01

3.4K 296 68
                                        

Joshua Flanders mungkin termasuk satu di antara segelintir (atau banyak?) orang yang membenci suara decitan antara dua gabus yang saling digesekkan. Aku tertawa membayangkan apa yang akan terjadi nanti, sebagai balasan akan apa yang dilakukan pria bermata abu-abu itu pagi kemarin.

Sebelum melancarkan aksiku, aku menepuk-nepuk pipi pria itu dengan penuh rasa sayang. Joshua menggeliat dan ia menangkap tanganku sambil bergumam, "Come back to sleep, Gia."

Aku menyembunyikan dua gabus kecil di belakang punggungku yang akan menjadi senjataku pagi ini. "Ayo, bangun, bayi besar. Kamu harus berangkat kerja," perintahku sembari menarik selimutnya, namun pria yang lebih kuat dariku itu kembali menarik selimutnya lagi dan aku ikut terempas ke atas tempat tidur. Joshua lantas mendekapku hangat.

"Aku bisa bolos hari ini," katanya setengah sadar.

Aku mendecih dan melepaskan diriku darinya. Lihat, kan? Dia tidak akan bangun sebelum aku melakukan sesuatu. Tetapi, tenang saja, aku sudah mempersiapkan cara terbaik untuk membangunkannya sekarang juga.

"GIANNA LARISSA, YOU LITTLE WITCH! GET OFF OF ME! I SAID, GET OFF!"

Aku terbahak-bahak melihat Joshua yang setengah telanjang meringkuk di bawah selimut sambil menutup kedua telinganya rapat-rapat. Aku melihatnya bergidik tiap kali kudekatkan dua gabus di tanganku itu ke telinganya dan aku berhasil kabur sebelum pria itu menghukumku dengan jurus tickles-nya yang tak pernah bisa kutolerir. Rasakan saja balasanku atas ulah perbuatannya, dia pikir aku tidak akan tinggal diam?

Setengah jam kemudian, aroma maskulin dari parfum yang biasa Joshua pakai menggelitik hidungku saat aku sedang mempersiapkan sarapan pagi di meja makan untuk kami berdua. Saat aku berbalik, rupanya Joshua sudah berada di belakangku dengan kemeja hitam garis-garis putih dan wajah yang bersih hasil dari bercukur.

Kontan, pria itu memelukku dan mengecup bibirku lembut. "Gia, ini barulah sarapan pagi yang kuinginkan. Kamu kejam sekali tadi."

Aku mendorong tubuhnya menjauh dan pura-pura marah. "Hei, kamu mengerjaiku dengan ular mainan saat aku membereskan tempat tidur kemarin. Kamu pikir siapa yang lebih kejam di antara kita berdua? Kalau aku terkena serangan jantung lalu meninggal di tempat, bagaimana? Apakah kamu akan baik-baik saja tanpaku?"

Joshua merenggangkan pelukannya dan menunduk bersalah. Aku jadi merasa seperti seorang ibu yang sedang memarahi anaknya karena main keluar sampai larut malam. "Iya, aku minta maaf."

Aku akhirnya mengeluarkan sebuah tawa renyah. Sambil menyilangkan kedua tanganku di dada aku berujar, "My, my ... you clearly have no idea how lucky you are that I'm so into you, Flanders."

Seiring Joshua mengangkat wajahnya perlahan, aku melihat senyumnya mengembang. "Well, I guess I'm the luckiest person on this entire universe," tangannya kemudian terulur menangkup pipiku. "Knowing that the person I love, decides to love me back."

Dia menciumku lagi, dan pada akhirnya dia benar-benar terlambat datang ke kantor hari ini.

***

Sorenya, aku mengendarai mobilku menuju apartemen yang terletak di kawasan Kebayoran Baru dan langsung meluncur ke salah satu unit di lantai sebelas. Ada sesuatu yang harus kujemput dan sudah kutinggal sejak lama. Aku hendak menekan bel interkom, namun sebuah suara mengejutkanku dari belakang.

"Gigi?"

Aku pun memutar tubuhku menghadap sang pemilik suara tersebut. Seorang pria jangkung berkulit gelap yang mengenakan setelan olahraga dan sedang menjinjing tas berisi raket tennis itu menatapku bulat-bulat. Tampaknya dia tidak mengharapkan kedatanganku ke teritorialnya hari ini.

Aku membasahi bibirku sebelum berkata, "Ada beberapa barang milikku yang belum kuambil di sini. I'm just going to get them; I won't be long."

Pria itu mendengus pendek. Lalu, dia melangkah mendekat, sehingga aku pun terpaksa menyingkir ke samping. Tak lama, pintu apartemennya terbuka secara otomatis usai dia memasukkan empat digit password.

"Jadi, password-nya masih tanggal ulang tahunku? Kupikir kamu sudah menggantinya," komentarku.

"Masuklah," katanya, tidak menggubris perkataanku barusan.

Aku mengganti heels-ku dengan sandal rumah yang disediakan di rak sepatu di dekat pintu. Aku terdiam sesaat. Beberapa kebiasaan memang sulit untuk dirubah.

"Yeah, anggaplah rumah sendiri," sindirnya saat berjalan melewatiku. Kali ini giliranku yang mendengus.

Dia kemudian meletakkan tasnya di sebelah sofa dan menatapku. "Wine or water?"

Aku mengibaskan tanganku. "No need. Aku hanya sebentar."

"Wine or water?" ulangnya, tak menerima alasanku.

Dengan agak kesal aku pun menjawab, "Wine, please."

Pria itu, Gamal Sanjaya, memandangku selama tiga detik dan tersenyum culas. "Of course, you will, Gigi."

Heart-Shaped BruisesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang