"Tidak, dia belum mati. Jangan dikuburkan! Jangan!" aku meraung-raung tidak terima saat melihat peti mati ayah diturunkan ke dalam lubang di tanah yang basah karena tersiram air hujan dengan begitu derasnya. Kedua mataku memerah, air mata sejak tadi pagi terus menetes, tidak mau kering karena aku terus-menerus menangis tanpa henti.
"Jangan! Kalian tuli hah?! Kemana telinga kalian? Kubilang jangan berarti jangan, ayahku belum mati!" Aku menatap orang-orang dengan marah, aku tahu bahwa kini pasti kedua telingaku telah memerah karena emosi yang sudah tidak bisa dibendung lagi. Orang-orang menyebalkan dengan telinga yang hanya dijadikan pajangan itu menatap ke arahku dengan pandangan sedih dan kasihan. Menatap seolah aku adalah orang paling malang yang tidak bisa menerima kepergian sang ayah.
Mataku melotot dan menatap mereka semua nyalang, aku tak butuh rasa kasihan, aku tak butuh tatapan sedih dari orang-orang. Yang aku butuhkan hanyalah mereka kembali mengangkat peti mati ayahku yang sekarang sudah berada di dalam sana.
"Ayahku tidak bisa bernapas jika kalian menutup petinya! Jangan! Kumohon hentikan tindakan bodoh kalian" Napasku seakan tercekat saat melihat orang-orang tidak punya hati itu mulai menutup peti mati ayahku dengan tanah di sekitar. Aku berteriak histeris, mereka itu bodoh atau apa sih, ayahku tidak bisa bernapas jika mereka melakukan hal itu.
Tubuhku terhenyak ketika merasakan elusan ringan di bahuku yang tertutup kemeja hitam yang sudah basah, kemudian aku tidak lagi merasakan air hujan yang sedari tadi menjatuhi tubuhku.
"Sabar, Kak. Biarkan ayah tenang dengan cara kita melepaskan kepergiannya."
Kepalaku menoleh ke samping ketika mendengar suara halus itu mengalun lembut di telingaku. Kutatap adik tiriku dengan tajam. Aku menatapnya muak, dia mengenakan dress hitam dengan membawa payung yang kini juga melindungi kepalaku dari derasnya hujan yang terus menyerbu. Matanya penuh air mata dengan pandangan sedih ke arahku.
"Aku tidak butuh ucapanmu!" Segera kuhempaskan tangan kanannya hingga payung hitam yang dia bawa terlempar ke tanah dengan menghadap ke atas dan menjadi tadah hujan. Aku tak peduli jika bajunya kini mulai basah terkena air hujan. Aku tidak butuh rasa kasihannya kepadaku. Mataku yang menatap dirinya tajam tidak kuturunkan intensitasnya. Aku benci dirinya, aku malas jika berurusan dengannya. Aku tahu pasti dia hanya sedang bersandiwara. Aku tahu bahwa tatapan sedih di matanya adalah sebuah kebohongan. Aku tahu bahwa dia adalah orang jahat.
"Apa yang kau lakukan pada Lexy?!" Aku melirik malas melihat kakak tiriku yang berjalan cepat ke arah kami, segera mengambil payung hitam yang tergeletak mengenaskan di tanah dan memberikan kepada adiknya yang kini menatap terluka ke arahku. "Lexy hanya mau menghiburmu, bukan kau saja yang merasa kehilangan atas meninggalnya ayah, tapi lihat apa yang kau lakukan pada Lexy? Di mana letak hatimu, hah?!" Alex menatap diriku tajam, mencoba untuk terlihat mengintimidasi. Aku menatap dirinya dengan sorot tak kalah tajam, sangat malas berurusan dengannya. Kakak tiriku ini mungkin juga membenciku dengan kadar yang sama seperti aku membencinya. Ya, kami saling membenci sejak pertemuan pertama kami satu tahun yang lalu.
"Kalau begitu segera singkirkan adikmu dari penglihatanku! Dia membuatku jijik dan mau muntah dengan tatapan yang dia berikan!" Aku berteriak kencang hingga mengalihkan tatapan orang-orang dari kuburan ayahku. Mereka menatap sedih dan juga prihatin padaku. Aku tidak peduli, aku benar-benar tidak peduli jika mereka menganggapku wanita tidak sopan karena bersikap seperti itu.
"Jaga ucapanmu, Syatra! Jangan bertingkah tidak sopan di hadapan orang-orang dan makam ayahmu!" Alex mendorong bahuku dengan kasar hingga aku termundur satu langkah ke belakang. Dia menatapku marah, terlihat sekali bahwa dia tidak suka dengan perkataan yang aku ucapkan. Memang selalu itu yang dia lakukan setiap harinya, melindungi adiknya dari ucapanku yang seolah-olah selalu menyakiti hati sang adik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Please You Stay Alive
ChickLit"Jadi, bagaimana?" Pria di depanku bertanya tanpa mengalihkan pandangan dariku, menghiraukan Gwen yang berusaha memancing atensi dari kami berdua. Pria di depanku ini, aku cukup tertarik dengan sikapnya yang sama sekali tidak terkecoh pada drama mur...