22. Target Amarah

756 66 12
                                        

Gelisah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gelisah.

Sudah dua hari Rei dihinggapi rasa itu hingga tak bisa tidur nyenyak meski sudah menelan obat tidur yang biasanya manjur. Percakapan antara Theo dan Samuel malam itu terus terngiang di kepalanya. Di mana setiap kali teringat, rasa sesak semakin mendesak. Ia juga tidak bisa membayangkan betapa terlukanya hati sang kakak ketika kalimat kejam itu terlontar dari bibir ayahnya sendiri.

Terlalu kesal, sampai-sampai Rei nyaris berlari ke tengah percakapan dan meneriaki Samuel bahwa dia ayah yang kejam. Akan tetapi, dia cepat tersadar bahwa kemunculannya hanya akan memperburuk suasana. Dia jadi serba salah dan tak tahu harus berbuat apa.

Sejak pertengkaran dengan Samuel malam itu, Theo jadi semakin terang-terangan menunjukkan rasa bencinya pada Rei. Seperti pagi tadi, sebelum berangkat sekolah Theo tiba-tiba menyiramkan susu yang seharusnya menjadi konsumsi sarapan ke tubuh Rei. Alhasil bocah itu harus kembali ke kamar membersihkan diri serta berganti seragam. Akibatnya Rei terlambat datang sekolah dan terkena hukuman oleh Pak Tomo.

Setelah beberapa hal yang terjadi akhir-akhir ini, Rei mulai berpikir. Haruskah ia bersuara? Menerima tekanan dari segala arah nyatanya membuatnya lelah. Ditambah dengan luka hati serta fisik yang terus berdatangan menyebabkan pikiran buruk hinggap di otaknya yang selama ini berusaha untuk terus berpikir positif. Hingga pada suatu titik, Rei berpikir bahwa jika ingin menghilangkan masalah maka harus diawali dengan menyingkirkan si sumber masalah, yaitu dirinya.

Akan tetapi, kewarasannya masih cukup berfungsi untuk tidak berbuat senekat itu. Dia masih punya sang ibu yang menjadi penguat setiap kali nyaris terjatuh. Banyak hal yang sudah Celine korbankan hingga Rei bisa sampai di titik ini, dan dia tidak ingin mengecewakan bidadarinya itu.

“Rei, nanti kalau udah mau pulang jangan lupa matiin lampu sama AC-nya, ya. Hitung-hitung bantu tugas Pak Anwar,” tegur Arsa, si ketua kelas yang juga merupakan orang terakhir di ruangan itu selain Rei.

Suara berat dari sang pemimpin kelas membangunkan Rei dari lamunan singkatnya. Bocah itu mengangguk tanpa suara kemudian menatap layar gawainya. Bel tanda pulang memang sudah berdering beberapa saat lalu, seluruh penghuni kelas juga sudah berhambur keluar. Hanya tersisa si ketua kelas yang belum selesai mencatat, serta Rei yang masih terlalu malas untuk pulang sehingga memilih untuk menetap di kelas sedikit lebih lama. Entahlah, Rei hanya merasa jika semakin ke sini, rumah benar-benar bukanlah tempat yang nyaman untuknya pulang.

“Hm, tapi tetep harus pulang. Hari ini Mama di rumah, sih, hehe,” lirihnya mulai sedikit cerah ketika mengingat jika hari ini sang ibu ada di rumah.

Remaja itu mempercepat langkahnya, berharap ia bisa tiba di rumah lebih dulu daripada sang ibu dan akan menyambutnya. Namun, sial. Ketika hendak menuruni tangga, seseorang dari arah berlawanan menabraknya dengan cukup keras hingga bocah itu tersungkur.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
STRUGGLE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang