Na Jaemin as Dewan Putra Liedarto (17)
Huang Renjun as Audirga Raksa Manggala (17)
Lee Haechan as Louis Juniarta Wira Atmaja (17)
tag : heavy angst, suicidal attempt, suicidal scene, bullying, MCD, violence, self harm
◦◌―҉―◌◦
"Sayatan kecil adalah hal yang paling sederhana dari luka yang akan terus menumpuk seiring berjalannya waktu, hingga menjadi luka yang menganga lebih lebar "
◦◌―҉―◌◦
AUDIRGA Raksa Manggala tak pernah paham maksud dari tujuan hidup bila harus dihadapkan pada kerumitan yang memaksa dia berjalan seorang diri tertatih-tatih, seakan berjalan dalam luasnya padang pasir tanpa oase yang mampu melegakan dahaganya, dan seolah hidup dalam kemarau panjang kenestapaan.
Bila hidup harus seberat ini, maka apa gunanya ia dilahirkan?
Audirga Raksa Manggala. Raksa artinya kematian, dan Raksa seakan merindukannya.
Raksa pernah berpikir bahwa tempuhan hidup yang nyatanya masih memaksa dirinya bernapas adalah hal paling terpaksa yang pernah ia lakukan. Raksa pernah menjanjikan, bahwa ada waktu dimana dia akhirnya paham makna dari hidup dalam ketentraman. Pada hari dimana yang ia mimpikan entah kapan datangnya, yang jelas, dirinya... penasaran rasanya merasakan kembali apa itu bahagia.
"Selamat siang semuanya, perkenalkan nama saya Raksa," pada akhirnya Raksa hanya menghela napas berat dan mengulas senyum tipis terpaksa, dalam dadanya bergemuruh untuk melarikan diri, tapi ada bagian dari sisi jiwanya yang mengatakan untuk tinggal dan bertahan. "Audirga Raksa Manggala." Sambung laki-laki itu dengan sumir yang terbit dalam belah bibirnya.
Sebentar. Sebentar lagi.
"Lo denger nggak? Manggala anjir, Sa!"
Dan bisik itu, bisik yang mampu membuat denging dalam rungunya seolah hadir membuat Raksa mau tak mau memejamkan matanya sejenak. Ada sesak tak kasat mata yang menghantam dadanya dalam sekejap mata, tapi nyatanya beban atas namanya adalah nyata. Bahwa nama adalah yang ia pakai sejak lahir sampai mati, bahwa dia yang akan memanggul nama itu selamanya.
Sebentar. Sebentar lagi.
"Pak! Manggala bukannya itu keluarga dari pembunuh itu ya Pak? Saya nggak asing namanya. Lho kok bisa sih Pak, sekolah ini nerima siswa yang kaya gini? Bapak nggak takut apa? Kalau saya sih takut ya Pak. Gila aja!"
"Manggala tuh yang dulu rame kasus pembunuhan kakak ipar sendiri tapi akhirnya nggak di penjara itu kan gegara rebutan warisan? Vin, namanya itu terlalu rare makanya gue masih inget sampe sekarang!"
"Yang mayat korbannya ditemuin di loteng?"
"Loteng apaan anjir, di PAM! Sampe dulu mayatnya bengkak banget anjrit!"
"Tapi kan Arya Manggala nggak jadi di penjara karena kurang bukti kan?"
"Yang tau mah tau aja, nyet! Nggak ada bukti nggak ngebuat orang-orang goblok juga buat nggak tau siapa yang ngebunuh. Sampe sekarang belum ketemu kan pembunuh sebenarnya? Nah? kesimpulannya?"
"Audirga? Gila! Nama anaknya terlalu cakep hahaha."
"Katanya emang pindah-pindah anaknya. Dan apesnya kenapa kudu masuk sekolah ini anjir?!"
"Semoga Tuhan manapun menjauhkan gue dari marabahaya anjir."
"Anak pembunuh anjirrr. Ngeri gue."
Raksa tersenyum tipis, bukan biasa lagi yang ia rasakan. Nyatanya dalam kurun tiga tahun terakhir, cibiran adalah makanan pokok yang membuatnya terlampau kenyang. Hati yang terkucilkan setiap hari diberi makan hingga ia semakin merasa terpojokan. Tapi dengan kakinya yang berdiri tegak, Raksa pernah mengharap keadilan. Bahwa setiap kebenaran apapun yang tidak bisa dia ungkapkan, dia akan berdiri kokoh selagi ia bisa. Meskipun sakit yang ada di sudut hatinya kian meradang, dia selalu mengatakan tidak apa-apa. Sebab tidak semua orang tahu dan paham.
KAMU SEDANG MEMBACA
Never-ending story | Jaemren
FanficHanya berisi sekumpulan oneshot by @phantasmagorie_ on twitter