2. Postingan

447 123 12
                                    

2. Postingan

Bhaga Sebastian. Itulah nama lengkapnya. Akun pribadinya tidak terlalu terkenal, bahkan hanya mempunyai kurang dari sembilan ribu followers. Namun Bhagasbas Studio, tempatnya bekerja sebagai fotografer, memang sangat terkenal. Banyak publik figur menggunakan jasa di studio itu untuk pemotretan pre wedding, wedding party, maupun momen-momen lain.

Bhaga bukan orang yang punya ketampanan di atas rata-rata. Kata Pia, asistennya bahkan jauh lebih tampan. Dia tinggi, cukup tegap. Kulit kecokelatan khas orang Jawa. Hidungnya tidak terlalu mancung. Yang pasti, dia sangat jauh dari tipe pasangan idamanku yang setidaknya mirip oppa-oppa. Bhaga juga bukan orang humoris. Tidak pandai bicara atau bercanda kepada followers. Dia kalem dan jarang bercanda. Saat live pun, dia hanya membahas tentang dunia fotografi atau menjawab pertanyaan-pertanyaan penonton tentang dunianya itu. Penonton live-nya pun tidak pernah lebih dari seratus orang.

Harusnya tidak ada yang menarik darinya, bukan? Ada banyak sekali selebgram Indonesia yang jauh lebih tampan, easy going, dan bertabur visual sehingga bisa dijadikan bahan halu daripada seorang Bhaga. Namun apa dayaku? Aku tidak bisa mengontrol hatiku sendiri untuk jatuh kepada siapa.

Aku menyukai Bhaga apa adanya. Rutin menonton live-nya, aku bahkan jadi tertarik dengan fotografi. Padahal tadinya aku sama sekali tidak tahu menahu tentang hal itu. Namun karena penjelasan Bhaga sangat mudah dipahami, aku jadi suka. Aku menyukai caranya bicara. Aku menyukai caranya tersenyum kalem. Aku juga selalu meleleh setiap kali dia melakukan kebiasaannya yaitu menekan bagian dalam bibir bawah dengan lidah saat ada yang memuji. Reaksi alami yang jauh dari kesan menggoda, tapi justru terlihat lucu.

"Lucu, kamu bilang? Dari mananya? Dia udah tua, Nau." Itu yang selalu dikatakan Pia tiap kali aku memuji Bhaga.

"Tua apanya, sih? Masih muda, gitu."

"Dari mukanya aja udah kelihatan jelas kalau dia tiga puluh lebih."

"Artinya masih muda, kan? Belum empat puluh, ini."

"Orang dengan umur tiga lima yang kamu kenal juga kamu panggil 'Om'."

"Itu beda cerita. Om Bram aku panggil 'Om' karena dia adiknya Ibu, bukan karena umurnya udah tua."

"Halah."

Selalu seperti itu jika aku dan Pia membahas (baca: berdebat) tentang Bhaga. Aku yang memuji dan membela, sementara Pia selalu memaparkan satu demi satu kekurangan Bhaga agar aku berhenti menyukainya. Sejujurnya aku tahu betul maksud Pia baik. Dia hanya tidak mau aku terlalu berharap tinggi dan akhirnya mengalami kekecewaan yang mendalam. Namun bagaimana lagi? Aku sulit menahan diri jika sudah kasmaran.

Seperti saat ini, di mana aku tersenyum-senyum hanya dengan melihat foto unggahan Redi—asisten Bhaga—beberapa menit lalu. Dia menandai Bhaga karena di situ ada wajah fotografer itu juga. Bukan video spesial. Hanya momen di mana Bhaga dan Redi sedang mengobrol sambil melihat hasil jepretan di kamera. Bagi orang mungkin bukan apa-apa, tapi bagiku cukup istimewa. Wajah seriusnya saat berkutat dengan kamera adalah poin yang  paling menarik untukku.

Kutekan tombol love pada postingan itu, sebelum keluar dari aplikasi Instagram. Meski menyukainya, aku bukan orang yang mudah mengirim komentar. Dulu pernah berkomentar di live saja hanya satu dua kali, itu pun sepertinya aku dalam kondisi gila. Karena setelah komentar itu terkirim, aku merasa malu setengah mati.

Ya meski akhirnya tetap berdebar-debar saat Bhaga menjawabnya dengan kalimat 'selamat malam juga, justnaura'. Namun sejak remaja, aku memang lebih suka menjalani cinta dalam diam. Aku memilih berharap takdir menjodohkanku dengan seseorang yang kusukai, daripada harus beraksi sendiri. Aneh? Aku tahu itu.

Favorite Person (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang