Hanan Haridh Lesmana
Seorang lelaki kelahiran Jakarta, tahun 2004. Ulang tahunnya berada di tanggal cantik, yakni 6 Juni, yah meski tahunnya nanggung banget. Haridh merupakan anak tunggal yang disayang banget sama kedua orang tuanya—sebab dia definisi aset keluarga. Sejak kecil, Haridh memang sulit untuk berteman karena di lingkungannya, rumah antara satu tetangga dan tetangga lain berjauhan, sehingga menyebabkan dirinya kesulitan punya teman. Di saat ayahnya dan ibunya bisa berkenalan dengan tetangga jalur kerja bakti, Haridh hanya bisa duduk di sofa di dalam rumah memandang ke luar jendela, bisa bergaul dengan orang-orang dewasa itu mustahil. Ia tak tahan dengan candaan mereka yang garing itu. Tak ada satu pun anak seumuran dirinya, bahkan semenjak mereka sekeluarga pindah ke lingkungannya sejak Haridh berusia biji jagung.
Akan tetapi, kehidupannya berubah ketika di usianya yang menginjak 14 tahun, keluarga mereka pindah ke sebuah komplek baru, di mana hari-hari Haridh nantinya akan berada di lembar kosong. Ia harus memulai semuanya dari awal, meski tak ada yang familiar. Berat rasanya, mengingat sikap Haridh yang tertutup. Terbiasa bukan hal mudah bagi dirinya.
Saat Haridh membuka mata karena tepukan ayahnya, hal pertama yang menyambutnya adalah berat hati. Kini, ia akan mengawali semuanya lagi, setelah berkali-kali berusaha untuk membangun kehidupannya agar tetap berjalan dengan segala isi-isinya. Namun, semua ketidakseimbangan itu perlahan-lahan mulai mulus karena seorang perempuan yang tinggal di sebelah kanan rumahnya. Ia yang tak pernah tahu rasanya memiliki teman, kini beranjak untuk mengenal satu nama itu.
Hindianna Stella Magauri
Seorang perempuan yang lahir pada 13 Juni di sebuah kota yang identik dengan patung buaya dan hiunya, Surabaya, di tahun 2004. Namanya—Hindia diberikan oleh kedua orang tuanya karena mereka bisa bersama oleh karena sebuah mata pelajaran bertahun-tahun lalu yang berakhir menyatukan mereka. Ilmu Pengetahuan Sosial yang tak jauh-jauh dari kata "Hindia Belanda".
Di umurnya yang baru menginjak 5 tahun, ia dan keluarganya pindah ke sebuah komplek yang baru jadi. Bahkan, jumlah tetangga mereka kala itu bisa dihitung jari saking sedikitnya. Dan semakin ia beranjak remaja, tak seorang pun mengenalkan diri untuk menjadi teman bagi Hindia. Selama ia menunggu dan berusaha menggapai, tak ada yang namanya "teman" bagi perempuan ini. Orang-orang yang ia kenal silih berganti, kemudian hari asing kembali. Ia kesepian. Temannya hanya matahari sore yang menemaninya menghabsikan suap demi suap mi instan. Matahari selalu menyapanya, bahkan setelah mendung mereda.
Tepat seminggu setelah ulang tahunnya, setelah kejadian memalukan di pagi hari, ada gejolak yang sungguh berdetak di hatinya. Seorang teman sekaligus tetangga. Ada tetangga baru di rumah sebelah kirinya—yang mana bangunan tersebut adalah kontrakan. Sudah terhitung rumah tersebut bergonta-ganti pemilik sebanyak 10 kali, dan tak satu pun diantaranya merupakan batita, balita, anak-anak, dan remaja seusia Hindia. Semuanya orang dewasa dan bahkan lansia. Tak ada yang namanya "berteman dengan tetangga" bagi Hindia. Maka, pikiran yang sudah terpendam dalam benaknya selama 14 tahun itu buyar ketika dirinya mengenal sesosok laki-laki yang menapakkan kaki ke rumah tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boy Next Door
Fiksi PenggemarJangan pernah, setelah semua perkenalan-kaujabat tanganku, kujabat tanganmu, kausebut namamu, kusebut namaku, kita kembali menjadi dua orang asing yang terkesiap di kala kedua manik itu bertemu.