1. Temu yang Pertama

6 0 0
                                    

Juni, 2018

Suara berisik truk membangunkan gue dari tidur nyenyak semalaman. Padahal, ini hari Minggu. Tepatnya, hari Minggu ketiga di bulan Juni yang panas ini. Berbagai cercaan gue keluarkan dalam hati. Padahal, gue udah lama nggak merasakan bangun siang ini. Mumpung libur gitu!

Gue mendelik dari kasur, berusaha menggapai korden yang ada di sebelah kasur gue. Sial, tangan gue yang perasaan lumayan panjang ini nggak sampai ke korden. Karena merasa makin terganggu, gue akhirnya marah-marah sendiri, sebab mimpi indah gue jadi nggak dilanjutkan. Sayang, gue lagi mimpi makan mie goreng tanpa ketahuan Mama.

Gue mengucek mata berkali-kali. Setelah niat dan perasaan gue untuk menapakkan kaki muncul, gue turun dari kasur untuk membuka korden berwarna krem ini. Hangat matahari pagi langsung menerpa wajah gue, membuat mata gue jadi kelilipan. Tahu 'kan rasanya memaksa mata telanjang melihat matahari di siang bolong? Nah, begitu kira-kira yang gue alami saat ini. Bahkan, kaki gue sampai bergerak mundur beberapa langkah. Perasaan, gue nggak memendam diri dalam kegelapan selama itu, deh?

Setelah membiasakan mata gue untuk menyambut terang benderang, tatapan gue langsung terarah ke rumah sebelah kiri yang merupakan kontrakan. Di depan pagar tinggi itu, terparkir dua truk besar yang mengangkut barang-barang rumah tangga. Ada beberapa sofa berwarna merah, beberapa meja, TV, dan yang lainnya.

Pikiran gue langsung menuju pada oh, ini mah orang pindahan. Lagipula, memang rumah sebelah kiri itu kontrakan. Jadi, dalam setahun orang yang menempati rumah itu bisa lebih dari satu keluarga.

Gue langsung berpikir, Oh ini mah orang ngontrak lagi. Memang, rumah sebelah kiri itu diperuntukkan bagi orang yang sedang menunggu rumah yang akan mereka tinggali selesai dibangun. Nggak semua, sih, tapi rata-rata begitu setelah gue hitung-hitung selama 10 kali orang menempati bangunan itu. Meski sudah beberapa kali direnovasi, tapi nggak ada yang benar-benar tinggal di sana. Paling lama hanya dua tahun setengah, sisanya kurang dari itu, bahkan ada yang hanya dalam hitungan bulan saja.

Setelah lama melihat sembari dihalangi jendela, gue membukanya. Selama pandangan gue berlangsung khidmat, yang gue pikirkan hanya satu-mereka nggak punya anak? Karena, hanya pria dan wanita paruh baya yang gue lihat mondar-mandir masuk ke dalam rumah lalu keluar untuk mengambil barang yang tersisa. Lagi-lagi untuk kesekian kalinya, gue kecewa. Nggak satu kali pun tetangga rumah sebelah kiri gue ini ada yang mempunyai anggota keluarga seumuran gue. Padahal, setiap ada orang pindahan, gue selalu antusias menunggu seseorang mengenalkan namanya kepada gue lalu kita bisa berteman, atau gue yang menemukan sosok dengan tampang seumuran gue, lalu kita bisa saling berjabat tangan dan berakhir mengenal lebih jauh satu sama lain. Akhirnya, gue mendengus kasar setelah menyadari hal itu.

Sudah lebih dari 10 menit tangan gue memapah dahu untuk menonton aktivitas pria dan wanita yang gue yakini suami-istri itu. Benak gue mulai mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan tidak penting sembari termangu melihat banyaknya barang-barang tersebut dipindahkan ke dalam rumah. Ternyata, ada dua truk yang terparkir dan gue baru sadar akan hal tersebut. Wow, mereka benar-benar akan mindahin ini semuanya sendirian? Tak ada orang lain selain keduanya.

Meski sedikit membosankan, tapi hal ini lama-lama seru juga sembari gue mengumpulkan nyawa. Rasanya, nggak mau bergerak dari sini. Tepat setelah gue menguap entah untuk yang keberapa kalinya, suara kencang memekikkan telinga gue.

"Kamu kalau udah bangun langsunf mandi, Hindiaaaa! Lihat udah jam berapa itu!" serunya. Ternyata Mama.

Gue terkejut, sigap mengalihkan pandangan ke jam dinding yang sudah gue hafal tempatnya.

Jarum jam menunjukkan angka 9 lebih 5 menit.

Lho, nggak sepagi itu juga ternyata gue bangun. Gue reflek mengernyitkan dahi, lalu mengarahkan tatapan gue ke Mama yang sudah sinis dari tadi sembari berkacak pinggang, tak lupa tangannya memegang sapu setegak 90 derajat.

Dengan rasa malas yang malah semakin penuh menguasai jiwa gue ini, satu kalimat yang gue ucapkan akhirnya keluar, "Iyaa, bentar lagiii," jawab gue setelah Mama membulatkan matanya.

"Buruan tapi, mandi siang-siang bau badan kamu kemana-mana," sergahnya.

Kemudian, Mama melanjutkan kegiatan menyapunya dibekali tatapan curiga bahwa gue nggak akan menepati janji "sebentar lagi" itu. Yah ... saking seringnya ngaret mandi, sih.

Setelah memastikan Mama menjauh dari area kamar dengan menghitung suara langkah kaki menuruni tangga, gue membalikkan badan untuk melihat kembali aktivitas tetangga baru tersebut. Samar-samar, gue mendengar pria paruh baya itu berseru ke arah bilik penumpang diselingi beberapa ketukan di pintu kaca. "Bangun, bantuin Ayah sama Ibu!" serunya. Lalu, ia beralih untuk menggotong kursi masuk ke dalam rumah.

Pria tersebut masuk ke dalam rumah dan menghilang di balik pagar tinggi meninggalkan gue yang terkesiap dan menyisakan sejuta pertanyaan yang tiba-tiba saja melambai-lambai. Satu kata yang bisa mendeskripsikan perasaan gue adalah "hah". Satu kata itu sudah meliputi perasaan gue yang menguar-nguar penuh harapan bahwa anak mereka harus seumuran dengan gue.

Selang beberapa menit, pintu truk dibuka dari dalam. Sepasang kaki jenjang menyentuh aspal, punggung berlapis t-shirt berwarna putih muncul, tangan kiri yang menggantungkan salah satu sisi tas ransel ke pundak kirinya, dan tangan kanannya dengan cekatan menutup pintu hingga terdengar bunyi "bruk". Ia berbalik badan, tangan kanannya mengusap kasar wajahnya. Kemudian, disisirnya rambut ke belakang. Dia berjalan masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian, dia berlari kecil keluar dan membantu ibunya menggopoh meja bundar. Dia berjalan mengikuti ritme ibunya, lalu lenyap di balik pagar.

Gue hampir menganga melihat peristiwa itu. Tak sedetik pun mata gue hilang dari gerak-geriknya.

Karena gue masih dan semakin penasaran, semakin dalam kutatap pergerakan mereka. Sampai suara yang sudah meneriaki nama gue tadi kembali terdengar, kali ini dari lantai bawah. "Hindia, cepetan mandi!"

Dengan cepat gue menyahut kencang, "Iya-iya. Ini mau mandi!" Tetapi, mata gue tak lepas dari arah yang sedari tadi gue pandangi.

Rupanya, suara gue menjawab teriakkan Mama sekeras itu. Sampai-sampai, di detik setelahnya, lelaki itu tiba-tiba menghadap ke berbagai arah dan berhenti tepat di jendela rumah gue.

Maniknya menemukan milik gue.

Langkahnya terhenti.

Sekarang, gue bahkan bisa merasakan denyut nadi yang terkubur dalam-dalam oleh kulit.

Hangat matahari digantikan oleh semilir angin yang entah dari mana datangnya.

Suara jam yang tiba-tiba mengeras, menyembunyikan semua suara; kucing yang tadi sempat mengeong, paduan klakson di jalan raya yang dihalangi oleh bangunan ruko. Yang kini gaduh hanya jantungku.

Dan, tubuh gue seketika menegang.

Terhitung satu setengah detik, kemudian dia membalikkan badan diliputi isyarat canggung lalu melanjutkan kegiatannya seolah tak ada yang terjadi.

Terdengar lagi suara dari kediaman sana. Akhirnya, gue bisa mendengar kembali suara-suara yang sempat terhenti tadi.

Langsung gue buka lemari untuk mengambil baju ganti dan berlari menuju kamar mandi sebelum teriakkan Mama memenuhi penjuru rumah.

Gue mandi seperti biasanya, sebelum pada akhirnya pikiran gue penuh oleh kejadian memalukan-atau mungkin juga membingungkan tadi. Gue tidak mandi seperti biasanya, yang membedakan kali ini adalah kepala gue yang penuh dengan dirinya.

Setelah usai mandi, gue membantu Mama mengepel. Beberapa kali gue terdiam, termenung tanpa alasan.

Tetapi di dalam hati gue yang terdalam, ada sejumput harapan. Ada sedikit doa yang gue lantunkan, yakni menjadikan dirinya teman atau dijadikan dirinya teman. Gue ingin seperti kebanyakan remaja 14 tahun yang hidupnya diwarnai oleh pertemanan setelah selama ini gue terus dilupakan, di mana mereka mengasingkan kehadiran gue setelah saling menjabat tangan dan menyunggingkan senyum disertai perkenalan akan nama masing-masing.

Bila sekolah tak dapat menghadirkan teman, semoga lingkungan rumah dapat membawakan gue seseorang yang layak dijadikan teman. Dan gue tahu semua orang layak, hanya saja berapa lama mereka bisa mengenal gue setelah berjabat tangan.

Boy Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang