SRAK!
Jun membuka bungkus kopi yang masih tersisa di dapur dan menyeduhnya.
Jam menunjukkan pukul 11 malam, anak-anak kos sudah pada tidur di kamar masing-masing, hanya Jun yang masih tersisa di dapur.
"Loh, belom tidur, Jun?"
Sebuah suara datang dari belakang Jun. Jun langsung menoleh, mendapati Sarah, orang yang menempati kamar di samping kamar Jun berdiri di pintu dapur.
"Belum, Kak. Baru nyeduh kopi."
"Rajin banget kamu. Belajar?" Tanya Sarah. Ia duduk di menarik kursi di meja makan. "Aku mau satu, dong."
Jun mengangguk mengiyakan. "Hm..lebih tepatnya tugas sih, Kak." Balas Jun sambil menyeduh satu kopi lagi untuk Sarah.
"Tugas? Tumben? Biasanya kamu sat set sat set kalo ada tugas, sejam pun kelar walau tugas ngerangkum satu buku. Susah kah?" Tanya Sarah terheran-heran.
Tak lama, Jun menaruh segelas kopi di hadapan Sarah, dan segelas kopi untuknya. Tak lupa Sarah mengucapkan terima kasih.
"Mungkin iya. Aku disuruh bikin rangkuman tentang cita-cita."
"Walah. Aku ngerti. Pantes kamu bingung." Ujar Sarah. Ia menyeruput kopinya sedikit karena masih panas.
"Kakak mau begadang?"
"Iya, biasa."
"Skripsi?"
"Betul. Capek sama males banget, ambisnya tularin ke aku dong." Canda Sarah terkekeh.
"Secapek itu?"
"Iya. Makanya kamu nikmatin aja dulu masa-masa SMA kamu. Jangan gedean kantong matamu daripada kantong mataku. Main-main sampe puas, ntar kuliah terbantai."
Jun mengangguk mendengar nasehat panjang Sarah. Sarah adalah mahasiswa, cuma dia yang paling care terhadap Jun diantara anak-anak kos yang lainnya.
Kadang-kadang kalo Jun lagi bokek, Sarah dateng ke kamarnya bawa donat atau nasi goreng atau apapun yang bisa dimakan. Kadang Jun di undang ke kamar Sarah buat makan bareng. Padahal belum tentu Sarah punya uang untuk makan di esok hari.
Jun sangat menghormati Sarah. Ia juga membantu Sarah sesuai kemampuan dirinya sendiri, dengan menjadi Model dari baju bikinan Sarah untuk dijual.
Intinya, hormati orang kalau kau ingin dihormati. Kalo dia gak mau, Tetep buat baik walau cuma dimanfaati.
Tapi saya cinta feedback xixixi
Jun menopang pipinya dan menatap Sarah sebentar, sebelum membuka suara. "Kakak punya cita-cita?"
Sarah mengerjap, "Cita-cita? Ada dong. Aku mau hidup tenang pas tua nanti. Gak lagi pusing mikirin duit, tinggal foya-foya aja."
Jun tampak bingung. "Itu termasuk cita-cita? Bukannya cita-cita itu kayak pekerjaan?"
Sarah terkekeh. "Itu mungkin menurut orang-orang, tapi aku beda. Menurut aku, cita-cita itu gak harus pekerjaan, tapi impian yang besar, yang menurut kamu bisa kamu gapai kalau ada usaha. Dan kalau kamu udah berhasil gapai cita-cita, jangan jadiin patokan kalau itu udah selesai. Ciptain satu cita-cita lagi."
"Contohnya aku. Cita-citaku masuk ke universitas A, dan keterima. Aku nyiptain cita-cita lagi buat selanjutnya, jadi pengusaha sukses. Terus ada lagi, ada lagi, sampai aku tenang di hari tua. Makanya aku kerja keras dari sekarang."
Jun terdiam. Penjelasan lebar Sarah memang sangat jelas, namun entah kenapa membuat rumit. "Begitu...? Gimana kalo semua gak sesuai rencana?"
"Jalan keluar pasti ada, dan itu gak cuma satu. Tapi, jangan menghalalkan segala cara buat dapetin apa yang kamu pengen. Malah jadi villain, dong?"
"Gak usah buru-buru. Aku juga pernah stuck kok kayak kamu. Pelan-pelan aja. Pahami dirimu sendiri dulu."
Jun mengangguk. Pada akhirnya, ia tidak mendapatkan petunjuk mengenai 'masa depan'
***
Jun memutar pulpennya. Kelas hari ini cukup berisik, namun terasa hening di kepala Jun. Tubuhnya memang di kelas, namun jiwanya kemana-mana.
Dipikir-pikir, dulu ia tak perlu khawatir tentang cita-cita, karena sudah pasti dia sukses di tangan Ayahnya.
'..., Apa aku balik lagi aja kerumah?'
Jun tersadar saat ada suara berisik. Ia menoleh, mendapati barang yang sudah bertumpuk-tumpuk di kepala Amu. "Wow."
"Jun! Ikutan yok!"
"Sip." Jun mengambil vas bunga di meja guru dan menaiki kursi, meletakkan vas tersebut di paling atas.
"Uwowww!!!" Para murid terkesima. Bener-bener melawan hukum gravitasi.
Tak lama, ada murid yang habis dari luar berteriak, membuat semua murid panik. "Weh! Rapih weh! Pak guru dateng!!"
"Ambil barang-barang nya woy!"
"Waduh!!!"
"Soang siapa ini?!"
"Gak tau. Yang jelas kursi yang itu punyaku."
Upi menepuk pundak Amu, panik. "Amu bangun, ada guru."
Amu langsung terbangun. "Hah? Apa? Oh iya."
Pintu kelas terbuka dengan kencang, memperlihatkan Pak Eko yang sedikit berkeringat habis berlari. "Assalamualaikum wahai para penghuni surga! Semangat pagi!!!"
"Waalaikumsalam!!! Pagi pak!!"
"Maaf bapak telat datang." Ujar Pak Eko langsung masuk ke kelas. Tiba-tiba, ada suara menyeletuk. "Gak dateng juga gak papa, pak!"
Mata Pak Eko mendelik, "suara siapa itu? Kok gak dijaga?" Tanya nya sambil menunjuk salah satu murid, di balas gelengan.
"Oke, langsung kita absen—" Pak Eko berhenti. Ia melihat wajah Amu yang estetik karena coretan. Disebelahnya, ada Upi yang pundaknya bergetar, entah karena menahan tawa atau takut.
"..., Amu, kamu cuci muka dulu biar gak ngantuk. Upi, istirahat kamu keruang guru." Titah Pak Eko. Diangguki keduanya.
Kelas pun berjalan normal seperti biasa.
***
Hari ini hari pengumpulan tugas karangan bahasa Inggris. Jun yang sedang tidur dengan kepala disembunyikan di antara lengan, dibangunkan Toro untuk mengumpulkan tugas bahasa Inggris.
"Sebentar." Jun menggeledah tasnya, lalu memberikan sebuah kertas pada Toro. "Ini."
"Sip." Toro sekilas membaca kertas Jun. Matanya terbelalak, terkejut. "Kamu yakin mau balik lagi?" Tanyanya. Di nadanya tersirat nada khawatir.
Jun memalingkan pandangannya ke jendela. Tatapannya menyorot kosong ke halaman. "Itu kan cuma karangan. Yang penting tugasnya selesai."
Dahi Toro mengkerut. "Tapi kamu gak bakal balik lagi kan?"
Jun menoleh, ia menatap Toro dengan senyum yang tak bisa diartikan.
"Tergantung."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝙋𝙚𝙧𝙛𝙚𝙘𝙩 / 𝙒𝙚𝙚! 𝙭 𝙧𝙚𝙖𝙙𝙚𝙧𝙊𝙘
HumorBagaimana rasanya terlahir sebagai anak tunggal perempuan di keluarga yang terobsesi memiliki anak laki-laki? Semua telah kau buang untuk menjadi anak laki-laki yang sempurna. Pada akhirnya, kau tidak bisa jadi yang sempurna. "Anjirlah." - Arjuna . ...