PERSAHABATAN

25 5 0
                                        

Liu Yangyang lagi buru-buru jalan ke kelas di SMA Harapan Jaya, hari ketiganya di sekolah baru ini. Dia, cowok tampan dengan rambut hitam berantakan dan senyum lelet, ceroboh seperti biasa—tas ransel kelep di satu pundak, earphone nyanyi di telinga, dan sepatu ketsnya nyaris lelet karena tali yang nggak diiket. Dia nggak sengaja nyenggol seseorang di tikungan koridor, dan buku-buku plus kotak pensil jatuh berantakan ke lantai.

“Wah, maaf banget, bro!” kata Yangyang cepet, jongkok buru-buru buat ngumpulin barang-barang itu.

Cowok di depannya—tinggi, kurus, rambut cokelat tua yang disisir rapi, dan matanya sipit penuh senyum—cuma ketawa kecil, “Santai, nggak apa.” Suaranya lembut, ada aksen kecil yang bikin Yangyang penasaran.

“Aku Liu Yangyang, 10 IPA 1, baru pindah. Lo?” tanyanya, berdiri sambil nyodorin buku yang dia ambil.

“Huang Hendery, 10 IPA 2, juga baru pindah,” jawab cowok itu, ambil bukunya sambil nyengir.

“Kita sama-sama lost ya di sini?”

Yangyang ketawa lelet, “Banget! Aku tadi masuk ruang musik, kirain kelas, malah ketemu piano.”

Hendery ikut ketawa, “Gue malah salah masuk gudang, ketemu sapu sama ember!” Mereka langsung jalan bareng, dan tanpa sadar udah jalan ke arah kelas sambil ngobrol.

Dari pertemuan nggak sengaja itu, mereka cepet jadi sahabat. Yangyang suka bercanda, dan Hendery punya cara bales yang santai tapi cerdas.

“Lo keliatan kayak bakal lupa bawa PR tiap hari,” goda Yangyang.

Hendery bales, “Lo keliatan kayak yang bakal bikin PR orang lain hilang!”

Pas istirahat, mereka mutusin makan bareng di kantin.

“Gue laper, bakso yuk!” kata Yangyang, 

Hendery angguk, “Oke, tapi lo traktir gara-gara nyenggol gue tadi!”

Di kantin, mereka duduk di meja pojok, bawa dua mangkok bakso panas sama es jeruk. Yangyang cerita soal kekonyolannya di sekolah lama—pernah nyanyi kenceng pas ujian—dan Hendery bales sama cerita dia yang nggak sengaja buka pintu kelas guru pas rapat. “Gue dikira kurir, bro!” katanya, dan Yangyang ketawa sampe nyaris kesedak bakso. Mereka makan sambil lelet, ngerasa nyambung banget—Yangyang yang ceroboh dan Hendery yang santai jadi kombinasi pas.

Tiba-tiba, suara keras dari tengah kantin,

“Hendery! Lo ngumpet di mana?!”

Mereka noleh bareng, dan liat cowok rambut hitam pendek, mata besar, sama suara lantang berdiri deket meja minuman.
“Itu Xiaojun,” kata Hendery, nyengir, “Temen gue, bawelnya nggak ketulungan.” Belum sempet Hendery selesai, empat cowok lain ikut nyamperin—Kun yang pendiam bawa buku, Ten yang tinggi bawa bola basket, Winwin yang kalem pake jaket, dan Lucas yang gede sama jaket longgar.

Xiaojun langsung duduk, “Lo temen baru Hendery ya? Nama lo siapa?”

Yangyang bales, “Liu Yangyang. Lo kenceng banget teriak, bro, kantin ini gede apa kecil sih?”

Xiaojun ketawa, “Biar orang pada takut!”

Kun noleh pelan, “Hendery emang susah dicari, tadi dia kabur pas pelajaran olahraga.”

Ten nyamber, “Gue cari dia di lapangan, kirain dia main basket, eh nggak ada!”

Winwin cuma bilang, “Biasa, dia suka ngilang,”

sementara Lucas duduk santai, “Lo asik nggak, Yangyang? Kalau iya, lo masuk geng kita.”

Perhatian Yangyang sama Hendery teralihkan total. Xiaojun cerita soal lelet guru matematika, Ten nantang Yangyang main basket abis sekolah, Kun rekomendasiin buku, Winwin cuma senyum kalem, dan Lucas bilang.

“Kita bikin grup bareng, bro. Lo sama Hendery cocok banget!”

Yangyang ketawa, “Gue in, tapi jangan nyanyi kenceng pas aku makan, takut nyanyi lagu dangdut!”

Hendery bales, “Lo yang ceroboh, ntar mangkoknya jatuh duluan!”

Kantin jadi rame sama suara mereka. Bakso udah dingin, tapi Yangyang sama Hendery nggak peduli—mereka malah ikut ribut sama Xiaojun, Kun, Ten, Winwin, dan Lucas. Hari itu, pertemuan nggak sengaja Yangyang sama Hendery nggak cuma jadi awal persahabatan mereka, tapi juga pintu masuk ke geng baru yang bikin SMA Harapan Jaya jauh lebih seru dari yang dia bayangin.






















"Akhirnya. selama ratusan tahun menanti hari itupun datang!"  pria berbaju putih itu tersenyum tipis, memfokuskan pandangan-nya ke depan membuat pris berbaju hitam itu menoleh.

"kau yakin mereka adalah pangeran? aku rasa mereka hanya manusia biasa."  tanya pria berbaju hitam Membuat pria disampingnya menatapnya tajam.

"kau lupa? sumpah seribu tahun yang lalu?" pria berbaju hitam bertanya lagi.

"tentu saja tidak!! sumpah itu adalah sumpah bagaimana seseorang yang telah lahir ke dunia begitu suci karena sang Dewi!" jawabnya cepat.

"Ck! sudahlah lebih baik kita beritahu Dewi tentang ini!" mereka berdua mengganguk lalu perlahan menghilang.

kehidupan lain || WayvTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang