3. Obrolan yang Pertama

4 0 0
                                    

"Hindia, bekal kamu udah belum?" Gue yang sedang memakai sepatu reflek menoleh ke arah handphone yang dibiarkan tergeletak di samping.

"Nanti aku jajan aja, Ma." 

"Jajan aja terus kamu tuh. Orang bisa bikin sen-"

"Nggak sempet, Ma. Tadi aku bangun nggak pagi banget." 

Begitulah keributan yang terjadi antara gue dan Mama di pagi hari. Hampir selalu. Mama pasti menelpon setiap gue akan berangkat--entah bagaimana tapi waktunya benar-benar selalu pas. Perasaan seorang ibu tuh kadang nggak masuk akal, ya, tapi nyatanya seperti itu.

Omong-omong, gue memang biasanya menyiapkan bekal sendiri bila waktunya masih cukup atau gue bangun terlalu pagi. Mama berangkat pagi-pagi sekali dan repot dengan urusannya sendiri, sementara Papa juga tak berbeda jauh, malah jarang berada di rumah untuk bepergian ke luar kota karena urusan pekerjaan. Oleh sebab itu, gue harus dan sudah terbiasa melakukan kegiatan pagi sendiri. Berangkat sekolah pun gue memakai ojek online yang baru-baru ini diluncurkan, atau kadang gue berjalan kaki. Yah, meski kadang gue kesepian dan ingin merasakan diantar orang tua juga ke sekolah, tapi gue juga merasa lebih mandiri.

"Ya udah, Mama tutup ya telponnya. Kamu hati-hati, Ya."

"Iyaaa, aku berangkat dulu."

"Kamu jalan?"

"Nggak, Ma. Aku udah pesen ojek, nih."

"Oke, Ya ... jangan lupa pake helm."

"Iya-iya."

"Bilang sama abangnya jangan ngebut, masih keburu 'kan jam segini? Masih pagi banget juga."

"Astaga, aku juga udah biasa kalo ngebut juga, Ma."

"Ya jaga-jaga, Hindiaaa. Aduh udah bilang aja sama abangnya titip ini gadis bandel."

"Bandel apa sih, Ma!" Mama memang begitu, sukaaa banget ngeledekin gue.

"Itu udah sampe belum?"

"Bentar lagi ini lagi masuk komplek."

"Ya ... Mama tutup telponnya, ya. Kamu hati-hati. Kabarin kalo udah sampe, Ya."

"Okee. Daah."

Gue segera memasukkan handphone ke dalam tas, lalu membuka gerbang. Gue memang biasanya menunggu di luar gerbang, sekalian melihat pemandangan pagi yang gue sukaaa banget. Warna biru akan datang, lalu merah dan ungu mendampingi, dan kegelapan perlahan pudar. Matahari di sana juga sebentar lagi akan menampakkan diri. Pemandangan yang ... kadang memuakkan--karena tandanya gue harus melakukan aktivitas yang sama dengan hari kemarin, tapi juga menenangkan--karena mata gue seolah dipercikkan kehangatan dunia.

Udara sejuk gue hirup dalam-dalam. Pokoknya, gue harus siap dengan semua yang akan terjadi hari ini. Ya palingan yang ngeselin tuh dikasih PR banyak-banyak aja sih.... Hehe.

Tak lama kemudian, gue mendengar gerbang sebelah dibuka. Gue hanya mendengarnya, nggak gue tengok. Lalu, suara itu berhenti, ada langkah kaki, lalu gerbang ditutup lagi. Gue bisa merasakan ada seseorang yang kini berdiri tepat di sebelah gue--dan posisinya pun tidak terlalu jauh. Gue bisa merasakan pula wangi parfumnya yang tidak terlalu mencolok.

"Eh, halo." Suara itu yang akhirnya membuat gue menengok ke arah datangnya. Gue terperanjat dalam hati. Tiba-tiba juga, jantung gue rasanya tak lagi ingin mengaliri darah ke seluruh tubuh. Semua ucapan yang ingin gue lontarkan saat itu juga gue ucapkan mantap-mantap dalam hati. Siapa yang nggak kaget kalau disapa seseorang yang mati-matian lo jauhi karena malu? 

Ya ... nggak se-lebai itu juga, sih.

Gue berusaha tersenyum, lalu menjawab, "Hai." 

Gila, gue sebenarnya kelimpungan saat ini juga.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 11, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Boy Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang