Warna langit masih terlihat begitu pekat akan kegelapan tanpa secercah cahaya mentari. Udara dingin yang ikut menyertai terus berhembus seolah menyuruh para makhluknya untuk tetap lelap dalam buaian mimpi.
Namun hal itu tak pernah menghalangi niat sekelompok orang yang ingin meraup rezeki pada subuh menjelang pagi ini.
Beberapa puluh orang nampak berbaris rapi, mengantre untuk masuk kedalam bus jurusan kota. Mereka sama sekali tidak takut dengan dinginnya udara yang menusuk kulit ataupun kegelapan yang dapat mengundang kejahatan. Yang mereka pikirkan hanyalah, bagaimana cara mereka dapat meraup banyak rezeki bagi keluarga mereka yang tergolong susah. Maka dari itu mereka berbondong-bondong menuju kota demi mencari ribuan rezeki yang melimpah dari sana, meskipun harus rela meninggalkan rumah dalam keadaan gelap gulita.
Memang kebanyakan dari mereka berniat untuk mencari pekerjaan yang menjanjikan, tapi tak dipungkiri jika diantara mereka ada juga yang berniat untuk menimba ilmu dan menemui keluarga yang tinggal disana. Salah satunya adalah seorang remaja bermanik gold yang membopong sebuah tas ransel besar di punggungnya. Usianya terlampau muda dibandingkan para penumpang lain, tapi sepertinya tekadnya begitu besar.
"Ingat kata Atok! Kota bukan tempat bermain, jadi banggakan Atok dengan nilai yang memuaskan dan belajarlah sungguh-sungguh" nasihat sang Kakek di malam sebelum ia pergi menuju kota, sementara dirinya kala itu hanya dapat menganggukkan kepala tanda patuh.
Kini, dihadapannya adalah sebuah bus yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Ia harap langkahnya kali ini akan menjadi langkah untuk memulai kehidupan baru, dan membuka cerita baru tentangnya.
Ia menghela nafas panjang, berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua akan berjalan sesuai rencana.
Ya, sesuai rencana Tuhan maksudnya.
Dengan berani ia melangkahkan kakinya, memasuki bus jurusan kota yang hampir penuh sesak dengan para penumpangnya.
Ia melihat salah satu bangku yang lenggang. Sudah diputuskan olehnya bahwa ia akan berada disana hingga tiba di kota.
Ternyata disebelahnya ada seorang pria yang tampaknya sudah sejak tadi duduk menunggu keberangkatan. Ia berusaha se-sopan mungkin karena sang pria akan menjadi teman perjalanan panjangnya.
Pria itu tampaknya masih mengantuk, karena hanya berdehem singkat untuk menjawab pertanyaannya.
Hening. Seorang pria menyerahkan tiket-tiket yang dijualnya untuk ditukar dengan lembaran rupiah. Setelah membayar tiket perjalanan yang harganya cukup lumayan, akhirnya bus itu melaju melewati gelapnya desa.
Ia hanya duduk menatapi pemandangan desanya, mengingat keadaan nya sebelum meluncur menuju kota-meskipun sebenarnya tak terlihat dengan jelas akibat gelap yang mengukung.
"Siapa namamu?" Seseorang bertanya, mengejutkannya sedikit. Ia menoleh, menatap sang lawan bicara yang ternyata adalah teman perjalanannya.
"Gempa Wardana, pak" jawabnya singkat lengkap dengan seulas senyuman manis yang terukir di bibirnya.
"Kau mau ke kota juga? Sendirian?" Tanya pria itu kembali, lengkap dengan wajah kebingungannya. Ia hanya terkekeh pelan, kemudian mengangguk sebagai jawaban.
"Apa ada yang salah pak? Bukannya semua orang punya hak yang sama tentang kebebasan,ya?" Tanyanya seolah sedang memojokkan pria yang menjadi lawan bicaranya.
"Tidak. Aku hanya bertanya, karena menurut ku kau terlalu muda untuk pergi ke kota sendirian" ungkapnya sembari memalingkan wajahnya. Mungkin pria itu hanya malu mengakuinya.
"Ke kota sendirian bukan hal yang sulit. Lagi pula kita sama-sama punya tujuan dan tekad yang kuat. Jadi apapun itu pasti mudah untuk dilakukan" jelasnya yang membuat pria itu mengulum senyum entah karena apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Home...
FanfictionSeorang bocah yang berasal dari desa, pergi menuju kota dengan bermodalkan tekad menuntut ilmu. Dengan tekadnya yang kuat ia mencoba bertahan dari terpaan hidup yang menimpanya di kota. Meskipun ia tinggal bersama sosok yang menjelma menjadi ayahny...