Part 3

171 23 1
                                    

Dalam gelapnya malam. Seorang pria tengah duduk di teras rumahnya. Ia duduk di kursi rotan sembari matanya menatap langit yang tengah menunjukkan deretan gemintang.

Malam ini ia berniat untuk kembali ke kota. Menemui keluarga yang dulu ia cinta-sebelum kematian sang istri.

Sebenarnya ia enggan sekali untuk kembali ke kota, tapi ia terlalu khawatir dengan keadaan anak-anaknya yang ia tinggalkan. Lebih tepatnya ia merasa bersalah karena tidak menjaga mereka selepas kematian sang istri.

"Yah... Gimana kabar mereka?" Tiba-tiba ia mendengar suara yang amat ia kenal dan juga rindukan. Ia menutup matanya dan menajamkan pendengarannya, berharap apa yang ia dengar hanyalah halusinasi belaka.

"Bunda kangen" lagi-lagi suara itu terdengar, kali ini lebih dekat. Ia membuka matanya perlahan setelah merasakan sentuhan lembut milik wanita yang ia sayangi.

Tepat saat ia membuka matanya dan menoleh kesamping, ia dapat melihat wajah sang istri yang sudah meninggalkannya tiga bulan lalu. Tetap cantik dan manis, walaupun ia tahu didepannya ini bukanlah lagi istrinya yang dulu.

"Yah... Mereka tetep bahagia kan? Bunda gak mau liat mereka sedih" tutur wanita itu sembari menyandarkan kepalanya di bahu sang suami. Pria itu hanya dapat memandangnya sendu. Dalam hati ia berharap bahwa kejadian ini nyata, dan keadaan yang kemarin hanya mimpi.

Ya, dia berharap demikian. Tapi kenyataannya sekarang tetap lebih pahit bukan?

"Maaf" hanya satu kata yang lolos dari mulutnya. Kali ini matanya memanas ketika melihat sang wanita mengangkat kembali kepalanya dan menatap lurus ke depan.

Ia tahu ia salah. Tapi, apa salahnya jika bersedih setelah kehilangan seseorang yang selalu bersamanya? Ia juga manusia, kan?

"Ayah sudah janji sama bunda, buat bahagiain mereka. Sekarang bunda pengen lihat bukti janji ayah" wanita itu kembali membuka suara, meminta bukti dari janji yang telah diikrarkan. Dan tanpa sadar hal itu telah menampar sang pria tanpa sentuhan.

Ia hanya menunduk, rasa sesal kini memenuhi dadanya. Seharusnya ia menjaga anak-anaknya, membuat mereka merasa lebih baik dan memberikan kebahagiaan serta perhatian yang cukup.

Apakah ini artinya ia tidak dapat menepati janji? Kalau begitu pasti sang istri kemari untuk mengingatkannya.
Haha, atau ini masih dunia khayalannya?

"Pulang yah... Ikhlasin bunda. Jangan jadiin mereka korban" lanjut wanita itu sembari berjalan menjauhinya. Ia hanya diam mematung, memperhatikan adegan ini tanpa memberontak. Bukankah seharusnya ia mengejar? Menahan sang istri agar tak lagi pergi. Lalu kenapa ia diam saja sekarang? Apa dia takut?

Wanita itu perlahan memudar, tubuhnya mengeluarkan cahaya putih yang cukup menyilaukan mata. Tanpa pria itu sadari ternyata sang wanita tengah menangis, mungkin ia tak tega membiarkan sang suami menjadi single parents atau tak tega meninggalkan anak-anaknya lagi. Entahlah, hanya Tuhan yang tahu maksud dari air mata itu.

Pria itu mengerjapkan matanya berulangkali, ia mencoba memastikan pandangannya yang baru saja melihat sang istri. Apa ia salah lihat? Atau ini hanya mimpi? Batinnya bertanya.

"Amato" suara serak nan berat yang keluar dari mulut seorang pria lanjut usia mengejutkannya. Bahkan tubuhnya sedikit terguncang karena terkejut.

Mendengar namanya dipanggil oleh suara yang amat familiar, ia menoleh dan mendapati seorang pria lanjut usia tengah berdiri tepat didepan pintu rumahnya. Tatapan dari pria itu seolah meminta penjelasan atas sesuatu yang tak dimengerti nya.

"Kenapa Abah?" Tanyanya mencoba untuk tetap menggunakan sopan santunnya dihadapan pria itu, lebih tepatnya ayahnya sendiri.

Pria itu- ayah dari Amato- tak menjawab pertanyaan putranya. Ia memilih untuk duduk sebelum membuka suaranya. Ia duduk disebelahnya, tepat dikursi yang telah digunakan sang istri tadi. Tatapan matanya menerawang jauh kedepan, Amato yang memperhatikan tingkah ayahnya yang seperti itu dibuat merinding seketika. Menyeramkan.

Home...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang