Four; Weltschmerz

111 14 0
                                    

Berjalan seorang diri dari halte menuju mansion sudah biasa Jeongguk lakukan setiap hari,  tapi entah mengapa malam itu perasaannya tidak enak—seperti ada yang mengganjal, membuatnya sesak. Lelaki yang tahun ini akan berusia 18 tahun itu tetap melanjutkan perjalanannya sampai mansion sembari menepis perasaan aneh yang berkecamuk didadanya itu.

Pukul 23.50 KST, seharusnya adiknya sudah tertidur, dan Suhyun—Kakak sepupunya sudah pulang dari kerja part timenya. Jeongguk langsung membuka pintu utama mansionnya dengan kunci duplikat yang ia bawa, karena ia selalu berpesan pada Sang Adik untuk mengunci pintu jika sudah di atas pukul 9 malam

Seluruh ruangan telah gelap, Jeongguk langsung berjalan lurus dan menaiki tangga untuk menuju ke kamarnya dan beristirahat. Langkah kakinya terhenti ketika ia berada di depan sebuah ruangan dengan pintu yang terhias foto gadis cantik bersurai hitam yang sedang memeluk 2 sosok pria yang tak lain tak bukan adalah Jeongguk, dan Suhyun. Jeon Hara—adik perempuan semata wayangnya yang kini duduk di kelas 9 SMP itu selalu menjadi alasan kenapa Jeongguk masih bertahan sampai saat ini.

Jeongguk membuka pintu kamar itu perlahan, ruangan tersebut sudah gelap. Hanya lampu tidur berwarna warm white di atas nakas yang menyala sedikit menyinari ruangan tersebut. Dihampirinya Sang Adik, tangannya terulur mengelus lembut surai hitam pekat Hara.

Begitu banyak hal yang ia lalui, meskipun usianya masih 18 tahun, Jeongguk sudah terbiasa memakan garam kehidupan. Ya, ia sungguh percaya dengan kalimat yang berbunyi bahwa hidup itu keras, karena pada nyatanya memang seperti itu. Sejak kecil hidup tanpa kasih sayang orangtua, dihadiahi seorang adik yang terlahir dari rahim selingkuhan Ayahnya, dibuang ke Jerman saat usia SMP, belajar siang malam demi beasiswa karena orangtuanya tidak memberikannya uang sekolah sepeserpun, dan masih banyak lagi. Sudah cukup, Jeongguk tak sanggup kalau harus menceritakan seluruhnya.

Sebenarnya diam-diam Jeongguk menulis sebuah buku, sudah sejak duduk di kelas 8 hobi menulisnya itu muncul, tetapi Jeongguk masih ragu. Kini ia telah mengumpulkan niatnya untuk menerbitkan buku karyanya—siapa tahu uangnya bisa berguna untuk membantu Suhyun membiayai sekolah Hara, atau setidaknya ia bisa berhenti bergantung dengan uang hasil kerja Suhyun.

Jeongguk tersenyum, memandang wajah damai Taeri saat tertidur. Dicium kening Hara olehnya lembut, menyalurkan afeksi untuk Sang Adik yang jarang ia temui meski tinggal satu atap. "Hara, kakak janji bakalan kerja keras buat kamu, terus jadi alasan kakak untuk terus bertahan ya," bisiknya pada Sang Adik.

Jeongguk itu kerja part time juga sebenarnya, di sebuah cafe di daerah dekat mansionnya, tetapi hasil upahnya hanya cukup untuk uang jajannya saja, karena pelajar hanya diberi waktu bekerja dari pukul 5 sore hingga pukul 8 malam.

Setelah ia merasa puas menemani Hara, segeralah Jeongguk keluar dari kamar itu, tubuhnya juga sudah perlu istirahat karena besok masih harus sekolah dan bekerja lagi. Ngomong-ngomong—Jeongguk itu tadi sore mengambil jatah cutinya di cafe demi bisa pergi ke Hongdae bersama Taehyung, maka ia tak lagi bisa izin untuk esok hari.

Baru saja akan menutup pintu kamar adiknya, seseorang menepuk pundaknya pelan membuatnya menoleh ke belakang. Suhyun tersenyum kepadanya—ia baru pulang dari kerja ternyata. "Kamu belum tidur, Gguk?" tanya Suhyun retorik dengan senyuman kepada adik sepupunya. Jeongguk menggelengkan kepalanya.

"Belum. Suhyun Hyung baru pulang?" pertanyaan Jeongguk juga terdengar retoris.

"Iya, tadi ambil lembur. Uangnya lumayan, lho, Gguk.” Jawab Suhyun berbinar.

Ah, Jeongguk semakin merasa tidak enak kepada Kakak Sepupunya kalau seperti ini. "Hyung, aku beneran serius waktu bilang aku udah bisa penuhin uang jajanku sendiri," Ucap Jeongguk. Lelaki ber-dimple itu hanya tertawa kecil.

Chocophany (Kookv Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang