Mata Sembab -28-

48 6 2
                                    

Sesudah berganti baju aku merebahkan tubuhku di samping Lisa. Tadi Lisa menyuruhku untuk memakai bajunya sementara waktu, karna bajuku masih basah terkena hujan.

"Lis, gue nginap di sini, ya!"

"Udah ngomong Bunda, belum?"

"Hp gue mati kena hujan. Tolong bilangin ke Bunda, ya. Kalo gue nginap di sini. Tapi bilangnya lo yang minta gue temenin, ya!"

"Iya, gue ngerti kok." Lisa bangkit dari posisi tidurnya menjadi duduk bersandar pada sandaran ranjang.

Lisa tampak mengotak-atik ponselnya, lalu menempelkan ponselnya pada telinganya. Kemudian Lisa mulai berbicara, tentunya berbicara dengan Bunda di seberang sana.

"Iya bun, ersya aman kok sama aku. Dah bund." Lisa menyudahi obrolannya dengan Bunda di telepon kemudian beralih menatapku.

"Kata Bunda, tadi lo keluarnya sama Rafael. Terus kok bisa sama Bima, gimana ceritanya?" Lisa menatapku dengan tajam seolah sedang mengintrogasiku.

Aku ikut mengubah posisiku menjadi duduk bersandar di sandaran ranjang. Dan menaruh bantal di atas pangkuanku.

"Gue salah ngga sih? Terlalu taruh harapan ke Rafael," lirihku dengan tatapan lurus ke depan.

"Maksudnya?"

"Menurut lo, dengan perlakuan Rafael selama ini. Apa gue nggak boleh berharap sama dia?"

"Jangan setengah-setengah gini, sya. Lo cerita yang jelas dong!"

Aku tersenyum kecut kala mengingat semuanya lagi. Kemudian menghela nafas dan mulai menceritakan semuanya pada Lisa.

"Apa gue bilang, Sya. Harusnya lo dengerin gue. Dari awal gue liat dia yang mulai ilang-ilangan. Gue yakin banget dia cuma jadiin lo sebagai second choice (pilihan kedua)," sahut Lisa yang meledak-ledak mendengar ceritaku.

"Kenapa nggak dari kemarin-kemarin dia bilang kalo dia cuma anggap lo teman? Itu karna opsi pertama belum dia dapetin. Jadi kalo dia nggak dapet opsi pertama, dia bakal milih elo yang jadi last option-nya. Dan mungkin aja sekarang dia udah berhasil dapetin orang utama yang dia incar."

"Aahh! Jadi kesel gue! rasanya pengen gue amuk muka tuh cowok, biar tau rasa!" Lisa tampak begitu kesal, sampai-sampai guling menjadi pelampiasannya. Lisa menguyel-uyel guling seakan-akan guling itu adalah orang yang membuatnya kesal.

Aku mencoba memejamkan mata, semua ucapannya tadi masih terngiang-ngiang di pikiranku. Rasa sakit, perih, dan sesak semuanya masih terasah didalam dadaku. Tanpa sadar air mataku kembali menetas. Bayangan kebersamaan kita berdua selama ini terputar kembali di benakku.

Benar kata orang, jangan terlalu menaruh harapan lebih dengan orang yang belum sepenuhnya menjadi milik kita. Dan jangan pernah banyak menciptakan kenang-kenangan indah berdua. Karna jika orang itu pergi maka kamu akan sangat hancur.

"Udah, Sya. Jangan sedih gini, lo cantik, lo baik, lo pasti bisa dapetin orang yang jauh lebih baik dari Rafael. Percaya sama gue!" Lisa membawa aku ke dalam pelukannya, tangannya bergerak mengelus rambutku dengan lembut mencoba menenangkanku.

"Udah dua kali ini, Sya. Lo nangisin tuh cowok. Gue nggak mau kedepannya lo nangisin dia lagi," Sambungannya.

****

Pagi-pagi sekali Lisa mengantar aku pulang untuk berganti seragam dan mengambil buku-buku yang akan aku bawah ke sekolah. Saat sampai di depan gerbang rumahku, aku mendapati Bunda yang tengah menyiram tanaman di halaman depan rumahku.

"Pagi Bund," sapaku seraya berjalan mendekati Bunda.

"Eh, kalian berdua. Kalian udah sarapan, belum?"

Rumah Singgah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang