Malam merangkak semakin larut. Sunyi suasana terasa kian menghujam. Namun, hal itu sudah terbiasa dilalui oleh seorang Agatha Callista, yang selalu menikmati hari-harinya hanya seorang diri.
Malam pukul 22.00 wib. Ia masih setia menghisap sebatang rokok yang memang sudah menjadi teman terbaiknya, mengepulkan asapnya ke atas lalu menghisapnya lagi. Berulang-ulang sampai nanti batang rokok itu mengikis dan kian habis. Segelas kopi hitam juga hampir mendingin. Biasanya segelas kopi tidak sampai pada kadar hangat pasti sudah tandas. Namun untuk kali ini, sampai hampir mendingin--belum juga habis.Sebab ia melamun sedari tadi. Memikirkan tentang peristiwa demi peristiwa yang telah ia alami semenjak kepergian kembarannya. Terkait dengan Rayan, keponakannya, membuat ia ingin sekali mengambil hak asuh agar Rayan menjadi anaknya saja ketimbang harus memiliki ibu baru macam perempuan yang dipilih Anggara tadi siang.
Rayan sudah tidur sejak 1 jam yang lalu. Agatha melirik ponselnya yang tergeletak di sisinya, sekadar melihat pewaktu, sudah pukul 22.15 ternyata. Dan sampai sekarang, nyatanya sosok Anggara belum ada kabar untuk menanyakan tentang keberadaan putranya. Apakah Anggara masih berdinas sampai selarut ini? Agatha tahu hari ini jadwal Anggara berdinas di rumah sakit adalah bagian shift siang, otomatis jam 05.00 sore pun tentu sudah usai. Atau mungkin jika ada lembur semestinya Anggara menanyakan perihal Rayan, apakah Rayan baik-baik saja bersamanya?
Nyatanya semua itu hanyalah angan kosong bagi embusan angin, membuat Agatha beruring-uringan, apakah sebenarnya Anggara tidak memedulikan putranya? Hingga dengan seenaknya menitipkan pada sembarang orang yang kapanpun bisa menyakiti Rayan? Benar-benar Anggara sosok ayah tidak bertanggung jawab! Maki Agatha di dalam hati.
Sejak tadi sebenarnya ia menunggu kedatangan Anggara, sampai tadi sekitar Magrib Raihan datang. Bahkan sempat mengajak Rayan bermain bersama di indekosnya. Mungkin baru beberapa puluh menit yang lalu Raihan undur diri.
Saat hati dan pikirannya sibuk memaki-maki tentang sosok Anggara, suara ketukan pintu terdengar. Malas sekali sebenarnya untuk menyambut tamu di malam-malam seperti ini. Biasanya yang datang malam-malam adalah ibu kos, menagih biaya sewa perbulannya. Dan sekarang adalah tanggal pembayarannya untuk bulan ini.
Namun, salah perdugaan Agatha saat ia berhasil membuka pintu, sosok laki-laki jangkung berdiri tegap di sana. Dua pasang mata itu bertemu sejenak meski tatapan mereka saling melempar rasa benci masing-masing. Dengan wajah datar, sikap dingin, bahkan masih mengenakan setelan dinas-- Anggara datang.
"Di mana Rayan? Bawa dia padaku sekarang!" Datar, tegas, tanpa basa-basi. Laki-laki ini begitu terlihat menyebalkan di mata Agatha.
"Baru merasa kehilangan? Ayah macam apa yang tiba-tiba saja datang memintanya untuk dikembalikan setelah menelantarkan tanpa perasaan?" Agatha mencibir, tidak ada niat ingin mempersilahkan Anggara masuk ke dalam indekosnya sama sekali.
"Aku malas berdebat. Di mana Rayan? Bawa dia padaku sekarang!" Laki-laki ini benar-benar diktator.
"Dia tidur dan dia tidak ingin pulang! Itu jika kau ingin tahu!" Agatha bersedekap, melipat kedua tangan di atas dada. wajahnya seperti menantang laki-laki di hadapannya.
Anggara dibuat kehabisan kesabaran. Dia hendak menyelonong masuk, tapi Agatha menghalangi. "Dia sedang tidur! Apa kau tuli!" Sergah Agatha sarkatis, membuat Anggara menajamkan mata. Ingin mencekik perempuan menyebalkan ini. Namun, suara tangisan anak kecil tiba-tiba terdengar, mengejutkan keduanya. Itu suara Rayan.
"Mama..." suara Rayan semakin terdengar jelas. Menangis memecah keheningan malam.
Anggara langsung masuk tanpa permisi, berlari menuju sumber suara. Di kamar Agatha ia menemukan Rayan berada, membuat Agatha mengembus napas pasrah. Dia menyusul di mana Anggara dan Rayan berada. Cukup bersandar di bingkai pintu sambil menyimak bagaimana perlakuan Anggara saat menyikapi anaknya yang tengah menangis. Terlihat di dalam Anggara berusaha menenangkan, membujuk Rayan untuk pulang.
"Rayan nggak mau pulang. Rayan nggak mau punya ibu baru! Dia jahat, Rayan takut!" Sambil sesenggukan, Rayan berusaha menghindari Anggara. Ia bahkan menjauh, berlari ke sudut kamar seperti tidak ingin digapai oleh ayahnya sendiri.
Anggara menoleh pada Agatha, seperti ingin mengoreksi perkataan Agatha tadi bahwa yang dikatakan Agatha adalah benar. Sementara Agatha hanya mengedikkan alis dan mengatakan, "Sudah kubilang, dia tidak mau pulang. Perempuan yang kau bawa itu bukan perempuan baik-baik. Membuat anakmu ketakutan." Lantas beranjak, berjalan menuju sofa yang ada di depan televisi. Ia menekan tombol power menyalakan layar elektronik itu, menonton sendiri. Kakinya dijulurkan di atas meja, tidak memedulikan masalah attitude, ia sudah tidak mengenal istilah itu. Membiarkan Anggara di dalam bersama Rayan. Mungkin laki-laki itu tengah berusaha membujuk putranya agar mau kembali.
Sekitar hampir 20 menit Agatha masih menunggu keluarnya Anggara. Ingin mengetahui berhasil atau tidaknya membujuk Rayan. Tetapi saat Anggara keluar, hanya lah seorang sendiri. membuat Agatha yakin bahwa Rayan sepertinya tidak bisa dibujuk. Anggara menyusul Agatha duduk di sofa yang sama. Hanya saja posisinya di ujung sofa. Agatha melirik, melihat bentuk air muka Anggara yang terlihat begitu pasrah dan lelah. Laki-laki itu hanya diam menundukkan kepala. Seperti tengah memikirkan sesuatu yang membuatnya bingung setengah mati.
Agatha paham, laki-laki itu kelelahan. Seharian Anggara bekerja, bahkan mungkin lembur. Pulang bukannya disambut kabar baik, justru mendapat kabar bahwa anaknya yang telah ia titipkan pada perempuan yang ia pilih, harus tersakiti. Ah, kasihan betul laki-laki ini.
Maka, Agatha putuskan bangkit, beranjak menuju dapur membuatkan minuman untuk Anggara. Ia tahu laki-laki itu kelelahan, seperti bencinya ia pada lelaki itu jika menghadapi keadaan yang seperti ini tentu ia tidak akan tega.
Segalas susu panas dan air putih ia antarkan di hadapan antara. "Minumlah, aku tahu kau haus." Ujar Agatha singkat setelah meletakkan dua gelas minuman itu di hadapan Anggara. Sebenarnya ia bingung untuk membuatkan minuman apa buat laki-laki itu. Ia malas bertanya. Hingga ia putuskan untuk membuatkan dua macam minuman.
Anggara masih diam, cukup melirik Agatha yang kembali duduk tanpa sopan santun sambil menonton televisi. Lantas ia mengambil air putih, meminumnya. Untuk beberapa saat, mereka saling berdiaman, begitu enggan untuk mengeluarkan suara. Sebelum akhirnya suara ngebas Anggara terdengar, memecah kebekuan.
"Aku memang sosok Ayah yang payah."
Agatha kontan menoleh, melihat mimik muka Anggara yang masih datar, tatapannya kosong.
"Untuk menenangkan Rayan dari tangisannya pun aku tidak sanggup. Kepergian Nagita benar-benar memberi pengaruh yang besar untuk kami. Selain meninggalkan kedukaan, juga memberi pelajaran paling berharga, bahwa mengasuh anak tidak semudah yang kubayangkan. Dan Nagita, sosok perempuan yang hebat." Anggara berkata panjang lebar. Membuat Agatha terus menatapnya.
"Dan sekarang aku tidak tahu pada siapa lagi harus mengatasi keadaan ini. Rayan tipikal anak yang susah adaptif pada sembarang orang, ia hanya menurut pada orang-orang terdekat saja. Sementara di satu sisi aku seorang Ayah yang sibuk, pekerjaan menuntutku untuk meninggalkan Rayan yang sedang butuh seseorang terdekat. Jujur, aku butuh seseorang yang bisa diajak kerjasama dalam berkeluarga. Setidaknya ia mau tulus mengasuh putraku." Untuk kalimat akhir Anggara menatap dalam. Mereka bersitatap sejenak. Seketika perasaan Agatha seperti diaduk-aduk. Namun, ia segera berpaling dan kembali menghadap pada layar televisi yang tengah menampilkan tayangan.
Agatha melengos, "Melankolis sekali. Sayangnya aku tidak tersentuh sama sekali. Jangan bilang dari banyaknya kalimat yang kau rangkai bertujuan ingin menyindirku, menginginkan aku yang bersedia melakukannya seperti amanah Kak Nagita. Sorry, aku menolak sebelum kau mengajukan pertanyaan untukku." Agatha tersenyum sinis di ujung kalimat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Turun Ranjang
Romantizm⚠️Bijaklah dalam memilih cerita. Cerita ini khusus diatas 21+⚠️ Dipaksa menikah dengan kakak ipar sendiri, rasanya membuatku seperti orang gila. Hanya karena keinginan kakak kembarku yang sedang sekarat, aku yang harus menjadi korban dalam hubungan...