23. Son

4 1 0
                                    

Aku meringkuk di atas kasur. Menyelimuti diriku dengan selimut tebal berwarna merah muda. Napasku memburu, jantungku berdegup kencang.

Pikiranku tidak bisa lepas dari apa yang kulihat semalam. Membayangkan semua kejadian itu, membuat perutku terasa diaduk-aduk. Aku ingin memuntahkan makan malamku.

Keringat dingin membasahi pelipis dan punggungku. Aku tidak bisa tenang walaupun sudah menarik napas dan menghembuskan beberapa kali.

Suara langkah kaki dari luar kamar terdengar. Mendekat dan terus mendekat. Kututup telingaku rapat. Sayangnya, aku lupa mengunci pintu.

Pintu kamarku terbuka lebar, memperlihatkan sosok remaja laki-laki kisaran tujuh belas tahun berdiri di ambang pintu.

Dengan pisau daging yang besar. Aku membelalak. Terduduk cepat di atas kasur, terpojok di sudut. Remaja itu mendekat dengan seringai lebar terukir di wajahnya.

"Kau melihatnya."

Kutegak salivaku lamat-lamat. Suaranya menggema dalam kepalaku, menusuk telingaku. Menghantuiku.

Ingin turun dari ranjang, namun jangkauan remaja tersebut lebar. Kamarku yang sempit, aku yang besar. Tidak mungkin bisa menyelip dan menghindarinya begitu saja.

Lagipula, badanku terlalu tegang.

Remaja itu terduduk di ujung kasur, memain-mainkan pisau daging di tangannya. "Kau membukanya, 'kan?"

Aku menggeleng. "Aku tidak tahu apa yang kaubicarakan."

"Kau pergi ke ruang bawah tanah kemarin malam," ucapnya. Matanya melirikku tajam, mengintimidasi. Menusuk jiwaku dalam. "Sudah kubilang, 'kan, ruang itu sekarang menjadi ruang kerjaku."

"Ak-aku ... kau tidak pernah seperti ini sebelumnya. Ak-aku pernah ke ruang bawah tanah sekali dan aku---"

"Itu berbeda," potongnya tegas. "Kau mengusik barangku di sana."

Dia merangkak naik ke atas kasur. "Fahri, Fahri. Apa yang kaulakukan?!"

"Ibu, tidak seharusnya kau mengusik dinding di sana. Bukankah sudah kukatakan, tidak ada pintu untuk masuk ke dalam dinding?"

Fahri, anak tunggalku, semakin mendekat.

"Kau malah mengetuk dindingnya. Kenapa? Kau mau melihat koleksiku? Seharusnya izin dulu padaku."

Bibirku kelu.

"Aku anakmu, tapi aku butuh privasi."

Malam itu, aku hanya benar-benar iseng mengetuk-ketuk dinding ruang bawah tanah, sungguh. Aku hanya penasaran, kenapa Fahri tidak pernah mau aku menyender ke dindingnya.

Dinding bawah tanah itu ternyata, bukan dinding. Terbuat dari papan cupboard yang dicat sedemikian rupa agar mirip seperti dinding pada umumnya.

Saat kuketuk, suaranya bukan suara dinding. Aku, benar-benar tidak sengaja menekannya.

Dinding cupboard itu runtuh. Bau busuk menusuk hidungku, mataku membelalak kala itu. Tidak percaya apa yang kulihat. Ada banyak mayat di sana.

Membusuk. Bahkan ada yang sudah dikerumuni belatung dan lalat.

Mayat tetangga kami.

Mayat teman Fahri yang terakhir kali main ke mari.

Mayat-mayat lain yang tidak kukenali.

Bahkan mayat adiknya yang katanya menghilang dari pengawasannya.

Fahri teduduk di depanku. Dia meraih tangan kananku dan mengecup punggungnya. Fahri selalu bertingkah baik, sungguh. Tak kusangka dia menyimpan ... koleksi di balik dinding ruang kerjanya.

"Fahri ...." Suaraku tercekat.

Mata pisau daging itu mengilap diterpa cahaya lampu. Fahri menatapku dengan tatapan yang lebar, dan seringaian yang mengerikan.

Sekujur tubuhku mati rasa. Ingin rasanya mendorong Fahri, namun tidak bisa. Aku terlalu takut.

Selama ini, aku membesarkan seorang monster.

"Ibu ...," panggilnya lembut. Dia mengusap pipi kiriku perlahan.

"Mau jadi bagian dari koleksiku, 'kan?"

***

489 kata.

224Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang