Wasiat Konyol

2.7K 29 2
                                    

Pagi menyapa. Matahari bersinar menembus langit. Dengan cepat cahayanya jatuh menimpa bumi. Lalu menerobos melalui kisi-kisi kusen jendela. Silau. Hangat. Membuat seseorang yang masih pulas di atas kasur mengerjapkan matanya. Merasa tidurnya terganggu, tangannya spontan meraba-raba ponsel yang ia letakkan secara sembarangan-- semalam.

Menemukan. Ia melihat sudah pukul 9:30 pagi.

Ah, masih terlalu pagi. Ia kembali menarik selimut, menutupi seluruh tubuhnya agar terlindung dari pancaran cahaya matahari yang menyilaukan. Ini hari Minggu. Tidak ada jadwal rutinan sebagai kuliah. Free. Murni free. Tidak pedulikan dengan hiruk-pikuk luar yang sudah penuh aktivitas. Ia hanya ingin menuntaskan rasa kantuknya. Mungkin mimpinya terlalu indah hingga ia enggan bangun.

Namun, tiba-tiba ponselnya berdering. Sungguh mengagetkan. Herannya, ia tetap tak peduli, justru menutupi telinganya menggunakan bantal. Berusaha tidur lagi.

Tapi, demi Tuhan... ponsel ini amat berisik. Mau tidak mau ia harus mengeceknya. Sialan. Siapa pula yang menghubunginya di jam yang masih pagi ini?

'Raihan'

Itulah nama yang tertera di layar pipih itu. Ia mengangkatnya meski matanya kembali terpejam. Sungguh, ia masih sangat ngantuk.

"Lama sekali, Tha! Aku di bawah."

Seketika mata Agatha terbuka lebar. Membelalak sempurna. Bahkan ia bangkit, menyibak selimut dan melompat menuju jendela kamar. Ia melihat seorang Raihan tengah menunggunya di bawah bersama motor merahnya.

"Astaga...! Aku baru bangun! Sebentar, sebentar." Agatha lantas membuang ponselnya ke kasur yang masih berantakan. Lanjut menuju kamar mandi sebentar untuk cuci muka dan sikat gigi. Lalu kembali lagi ke kamar untuk berganti pakaian. Membenarkan rambut pirangnya yang ditekuk di belakang, memakai sepatu bututnya yang berwarna hitam. Lantas menyambar ponselnya, dan segera melesat turun ke bawah. Melewati 3 tangga sebab ruang indekosnya yang berada di lantai 4 sekaligus paling pojok.

Agatha Callista. Itulah perempuan yang tengah berlari menuju ke bawah untuk menemui seseorang yang menunggunya. Seorang gadis independen berusia 25 tahun yang hidup dengan jalan pilihannya sendiri. Bebas, merdeka, tanpa terikat suatu urusan yang membuatnya harus mempertanggungjawabi suatu hal, tanpa melibatkan seseorang yang penting untuk berbaur dalam hidupnya.

Ia sudah terbiasa hidup sendiri sejak 6 tahun lalu. Sebab sejak lahir pula orang tuanya telah tiada. Ayah meninggal karena kecelakaan saat dirinya masih di dalam kandungan, dan ibu yang sudah meninggal pasca melahirkan dirinya dan saudara kembarnya. Hingga akhirnya ia harus menjalani hidup di bawah asuhan seorang ibu panti.

Dan, sejak perjalanan masa kecilnya tidak ada sedikit saja momen yang menyenangkan. Alih-alih menikmati masa kecilnya seperti anak-anak yang lain, ia justru merasa kepahitan sebab kasih sayang ibu panti yang selalu membeda-bedakan. Perbandingkan secara intelektual maupun kemampuan adalah hal yang teramat ia benci. Dan ia harus menghadapi perbandingan itu pada sang kembarannya selama belasan tahun.

Benar-benar membosankan!

Hingga beginilah ia jadinya. Memilih keluar dan pergi dari panti. Berjanji pada diri sendiri untuk tidak akan kembali lagi, meski hanya sekali. Ia sudah terlanjur patah hati. Dan selamanya mungkin lukanya tidak akan pernah bisa dihilangkan. Sekalipun ia telah memilih jalan hidup yang seperti ini.

Lepas dari panti, ia tidak bisa melanjutkan kuliah. Ia berhenti sejenak, kurang lebih sampai 2 tahun. Sana sini ditolak lowongan kerja. Hingga ia buntu dan memutuskan menjadi pengamen sekaligus pedagang asongan. Terserahlah mengenai pekerjaan, mana ia pikirkan tentang omongan orang? Ia hanya cukup memikirkan agar dirinya bisa bertahan hidup tanpa adanya perbandingan, menabung untuk melanjutkan kuliah meski harus mengulang dan masuk di kampus yang berbeda.

Turun RanjangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang