5. Mimpi atau Bukan?

441 104 6
                                    

5. Mimpi atau Bukan?

Bhaga Sebastian adalah sepupu Tante Mila. Tak cukup di situ, ternyata dia juga merupakan teman Om Bram semasa kuliah. Aku benar-benar sulit mempercayai fakta ini. Ayolah, aku tidak sedang menjalani alur klise dari novel yang sering kubuat. Ini juga bukan drama Korea yang mengandung banyak kebetulan tak terduga.

Ini hidupku. Segala sesuatu yang sudah seharusnya kembali normal beberapa bulan ini, justru jungkir balik dalam beberapa menit. Yang kumaksud adalah perasaanku. Terlebih, aku menerima kenyataan ini di situasi yang penuh kecemasan.

Menunduk, kupandangi punggung tangan kiri yang merah akibat kucubit entah berapa kali. Aku butuh meyakinkan diri bahwa ini mimpi yang berasal dari fantasiku. Tidak mungkin aku mencubit Pio yang duduk di sebelahku, jadi akhirnya kulakukan itu kepada tanganku sendiri. Namun semerah dan seperih apa pun bekas cubitan itu, aku tetap tak terbangun. Artinya, ini kenyataan. Dan aku ingin menolaknya.

"Kak."

Tiba-tiba, Pio mencekal pergelangan tangan kananku. Mengerjapkan mata, aku menoleh kepadanya yang juga tengah menatapku dengan sorot serius.

"Apa?"

Pio menjauhkan tangan kananku dari tangan kiri. Dia menunjuk punggung tanganku dengan dagu sambil berkata pelan, "Udah cukup."

Mengerti maksudnya, aku mencebikkan bibir. "Iya."

Dia sedikit mendekatkan bibir ke telingaku dan berbisik, "Jangan nyakitin diri sendiri lagi."

Bergumam malas, kutarik tanganku. Namun Pio menahannya. "Pio."

"Janji dulu."

Aku memaksakan senyum. "Iya, Dek."

Ganti Pio yang merengut. Dia melepaskan tanganku, lalu melipat kedua lengan di depan dada. Aku tersenyum kecil melihat tingkahnya. Namun senyumku memudar saat tak sengaja menoleh ke depan, pada bangku yang berjejer di dekat pintu ruang persalinan. Sosok itu—maksudku Bhaga—entah sejak kapan mengamati interaksi kami. Ketika aku memergokinya, dia melempar senyum kecil sambil mengangguk basa-basi. Jantungku seperti tersetrum, jadi aku langsung buang muka.

Astaga, aku tidak siap dengan ini. Enam bulan ini aku sudah berusaha untuk lepas dari segala hal tentang Bhaga. Aku berhenti follow dia. Aku bahkan memblokir akunnya. Tekadku untuk move on darinya benar-benar sudah bulat. Kehidupanku juga sudah kembali normal seperti sebelum mengenal Bhaga. Bahkan untuk cast male caracter dalam novel, aku kembali menggunakan idol atau aktor Korea untuk mengantisipasi harapan-harapan yang tak diinginkan.

Lalu tiba-tiba saja, di hari Tante Mila melahirkan, Bhaga justru kembali muncul. Bukan di layar ponsel, tapi dalam wujud nyata yang bisa dilihat langsung dari jarak kurang dari satu meter. Dia bahkan menatap dan juga tersenyum kepadaku. Benar-benar tertuju khusus kepadaku, bukan kepada penonton live seperti dulu. Aku mau pingsan saja rasanya!

Kulirik Pio yang diam memandangi pintu ruang bersalin. Aku berusaha menebak isi pikirannya tapi gagal. Yang aku duga, pasti sebenarnya dia juga kaget. Sama sepertiku. Pasti ada banyak kalimat yang ingin dia ungkapkan tapi ditahan karena situasinya tak tepat. Aku tak bisa membayangkan bagaimana reaksi Pia jika nanti Pio bercerita setelah sampai rumah.

Ikut memandangi pintu, aku mengusap dahi. Lagi-lagi rasa cemas itu menyelimuti hatiku. Pada Tante Mila, juga Om Bram. Tadi setelah mengobrol dengan Ibu selama beberapa menit, Om Bram kembali dengan ekspresi yang lebih tenang. Dan lebih mengejutkan karena dia mengatakan akan masuk untuk menemani istrinya. Aku lega, tentu saja. Namun tetap ada rasa khawatir. Aku hanya berharap proses persalinan berjalan lancar, dan baik Tante Mila maupun bayinya dalam kondisi sehat.

Favorite Person (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang