Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam saat aku tiba di depan pintu masuk rumah besar yang selama ini menjadi tempat tinggalku.
Setelah meninggalkan pemakaman dengan tidak sopan karena menendang gundukan makam ayah, aku segera menuju ke danau buatan yang selalu menjadi tempat melepas penat dan kesedihan. Tak banyak yang bisa aku lakukan di sana, hanya terduduk pilu di bangku kayu panjang yang menghadap langsung kepada pemandangan danau yang indah menyegarkan mata.
Aku hanya merenung dan terus merenung, memikirkan kenapa tuhan mengambil seluruh keluarga yang aku punya. Aku bahkan belum pernah bertemu dengan ibuku, ayahku selalu menyalahkan diriku atas meninggalnya ibu saat melahirkanku. Sedari dulu, ayah selalu mengutukku anak pembawa petaka, anak sial yang lahir dari rahim yang begitu mulia. Lahir dari seorang malaikat dunia.
Ayah begitu mencintai ibu dan membenciku karena aku sangat mirip dengannya. Banyak orang berkata bahwa hidung dan kedua mata cokelatku diturunkan dari ibu, sedangkan bagian lainnya mirip dengan ayah.
Makhluk tercela. Begitu ayah sering memanggilku setiap harinya. Sebenarnya sangat banyak panggilan lain yang dia sematkan kepadaku, tapi itu adalah panggilan favoritnya. Aku bisa menyimpulkan bahwa itu adalah panggilan sayangnya kepadaku.
Jika ditanya apakah aku membenci sosoknya, tentu dengan lantang aku akan menjawab iya. Hei, dia adalah ayah paling jahat yang ada di dunia. Menelantarkanku sejak kecil karena kebenciannya yang berkobar seakan ingin memakanku hidup-hidup.
Menjijikkan ketika mengingat bahwa aku menangis tidak terima saat pemakamannya. Sebanyak apapun aku mengelak bahwa itu adalah tangis kepura-puraan, aku tetap kalah dengan hatiku yang berdenyut sakit. Aku menghianati hatiku, aku terus mengelak tetapi tetap kalah.
Itu adalah tangis sungguhan. Rasa sakit karena ditinggal orang tua satu-satunya dalam hidup kita. Takut akan dunia yang begitu kejam tanpa didampingi orang yang kita kenal.
Aku menghela napas lelah, membuka pintu kayu berukiran indah berwarna cokelat. Sedikit tersentak saat melihat keluarga tiriku berkumpul di ruang tamu. Mereka semua langsung menoleh ke arahku dengan pandangan berbeda-beda saat mendengar suara pintu tertutup.
"Kemana saja kau setelah meninggalkan pemakaman ayahmu sendiri dengan tidak sopan?" Gwen bertanya dengan suara sinis dan pandangan tajam.
"Bukan urusanmu," aku menjawab tak kalah sinis, menatap wanita tua itu dengan malas. Ibu tiriku itu selalu saja menggangguku, tidak pernah membiarkan diriku tenang setiap harinya, selalu saja melontarkan bertanyaan maupun sindiran yang membuatku terlihat tercela di hadapan semua orang.
Sayang sekali aku tidak peduli dengan citraku di rumah ini, sebelum kedatangan mereka saja ayah sudah membenciku. Setelah mereka datang, ayah seperti ingin memakan diriku untuk sarapannya. Nenek lampir itu memang sungguh-sungguh ingin melenyapkan eksistensiku.
"Jaga nadamu saat berbicara dengan ibuku!" Alex menatapku tajam, aku hanya meliriknya malas. Kakak tiriku itu selalu saja membela keluarganya dan membenci aku yang tiri ini. Padahal akulah anak kandung pemilik rumah ini. Seharusnya paling tidak mereka memiliki sopan santun sedikit saja padaku. Itu hanya harapanku saat pertama kali kedatangan mereka. Sekarang, aku sungguh tidak peduli dengan cara mereka memperlakukanku. Aku menghela napas lelah, cukup banyak drama yang terjadi setiap harinya membuatku muak.
"Sudah, sekarang sebaiknya kita makan saya. Pelayan telah selesai menyiapkan makanan," Lexy berjalan dari ruang makan mencoba memecah ketegangan diantara kami.
Aku berdecak lalu berjalan menuju meja makan dengan mengangkat daguku tinggi, tidak mau menurunkan harga diri di hadapan orang-orang yang sangat aku benci. Seringai sinis terbit dari bibirku saat tidak sengaja mendengar Gwen merutukiku dari belakang. Tentu saja aku tidak peduli dan langsung duduk di kursi yang selalu aku tempati di ruang makan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Please You Stay Alive
ChickLit"Jadi, bagaimana?" Pria di depanku bertanya tanpa mengalihkan pandangan dariku, menghiraukan Gwen yang berusaha memancing atensi dari kami berdua. Pria di depanku ini, aku cukup tertarik dengan sikapnya yang sama sekali tidak terkecoh pada drama mur...