Sejuknya udara pagi menemani renungan seorang remaja bermanik gold. Ia duduk tepat di teras rumah miliknya, merenungi nasib nya yang tak kunjung berubah.
Helaan nafas terdengar dari mulutnya, mengutarakan rasa lelah tanpa terucap.
Manik gold yang biasanya terang, dengan ketenangan yang selalu akrab dengannya, berganti dengan tatapan kosong nan hampa. Ia terlihat seperti orang gila yang kehilangan arah untuk meneruskan kehidupannya.
"Mau sampai kapan Lo disana? Gak dingin apa?" Tanya seseorang sembari berjalan mendekatinya dan memeluknya dari belakang.
"Cukup, gue capek liat Lo kek gini terus" ungkap sosok itu masih mempertahankan pelukannya guna menghangatkan tubuh nya.
"Udahlah Ice, aku kuat kok" ucapnya berusaha meyakinkan sosok itu. Ia melepas tangan yang melingkar tepat dilehernya.
"Sekuat apapun Lo, masih ada orang yang bisa bantuin Lo, Gem" ujar Ice sembari duduk menemaninya.
Gempa menghela nafas panjang. Matanya terpejam rapat, menikmati hembusan angin pagi yang menerpa seluruh tubuhnya yang hanya terbalut kaos biasa.
"Ayo" ajak Ice menarik tangan Gempa sembari berdiri. Ia sepertinya begitu antusias membantu kakaknya ini.
"Mau kemana?" Tanya Gempa tak paham dengan jalur pikirannya. Ia tak bisa menebak seluruh rencana yang telah disiapkan sang adik dengan matang.
"Tempat biasa" jawab Ice lengkap dengan cengiran yang hanya tampak didepan Gempa saja. Gempa yang mulai paham maksud dari Ice segera bangkit dengan seulas senyum mengembang.
"Oke, let's go!"
Keduanya berjalan bersama menyusuri kediaman mereka yang luas. Taman depan yang berhiaskan bunga mawar berwarna-warni adalah tempat pertama mereka. Kemudian beralih ke taman belakang yang dihiasi tumpukan bunga berbagai jenis dan warna, mereka berhenti disana karena tempat itulah tujuan mereka sesungguhnya.
"Gue paling suka liat taman yang banyak bunganya, cantik. Kadang juga suka keinget sama bunda sih" Gumam Ice yang memandang taman belakang dengan mata berbinar.
"Aku juga suka, keliatan asri gitu" Balas Gempa yang berdiri disebelahnya. Senyuman nya sejak tadi mengembang dengan tatapan penuh kebahagiaan.
Gempa meraih tangan Ice, menggenggamnya erat seolah akan ada yang menarik sang adik darinya jika ia tak lakukan itu. Ice yang menyadari hal itu turut membalas genggamannya.
"Gue tau hidup itu kayak roda, tapi gue gak mau kita pisah apapun yang bakalan terjadi" Ucap Ice dengan senyuman tipis di wajahnya.
"Aku juga gak mau itu terjadi. Mimpi itu cuman bunga mimpi bukan surat takdir" Balas Gempa.
Setelah beberapa menit dalam keadaan seperti itu, menikmati pagi yang indah bersama. Akhirnya mereka berteduh di bawah pohon sembari menutup mata.
"Ice, menurut mu aku punya kesempatan kah? " Tanya Gempa.
Ice bergumam sebentar sebelum menjawab.
"Kesempatan? Untuk apa? " Tanyanya bingung.
"Buat jadi bagian dari keluarga ini" Jawab Gempa pelan. Tak ada nada semangat dalam suaranya.
Ice tertawa pelan, memperbaiki posisi poninya yang berantakan akibat angin yang berhembus.
"Semua orang berhak dapat kesempatan.
Semua, termasuk lo.
Dan gue yakin lo bakal bisa jadi bagian keluarga ini, bagian dari kehidupan gue dan yang lain. Lo berhak, Gempa" Jawab Ice dengan mantap.
Gempa membuka matanya, menatap Ice dengan tatapan penuh harap.
"Caranya?" Tanyanya lesu.
"Ada gue, gue yang bakal cari cara buat jadiin lo keluarga gue. Gue janji Gem!! " Jawab Ice penuh semangat dan keyakinan penuh. Gempa terkekeh geli, senang rasanya ada yang begitu peduli pada hidupnya. Ia pikir hidupnya akan begitu-begitu saja seperti di desa dulu.
~★~★~
Pagi yang cerah nan segar menyambutnya ketika ia baru saja membuka mata. Maniknya yang berwarna green emerald nampak memperhatikan sekeliling sebelum ia menyadari sesuatu.
"Ah! Sekolah?! " Paniknya sembari berlari meraih handuknya. Setelah itu ia segera menuju kamar mandi dan membasuh tubuhnya secepat mungkin.
Beberapa menit yang berlalu begitu saja, ia keluar dengan seragam yang ia ambil tanpa melihat.
Bentuknya benar-benar tidak karuan, kancing baju paling bawah tidak mendapatkan tempat. Artinya kancing-kancing lain salah menggunakan tempat.
Ditambah rambutnya yang sedikit basah dan berantakan, membuat tampilannya aneh dan buruk. Meskipun ia bukanlah sangat adik yang suka sekali kepopuleran tapi penampilan tetap penting.
"Siap!! Ini baru namanya rapi" Gumam nya penuh semangat setelah memperbaiki stelan nya yang berantakan.
"Thorn! Yuk makan! " Ajak salah seorang kakaknya pemilik manik Blue Sky sembari tersenyum lebar. Ia mengangguk, dengan segera ia meraih tas sekolah nya dan berjalan mengikuti sangat kakak.
Keduanya berjalan dalam diam, tak ada yang memulai pembicaraan. Semua seolah tengah tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Akhirnya mereka tiba di ruang yang biasa digunakan ketika makan. Disana seluruh anggota keluarga nya menunggu. Semuanya, tak terkecuali sang anak yang kompak mereka benci.
Bedanya, wajah yang biasanya selalu tersenyum lebar ketika sang ayah datang sudah menghilang. Seolah mereka tidak melihat orang itu, melainkan orang lain yang menyamar.
Tapi, paling tidak Thorn lega. Ada keceriaan yang menggema yang membuatnya terhipnotis untuk ikut merasa bahagia. Bahkan sepertinya kebahagiaan itu juga menghipnotis tiga orang yang selalu berwajah tanpa ekspresi.
Halilintar kini menanggapi ocehan Taufan dengan ceria, mereka berebut susu yang ada diatas meja. Ada pula Ice yang sejak tadi tersenyum lepas tanpa beban seolah ini hari keberuntungan nya. Dan jangan lupakan Solar yang sempat mengerjai nya.
Hari yang aneh bukan? Tapi Thorn bersyukur karena hari ini ia masih diberi kesempatan melihat hal yang seperti ini. Tak apa terlihat tak biasa, asal wajah-wajah mereka, ekspresi-ekspresi mereka dapat ia cetak dengan jelas di ingatannya.
"Aduh, Thorn... Habiskan makan mu dulu, jangan banyak melamun. Nanti telur mu dicuri Solar lagi loh" Ucap sang ayah dengan nada bercanda.
Thorn hanya mampu terkekeh pelan, ia malu sebab ketahuan melamun. "Jangan terlalu sering melamun, kejahatan dimulai karena seseorang yang jadi target lengah, loh" Peringatan Solar sembari mencomot naget goreng nya.
Thorn yang sadar segera memukul jari Solar dengan sendok yang dipakainya. "Ah, Solar ketularan kak Upan, jahil" Gerutunya. Sang empu yang disebut tak terima "Hei!" Pekik Taufan dengan raut wajah kesal.
Hali yang disampingnya tersenyum tipis, ia menepuk pundak Taufan kasar. "Tuh, dengerin... Thorn gak mungkin bohong loh" Goda Hali. Taufan melipat wajahnya, ia semakin kesal dan murung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Home...
FanfictionSeorang bocah yang berasal dari desa, pergi menuju kota dengan bermodalkan tekad menuntut ilmu. Dengan tekadnya yang kuat ia mencoba bertahan dari terpaan hidup yang menimpanya di kota. Meskipun ia tinggal bersama sosok yang menjelma menjadi ayahny...