicarakannya lagi. You're not the only one who's hurting so bad."

Gamal mengempaskan napasnya, lalu matanya menerawang menembusku. "Kamu memilih untuk membicarakan hal yang ingin kamu bicarakan. Kamu juga memilih untuk merasakan hal yang ingin kamu rasakan. Kamu beranggapan seolah segala sesuatu di dunia ini bisa kamu hindari. Dan, ya, kamu benar-benar bisa menghindarinya. Seperti bagaimana kamu mengenyahkan semua perasaan yang kamu miliki untukku dulu. Kalau hatimu bekerja semudah itu, why can't you just listen to your heart rather than believe in what you see at that time?"

Aku merasa tenggorokanku tercekik. Seharusnya aku tidak datang ke sini sejak awal. Seharusnya aku menyuruh orang lain untuk menggantikanku menambil barang-barangku di sini. Seharusnya aku tidak pernah mengenalnya. Sayangnya, semua kata "seharusnya" itu berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada. Akhirnya, aku pergi meninggalkannya dengan kata-kata yang tertahan di bibirku.

Meninggalkan Gamal Sanjaya, cinta pertamaku yang selama lima tahun terakhir mengisi seluruh bagian dalam relung hatiku yang sempat hancur, namun kini telah menjadi satu kembali setelah direkatkan oleh seseorang bernama Joshua Flanders.

Heart-Shaped BruisesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang