♻️♻️♻️
Sial. Sial. Sial.
Umpatan terus Kalya ucapkan dalam hati. Kakinya sibuk berlari mengejar gerbang sekolah yang hampir tertutup sebentar lagi. Huh, padahal gerbang sekolah tidak kemana-mana, tapi malah dikejar?
Bukan itu yang penting sekarang. Hari pertama sekolah, tapi Kalya malah telat? Sialan. Ia mengumpat lagi dalam hati.
Kalya tidak pernah sekalipun melanggar peraturan sekolah, kaus kaki diatas mata kaki, sepatu berwarna hitam-Ehm, kecuali memakai dasi, ia pernah melupakannya beberapa kali-. Jika semua hal itu tidak pernah ia langgar, maka pelanggaran seperti telat masuk sekolah akan menjadi penghinaan paling besar baginya.
Kalya memang bukan anak paling pintar di sekolah. Masuk kedalam 10 besar peringkat paralel saja tidak. Tapi, ia bukanlah siswi yang suka melanggar aturan. Gurunya pernah berkata, "jika aturan kecil di sekolah saja tidak bisa kita taati, bagaimana dengan hukum negara?" Wah, sungguh kata-kata yang menggetarkan hati.
Ah, sudahlah. Kenapa malah memikirkan hal lain. Ada yang lebih dan sangat penting sekarang. Kalya mempercepat langkahnya ketika melihat OSIS hampir menutup gerbang sepenuhnya. Ayo, Kalya, sedikit lagi, ia menyemangati dirinya sendiri. Ia mulai menghitung dalam hati.
Tiga,
Dua,
Sa-
Hap. Berhasil. Kalya berbangga hati saat berhasil melewati gerbang sekolah sebelum benar-benar tertutup Sempurna. Seolah ia telah memenangkan lomba lari, begitulah kira-kira perasaannya.
"Wah, seorang Kalya Falisha Gatari hampir telat. Sebuah momen yang langka." Suara seorang laki-laki yang terdengar menyebalkan menghampiri telinganya. Seolah tidak mengerti rasa lelah yang dirasakan Kalya, lelaki itu meledeknya dan memantik kekesalan di wajah Kalya.
"Berisik, lo!" Kalya menjawab sambil memincingkan mata ke arah laki-laki tersebut.
Tama-nama lelaki itu-tertawa mendengar jawaban Kalya yang penuh dengan nada kesal.
Alasan Tama berada di sini adalah Tama yang merupakan anggota OSIS. Kebetulan hari ini dia bertugas menjaga gerbang. Dan, kebetulannya lagi, Kalya yang sepanjang hidupnya selalu datang paling lambat 20 menit sebelum bunyi bel, hari ini datang 1 detik sebelum gerbang ditutup.
Kalya mengacuhkan Tama dan bergegas melangkah menuju kelasnya bersama dengan anak-anak lain yang bernasib sama dengannya. Tama-di sampingnya- mengikuti langkahnya. Kalya memandang Tama dengan heran, alisnya menukik bingung. "Lo ngapain ikutin gue?"
"Yeu, geer lo! Gue mau ke kelas. Kelas kita kan, sebelahan." Ucap Tama sambil menjitak kepala Kalya.
Kalya berdecak. Mulai lagi cari ributnya. "Kirain masih ada tugas jadi babu sekolah." Ucapanya dengan nada menyindir.
"Dih, babu apaan." Mendengar gerutuan kesal dari Tama, Kalya menyemburkan tawanya. Tama yang mendengar tawa Kalya semakin merengut.
Sepanjang jalan menuju kelas, Kalya sibuk meledek Tama, dan Tama ikut membalas ucapan Kalya, tak jarang tawa terdengar seiring dengan langkah kaki mereka. Mereka berdua terlihat seperti dua remaja yang saling kasmaran, bukan?
Tapi, yang sebenarnya adalah mereka cuma teman dekat. Catat. Teman dekat. Lebih tepatnya, teman sejak sekolah dasar. Itulah kenapa Tama dan Kalya terlihat akrab. Tidak ada apapun diantara mereka, sungguh. Baik Tama maupun Kalya, mereka tidak pernah menunjukkan sinyal bahwa mereka menyimpan perasaan pada satu sama lain.
Kecuali, jika mereka menyembunyikannya.
Ah, bukan mereka, tapi Kalya. Kalya yang menyembunyikan perasaannya pada Tama. Senyum dan tawa Tama yang ia lihat sekarang telah menjadi favoritnya sejak 3 tahu lalu.
Tidak ada yang tahu kebenarannya kecuali Tuhan dan dirinya.
♻️♻️♻️
KAMU SEDANG MEMBACA
YOur Story
Teen FictionDiratama dan senyumannya. Dua hal yang sangat Kalya suka sejak tiga tahun lalu. Segala hal yang Kalya suka ada pada Diratama. Sudah tahu seberapa usilnya Tama pun, Kalya tetap suka. Selain tentang sekolah, hidup Kalya adalah tentang Tama. Tampan, ra...