8. Tutup

8 0 0
                                    

Aku selalu melihatnya, bahkan ketika aku berusaha untuk berpaling. Berusaha untuk tidak memperlihatkan bahwa aku menyadari keberadaannya. Awalnya, kupikir itu hanya khayalanku saja.

Akan tetapi, sampai kapan aku akan berkhayal terus? Makhluk aneh itu selalu ada, selalu memperhatikan dengan kedua matanya yang lebar. Selalu menusuk atma dengan tatapannya yang tajam.

Siapa aku untuk membuat keluargaku percaya? Benar, aku tumbuh di sebuah keluarga yang tidak percaya dengan hal-hal macam itu karena mereka tidak melihat langsung. Sebetulnya, aku tidak peduli. Asalkan aku tidak berinteraksi dengan makhluk itu, aku pasti akan baik-baik saja.

Makhluk itu ada di sudut ruang keluarga, menempel di atap ruangan yang putih seperti cicak. Kepalanya terbalik, dagunya mengarah ke lantai. Tubuhnya diselimuti kabut yang transparan, tulang-tulangnya terlihat.

Kata orang-orang, itulah yang disebut corrupted souls; hantu yang masih egois dan ingin hidup dengan limpahan kekayaan dunia, enggan untuk pergi ke akhirat. Karena takut dengan tempat yang namanya neraka.

Aku tidak mengerti, kenapa makhluk hitam berbentuk aneh itu ada di sudut atap sebelah kanan ruang keluarga kami. Apa mungkin dia adalah seseorang yang pernah kukenal?

Kehadirannya yang nyata terbukti oleh adik bayi perempuanku yang juga melambai ke arahnya setiap dia mendongak ke sudut. Corrupted soul itu hanya menyorot adikku dengan senyumnya yang mengerikan, seolah akan merobek pipinya.

Aku sudah membicarakan ini dengan kedua orang tuaku, tetapi mereka hanya tertawa dan pura-pura mengusirnya tanpa mengetahui bahwa dia masih ada di sana.

Dia tidak bergerak, tidak melakukan apa pun. Yang dia lakukan hanya mengamati, menatap kami satu persatu, tersenyum ketika kami melakukan sesuatu.

Apa yang dia inginkan?

***

Kelopak mataku terbuka, kukedipkan tiga kali. Aku terjaga, kerongkonganku dahaga. Sudah jelas, aku terbangun karena tubuhku tahu aku kehausan.

Aku terduduk di ranjang, terdiam sejenak untuk mengumpulkan sedikit jiwa yang masih bebas di luar tubuh ketika aku tertidur. Setelah sudah cukup, akhirnya aku keluar dari kamar.

Kamarku letaknya tak jauh dari dapur, tinggal keluar kamar dan berkalan lurus, aku sampai. Namun, aku harus melewati ruang keluarga tanpa pintu itu.

Di sana biasanya kami menonton televisi dan menghabiskan waktu. Ah, telat memberitahumu, ya? Maaf.

Setelah dahagaku lenyap dihanyutkan air yang mengalir melalui kerongkongan, akhirnya aku memutuskan untuk cepat-cepat pergi ke kamar. Namun, rasa penasaranku akhirnya menendang juga.

Aku berhenti tepat di ruang keluarga, tinggal beberapa langkah lagi, aku bisa kembali tertidur. Namun, aku penasaran. Apakah corrupted soul yang ada di ruang keluarga masih ada di sana?

Apakah dia pernah lelah mengamati kami?

Kuberanikan diri untuk menoleh, membiarkan netra obsidianku bersirobok dengan netra merahnya yang menusuk jiwa. Namun, dia tidak ada di sana.

Oh, sepertinya dia sudah pergi.

Tanpa basa-basi, akhirnya aku masuk ke kamar dan menguncinya. Kumatikan lampu, kemudian berbaring di atas rancang hingga menemukan posisi yang nyaman untuk kembali ke alam mimpi.

Fuh.

Mataku yang tadinya sudab terpejam kembali terbuka. Ada sesuatu yang meniup wajahku, napasnya begitu panas, tetapi tidak berbau. Cepat-cepat aku beranjak kemudian menyalakan lampu kamar.

Tidak ada apa-apa.

Aku berbalik, hendak memutar kenop pintu ketika kudengar bising dari ranjang. Aku tidak mau berbalik, aku tidak sebodoh itu. Tanganku yang mulai tremor membuat otak semakin panik, aku tidak bisa membuka pintu kamarku sendiri.

"Aku sudah lama memperhatikanmu."

Bulu romaku meremang. Aku tidak berani berbalik, tetapi leherku bergerak tanpa diperintah. Di hadapanku sekarang adalah corrupted soul yang sama yang ada di sudut ruang keluarga.

Jantungku berdegup kencang, tremorku semakin lama kian memburuk. Kenapa aku tidak bisa bergerak?

"Untungnya, kamu terlalu bodoh. "

Aku tidak mengerti apa maksudnya.

"Kau tidak bisa membedakan mana corrupted soul dan mana yang sebetulnya makhluk gelap."

Tungkaiku mulai lemas, tetapi aku tak mau kelihatan takut. "Inginku bukan harta dunia. Melainkan kehidupan yang kaumiliki."

"Lama sekali aku menunggumu untuk meninggalkan pintu kamar ini terbuka, akhirnya malam ini tiba juga."

Mataku membelalak, menatap makhluk di hadapanku.

Makhluk gelap ... bukankah mereka penghuni neraka yang menginginkan kehidupan? Mereka tidak bisa dilihat siapa pun kecuali manusia yang berpotensi menjadi wadahnya.

Makhluk itu tersenyum lebar, lebar sekali sampai ujung-ujung mulutnya menyentuh telinga. Matanya melebar, netra merahnya kemudian menyalak. Rasanya, sekujur tubuhku mulai ringan.

Perasaan ini ....

Aku menggantikan tempatnya di kegelapan.

***

672 kata.

224Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang