Bagian 1

28 8 7
                                    

"Tak ingin aku bersuara walau sepatah kata bahkan satu huruf pun, kerena bagi mereka semua SALAH"

Gerimis hujan disertai udara dingin yang mulai terasa, hiruk pikuk suara kendaraan tak membuat aku bergeming sama sekali dari atas tempat tidur. tubuh yang meringkuk,air mata yang mengalir, bantal yang di peluk erat serta latar dinding yang kosong. sungguh ini sangatlah hampa.

Tubuhku sangat teramat berat isi kepalaku semakin berisik, aku memang tak melakukan apa-apa hanya terdiam berbaring bagai orang tak bernyawa di atas tempat tidur tapi sangat terasa leleh yang ingin aku lakukan hanya tidur tidur dan tidur.

"MARNISAAAAAAAAA, keluar dari kamar kamu!! apasih mau kamu !" bahkan teriakan ini tidak membuat aku bergeming sama sekali.
"TERUS AJA SEPERTI ITU. MATI-MATI LAH KAMU. NYUSAHAIN BANGET. MANJA-MANJA NGAK GUNA KAMU!"
Teriakan itu semakin menjadi-jadi bagai toah masjid yang bergema, mengkin didengar sama para tetangga juga.

Bruakkk.....
Pintu kamarku di buka dengan sangat keras. Seraut wajah penuh Amarah, memegang seruas bambu dengan panjang sekitar satu meter. Melangkah kearahku.

Pak....pak...pak...
Kayu itu dihantampakan ke bagian betis kaki ku. Tubuhku seakan mati rasa dan ingin berteriak terus saja jangan berhenti hingga aku mati.

Pukulan itu terus melayang tanpa henti. Tapi tubuhku tak bergeming sedikitpun. Bahkan membela diri aki tak mau. Aku masih tetap di posisi yang sama.

"KURANG AJAR, APA SIH MAU KAMU? DASAR TIDAK TAHU BALAS BUDI. UDAH DI SEKOLAHIN DARI KECIL, DIKASIH MAKAN, DI KASIH KULIAH, INI BALASAN MU HAH!!!! " Amarah itu semakin memuncak selaras dengan hantaman bambu di tubuhku.

"DASAR TIDAK TAHU DIRI"Teriakan itu berakhir seakan puas menghantam diriku di ikuti gebrakan pintu yang keras.

Air mataku mengalir deras, tubuh ini semakin meringkuk, dan semakin erat memeluk bantal seraya hatiku bergemuruh "Bunuh saja aku, aku tak sanggup lagi. Sampai kapan harus seperti ini, mengapa hidupku begitu panjang, tidak bisakah berakhir secepatnya? Bisakah mati saja sekarang?"

Alunan doa tak dapat lagi aku panjatkan. Didalam diriku bergelut akan sejuta kemungkinan ketika aku mati. Pasti mereka akan bahagia, merasa begitu bersuka, karena sudah tidak ada lagi satu beban di hidup mereka. Aku hanya bisa menutup mata dan tidur untuk melihat cerita dalam mimpi. Hanya itu hal yang dapat aku lakukan saat ini.

___

Tiga hari sebelumnya pada siang hari, setelah semua setelah makan dan berberes aku menuju kamar untuk istirahat sambil menonton filem dari laptop.

Tak terasa hari waktu sudah menunjukan pukul 16:30 aku bergegas membereskan rumah, mandi dan berpakaian rapi.

"Tante aku pamit dulu, mau ngajar prifat di daerah A setelah itu mau ngajar ke TPQ"

Dengan muka masam dia menatapku, seraya memerintah.
"PERIKSA ITU PEMANAS, NASI HABIS, MALAM GIMANA KITA MAU MAKAN?" Aku terkejut, akan terlambat jika aku harus menanak nasi terlebih dahulu sedangkan aku sudah membuat janji.

"Nasi habis? Aku masak setengah mateng saja ya?? Nanti Tante liatin pas dikukus, aku sudah janji sama orang untuk memberikan privat anaknya!"
Aku meminta keringanan.
"NGAK BISA! TUNGGU SAMPAI MATENG BARU BISA PERGI!" Katanya menghardik.

"Aku akan telat, kalau harus menunggu sampai mateng, aku sudah berjanji."

"HEH, SAYA TIDAK MAU TAHU !"
perdebatan kecil terjadi antara kita berdua. Aku sempat mengambil tas dan ingin langsung melangkah keliar rumah.
"SELANGKAH KAKIMU Keluar RUMAH. NGAK USAH KAMU PULANG" Teriak nya mengancam.

Darahku terasa mendidih, emosiku seakan memuncak hingga jiwaku dipenuhi dengan amarah. Melemparkan Tas yang ku pakai ke sembarang tempat. Membanting kaki menuju dapur. Ingin sekali ku menangis namun semua masih tertahan.

Aku gebrakan semua barang yang ingin ku ambil. Sengaja ku tuangkan beras dengan dengan tinggi agar berisik. Aku cuci dengan penuh emosi. Hinga wadah beras itu terjatuh.

"Banting KAN TERUS!! PECAHIN SEMUA, EMANG UANG NENEK MOYANG KAMU YANG BELIIN ITU SEMUA BARANG-BARANG. "ocehnya bukan membuat aku tenang namu n aku semakin menjadi-jadi.
Tante ku masih saja terus menggoceh hingga emosiku tak dapat lagi aku tahan.
"ORANG DARI TADI AKU SANTAI NGAK DI SURUH MASAK NASI. AKU MAU PAMIT KERJA NGAK DI BOLEHIN. KALAU KERJA DI BUAT TERLABAT ENTAR KALAU GAJIAN CEPAT DI TANYAIN. KALAU UANG BEGITU CEPAT!"

"APA KAMU BILANG? COBA ULANG!!" seru tante aku yang dari tadi di belakang.
" KALAU UANG MAUNYA CEPAT"

Plak.....
Tamparan mendarat lah di pipiku. Bukan hanya sekali ,beberapa tamparan mendarat tapi membuat aku mati rasa. Air mata yang sejak tadi tertahan kini mengalir deras.

Dengan keadaan emosi bahkan lupa untuk mendidihkan air di wajan. Aku Nyalakan kompor dan merebus air di wajan. Memasak nasi dengan cara tradisional sangatlah memakan waktu. Jika dengan rice cooker hanya mencuci beras dan menunggu nasi mateng. Namun berbeda dengan cara tradisonal.

Air di wajan telah mendidih, masukan beras yang di cuci bersih tunggu hingga mengering airnya. Tentu dengan ukuran air yang pas. Jika kelebihan akan lembek, jika kurang akan keras. Setelah itu masukan ke panci kukus dan tunggu hingga matang. Sungguh rumit dikala banyak yang sudah mudah. Jika orang lain membutuhkan 2 menit untuk menanak nasi maka akau butuh tiga puluh menit.

Tidak ada lagi waktu yang tersisa lagi untuk aku melanjutkan pekerjaan itu. Terlebih lagi, tak punya alat komunikasi untuk mengabari pengurus TPQ atau pun murid Prifat.
Aku menuju kamar.

GUBRAKKKKKK.....
Pintu kamar aku kunci tak ingin seorangpun masuk dan mengusikku. Saat ini terasa sangat-sangat berat.

"BIN**** KAMU!! NGAK TAU BALAS BUDI. KELAKUAN SAMA KAYA IBUNYA. BELUM JUGA JADI APA-APA SUDAH BALAS TA*. SANA KERJA SEKALIAN JADI LON**** KALAU NGAK MAU DI ATUR!" Hardik tante

Mendengar kata-kata itu hatiku terasa hancur. Jiwaku melayang. Duniaku seakan ingin berhenti.
"Apa salah ibuku Ya Allah, kenapa setiap keburukan dan kesalahan yang aku lakukan selalu saja dia yang meraka jelek kan? Apa yang sebenarnya dosa yang telah Ia lakukan?"
Aku hanya bisa merebahkan badan di tempat tidur, meringkuk dan menangis.

Saat ini aku ingin ada satu saja orang berpihak padaku. Menenangkan, memeluk serta menemaniku hanya itu tidak lebih.

Adzan magrib terdengar. Tubuh ini tak ingin bergerak lagi. Bahkan rasa lapar pun pergi begitu saja. Bahkan untuk ibadah aku berat melaksanakan. Aku memejamkan mata hingga terlelap berlalu dalam mimpi.

Sholat isya dan subuh berlalu begitu saja. Ketika aku terbangun matahari sudah nampak. Tubuhku terasa begitu lelah dan capek padahal aku tak melakukan apapun.

Aku enggan keluar dari kamar, pikiranku melayang merenung setiap kejadian sejak dulu. Air mataku kembali mengalir.
" Ya Allah, begini kah takdir ku, sampai kapan Ya Allah" rintihku

I And MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang