BAB 3 Pria Bermata Kelabu

2 1 0
                                    

Awalnya aku sudah sangat siap bertemu dengan seorang tua bangka berjenggot panjang berwarna putih dan pakaian tidak rapi dengan mata melotot tajam seperti akan keluar dari kelopaknya.

Namun, semua perkiraanku itu salah.

Justru yang ada di hadapanku sekarang adalah sesosok pria dengan setelan rapi dengan rahang kuat dan mata kelabu yang menyorot tegas. Demi tuhan, parasnya terlihat sempurna. Aku tidak melihat ada celah keburukan sama sekali dari tampangnya yang datar.

Apakah semua penagih hutang masa kini memang selalu setampan ini?

Aku mana kuat dengan sorot matanya yang indah berwarna kelabu.

Ya tuhan, dia tampan sekali.

"Apakah kamu sudah selesai menikmati apa yang kamu lihat, cewek tidak sopan?"

Aku mengerjap panik dan langsung memalingkan muka ketika suara baritone pria di depanku bergema, pertanyaan yang dia ucapkan langsung mengalihkan semua fokusku. Jiwaku yang tadi tidak berada di tempatnya, seolah sedang pergi sebentar ke surga menemui malaikat dengan wajah sangat rupawan, kini seperti masuk kembali ke tubuhku dengan paksa. Menyentak diriku untuk kembali ke dunia nyata.

"A-aku tidak menikmati apa yang aku lihat kok," aku menyangkal dengan salah tingkah. Aku gigiti kuku jari telunjuk tangan kananku yang tidak berkutek, sesekali mencuri pandang menatap pria di depanku dengan malu-malu, lalu aku kembali segera membuang muka saat merasa tidak kuat untuk terus memandang wajah rupawan jelmaan dewa.

"Eh, apa yang kamu tadi bilang? Cewek tidak sopan?" aku segera teringat akan perkataannya yang sedikit menyentil harga diriku, hilang sudah sikap malu-malu kucing yang tadi aku tunjukkan. Aku menatapnya garang, "Apa maksudmu?"

Pria di depanku menatap remeh dengan bibir menyeringai, "Apa ada kata yang lebih cocok untuk dikatakan pada seorang cewek yang menatap seorang pria dari atas sampai bawah terus-menerus secara berulang-ulang dengan air liur yang menetes? Menjijikkan sekali."

"Hah? Aku mana mungkin seperti itu!" Mataku melotot tajam, tangan kananku langsung bergerak cepat mengusap-usap bibirku dengan kasar. Mana mungkin aku sampai meneteskan air liur hanya karena menatap wajah pria paling rupawan yang baru aku temui ini kan?

Mau ditaruh di mana harga diriku?

"Hahaha," aku berhenti mengusap-usap bibirku saat melihat pria di depanku tertawa lepas, memiringksn sedikit kepala, aku menatap pria di depanku aneh.

"Lucu sekali reaksimu ketika aku mengatakan kamu meneteskan air liur, mudah sekali dibohongi, eh?" Tangan kiri pria di depanku bergerak menutupi mulutnya yang tak henti-hentinya menertawaiku, alis sebelah kirinya terangkat, mata kirinya menatapku humor.

Sialan!

Pria di depanku ini memang tampan. Ehm, sangat tampan maksudku, tapi akhlaknya sangat minus. Menyebalkan sekali melihatnya tertawa lepas meledekiku yang polos ini, dan yang lebih penting lagi, kenapa aku langsung percaya dengan ucapannya?!

Setelah hampir satu menit pria di depanku tertawa dan aku memelototinya dengan tajam, dia kini kembali menatapku tegas, iris mata kelabu yang tadi menyipit karena tertawa, kini mulai kembali menyorot tajam. Dia menunduk, menatap aku yang hanya setinggi pundaknya.

"Apa?" aku bertanya garang, masih sebal karena diledeki orang yang baru saja aku kenal. Selain tampang rupawan yang menyerupai malaikat, pria di depanku hanyalah orang tidak jelas yang tiba-tiba datang untuk menagih hutang.

Eh? Apa? Menagih hutang?

Aku kembali gugup, ditarik paksa pada kenyataan bahwa ayah menyebalkanku itu setelah semasa hidup membenciku dengan amat luar biasanya, kini sudah mati pun masih menurunkan beban hutang padahal para tiriku sudah berlomba-lomba untuk mengambil alih warisan. Kasihan sekali mereka.

Apakah ini tujuan ayahku? Menjadikan aku dan manusia-manusia tiri itu sebagai gembel jalanan yang akan luntang-lantung tinggal di bawah jembatan?

"Kedatanganku ke sini untuk menagih hutang yang ditinggalkan oleh Smith semasa hidupnya," Pria di depanku menyerahkan amplop besar berwarna cokelat kepadaku.

Aku menatapnya sungkan, haruskah aku mengambil amplop itu? Tapi aku penasaran seberapa banyak hutang yang pria tua bangka itu tinggalkan.

Awalnya aku ingin lari saja, tapi pria di depanku terus menyodorkan amplop cokelat itu kepadaku, menyuruhku mengambilnya dengan paksa. Aku menoleh sebentar ke arah kanan dan melihat ibu tiri jahatku mendatangiku, sepertinya dia ikut penasaran dengan hutang ayahku. Aku sangat yakin bahwa dia takut warisan yang dia idam-idamkan terancam. Lebih parah lagi, dia pasti takut menjadi gelandangan.

Aku terpaksa mengambil amplop itu, membukanya dengan perlahan takut sekali akan isinya yang mungkin bisa saja merubah hidupku dalam seperkian detik.

Mataku melotot melihat total hutang ayahku, bahkan aku tidak bisa menghitungnya karena terlalu banyak angka nol dibelakang angka tujuh.

Aku menoleh cepat ke arah kanan saat mendengar bunyi gedubrak, dan melihat ibu tiriku pingsan dengan posisi tidak elegannya.

Sekarang ini bukan hanya masalah seberapa terkejutnya sampai terjatuh pingsan, tapi lebih buruk dari itu.

Ya tuhan, masa aku benar-benar akan menjadi seorang gelandangan?!!!!

"Bagaimana, hmmm?" Fokusku kembali tertuju pada pria di depanku yang kini sedang menatapku dengan sombong, dagunya terangkat tinggi dengan alis sebelah kiri yang sengaja dinaikkan, "Bahkan jika semua aset ayahmu dijual pun tetap tidak akan bisa melunasi hutang yang ayahmu tinggalkan."

Aku menatapnya lemas, seketika otakku tidak dapat berpikir sama sekali. Apa yang harus aku lakukan? Mengemis-ngemis kepada pria di depanku untuk meminta tambahan waktu, kah? Atau bersujud untuk meminta pria itu mengikhlaskan hutang ayahku yang totalnya di luar nalar itu? Atau aku langsung bunuh diri saja sekarang di depan makam ayahku setelah puas memaki-makinya yang membuatku semakin susah saja?

Argh!!!

Apa yang harus aku lakukan?!

Aku menjambak rambutku kasar, berjongkok dengan mata tertutup dan berteriak seperti orang gila.

"Kamu mau seperti itu sampai kapan? Apakah kamu pikir melakukan hal itu dapat membuat semua hutang ayahmu lunas? Pikirkan juga ibumu yang masih tergeletak pingsan di sampingmu."

Aku menghiraukan ucapannya, biarkan aku berteriak seperti orang gila. Ini adalah bentuk pelepasan amarah supaya aku tidak semakin gila. Bodo amat dengan ibu tiriku yang masih pingsan itu.

"Aku punya solusi yang sangat menjanjikan, akan langsung aku anggap lunas semua hutang ayahmu jika kamu mau menuruti satu syarat dariku."

"Apa?"

Itu bukan suaraku, teriakan melengking diiringi nada kebahagiaan yang membuncah menyerukan tanya itu bukan milikku. Aku menatap Gwen horor, ibu tiriku itu tiba-tiba bangkit dari pingsan bohongannya dan tangannya terangkat ingin menggapai lengan pria di depanku, yang tentu saja, langsung mundur dua langkah untuk menghindari kontak fisik dengan Gwen, ya kalau dipikir-pikir juga siapa yang mau disentuh oleh wanita tua munafik seperti ibu tiriku ini, kan?

Dan naasnya, ibu tiriku jatuh terjerembab. Aku meringis jijik, ikut malu melihat tingkahnya.

"Awww."

"Jadi, bagaimana?" Pria di depanku bertanya tanpa mengalihkan pandangan dariku, menghiraukan Gwen yang berusaha memancing atensi dari kami berdua. Pria di depanku ini, aku cukup tertarik dengan sikapnya yang sama sekali tidak terkecoh pada drama murahan yang Gwen tunjukkan.

Aku mengerjab, "Apa syaratnya?"

"Syaratnya sangat mudah," pria di depanku membenarkan dasinya yang padahal sudah sangat rapi, "kamu hanya perlu mengizinkanku tinggal di rumah ini sebagai majikanmu," aku sangat terkejut ketika tiba-tiba tangan kanan pria itu bergerak dan jari telunjuknya menyentil hidungku.

"Hah?"

Aku berkedip-kedip berusaha mencerna ucapannya.

Dia bilang mau tinggal di rumah ini?

"Hah??!!!"

Dengan menjadi majikanku?

"HAHHHHHH?!!!!!"

Hal gila macam apa ini?

Please You Stay AliveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang