4. Sepupu

312 106 7
                                    

4. Sepupu

"Ke arah sana, Kak."

Mengangguk, aku mengikuti arah yang ditunjukkan Pio. Kami berdua melangkah dengan cepat, berusaha agar cepat sampai ke ruang persalinan. Tante Mila melahirkan. Itu adalah kabar yang kuterima saat aku sedang rebahan setelah dari pagi hingga sore menghabiskan waktu dengan mengetik.

Tentu saja aku kaget dan khawatir. Orang tua Tante Mila berdomisili di luar provinsi. Butuh setidaknya sepuluh jam untuk perjalanan ke sini. Sedangkan orang tuaku saat ini berada di luar kota untuk menghadiri acara pernikahan rekan kerja Ayah. Saat Om Bram menelepon tadi, aku begitu cemas hingga dadaku berdebar. Belum pernah aku mendengar suara omku sebergetar itu.

Karena itu, aku bergegas pergi ke rumah sakit. Untungnya Pio sedang luang, sehingga aku bisa minta tolong untuk diantarkan. Menunggu ojek atau taksi akan memakan waktu lama karena hujan yang sangat lebat.

"Itu Om Bram."

Mengikuti arah telunjuk Pio, dadaku berdesir ketika mendapati Om Bram sedang duduk di depan ruang persalinan dengan kepala menunduk. Tanpa pikir panjang lagi aku segera berlari menghampirinya.

"Om."

Om Bram mengangkat kepala. Dia tampak kaget, tapi setelahnya mengulas senyum tipis yang membuatku justru makin cemas. Melangkah hingga berdiri dekat sekali di sampingnya, aku segera memeluk pundak omku itu.

"Nggak apa-apa, Om." Kuusap-usap punggung Om Bram ketika merasakan pundaknya bergetar. "Semua akan baik-baik aja, Om."

Om Bram memegang lengan bawahku di lehernya. Dia mengangguk berkali-kali, tapi suaranya bergetar saat dia berkata, "Om pengecut, Kak."

Aku menggeleng. "Nggak apa-apa, Om. Nggak apa-apa."

"Mila di dalam sendirian, Kak. Om justru di sini, nggak berani masuk." Om Bram menunduk lagi. Pundaknya makin bergetar. "Om ... Naura, Om benar-benar pengecut."

Kudongakkan kepala ke atas, berusaha untuk tidak kelepasan menangis. Om Bram butuh dukungan. Dia butuh suntikan keberanian agar sanggup untuk masuk menemani Tante Mila. Di sisi lain aku juga sangat khawatir kepada Tante Mila. Dia sendirian di dalam sana, padahal pasti butuh dukungan psikis dari suaminya.

Aku tahu dengan jelas dan pasti bahwa Om Bram juga tidak mau seperti ini. Dia tidak pernah mau memiliki trauma terhadap orang yang melahirkan seperti ini. Namun semua terjadi begitu saja, sejak kecil.

Awalnya, ini akibat perkataan segelintir tetangga yang tak pernah memikirkan perasaan Om Bram. Setiap kali melihat tumbuh kembang Om Bram di masa kecil, mereka melontarkan kekaguman, sebelum akhirnya mengucapkan kalimat-kalimat penuh rasa iba karena Nenek meninggal saat melahirkannya. Sering sekali orang mengungkit tentang kepergian Nenek di depan Om Bram langsung. Hal itu memicu kecemasan dan mimpi buruk untuk Om Bram.

Saat Ibu mengandungku, Om Bram sempat protes dan marah. Mengandung berarti melahirkan. Dia ketakutan karena berpikir bahwa akan ada kemungkinan Ibu bernasib seperti Nenek. Om Bram tidak mau kehilangan lagi. Namun setelah Ayah memberi pengertian, Om Bram bisa sedikit lebih tenang. Hanya saja saat tiba hari di mana Ibu melahirkanku, Om Bram kembali diserang kepanikan. Apalagi saat itu Ibu harus menjalani operasi caesar. Semua berjalan lancar, tapi ketakutan itu tak pernah hilang dari pikiran Om Bram.

Belum cukup berat di situ, Om Bram juga mendapatkan pengalaman yang membuatnya trauma saat SMA. Hari itu dia kebagian piket kelas, dan dilakukan setelah kelas berakhir. Sekolah sudah sepi. Sehabis menyelesaikan piket, Om dan kedua temannya keluar menuju gerbang bersama. Namun saat melintasi toilet guru, mereka mendengar suara rintihan minta tolong. Mereka bergegas mengecek, yang ternyata itu adalah guru mereka yang hamil besar. Mereka kaget luar biasa saat melihat darah menggenang di kaki guru itu.

Itu adalah hari paling buruk untuk Om Bram, yang berhubungan dengan hamil dan melahirkan. Karena guru itu tidak selamat. Beliau meninggal saat perjalanan ke rumah sakit, dalam keadaan duduk bersandar pada Om Bram. Saat itu untuk pertama kalinya aku melihat Om Bram pulang dalam keadaan kacau. Sesampainya di rumah, dia memeluk Ibu sambil menangis kencang seperti seorang anak mengadu kepada ibunya. Aku yang saat itu berusia tujuh tahun, bahkan ikut tersedu-sedu melihatnya menangis seperti itu.

Jadi aku tahu betul bagaimana ketakutan Om Bram saat ini. Aku tidak bisa menghakimi atau memandangnya pengecut karena takut menemani Tante Mila.

"Waktu tahu Tante hamil, om kamu sempat diem, Kak. Tante tahu apa sebabnya, tapi jujur aja waktu itu Tante tetep sakit hati. Tapi alhamdulillah cuma beberapa waktu, karena setelah itu Om bisa ngerti. Tapi kalau di hari lahiran, Om masih takut nemenin Tante, jangan dimarahin. Kalau bisa, tenangin dia. Okay?"

Pesan dari Tante Mila sebulan lalu itulah yang membuatku bergegas kemari tadi. Beruntung sekali Om Bram memiliki istri sebaik dan sepengertian itu, kan? Walaupun aku juga paham sekali, Tante Mila pasti memiliki kekecewaan tersendiri di situasi seperti ini. Aku merasa bersalah untuk itu.

"Makasih, Kak." Om Bram berucap sembari menepuk-nepuk lenganku. "Makasih juga, Pio, sudah antar Naura ke sini."

"Iya, Om."

Mendengar jawaban Pio, barulah aku sadar situasi. Tadi aku mengabaikan sekitar dan hanya fokus kepada Om Bram saja. Jadi sembari melepas pelukan kepada Om Bram, aku menegakkan badan. Menoleh ke arah Pio, aku mengerutkan kening. Anak itu berekspresi agak aneh, yang membuatku terheran-heran. Namun melihat arah lirikannya, aku menoleh.

Dan di situlah badanku mematung, sementara mataku sulit berkedip. Sosok yang tengah berdiri menyandarkan punggung di dinding dekat pintu ruang persalinan itu membuatku lupa bernapas. Meski sudah lama tak melihat wajah itu, aku masih bisa mengenalinya. Namun ... kenapa dia di sini? Apa aku sedang bermimpi?

Hoksina gwaenchantamyeon

Jamkkan sigan doelkka

Mannal su isseulkka

Byeorireun anigo geunyang  bogo sipeo geurae

Utji malgo daeda~

Suara itu membuatku terperanjat. Dengan tergesa, kukeluarkan ponsel dari dalam tas secepatnya. Volume yang nyaring membuatku gelagapan untuk menjawab telepon itu. Astaga, bodoh sekali aku!

"Assalamu'alaikum."

Mendengar suara Ibu di seberang sana, aku menghela napas lega. Sambil mengusap dahi, aku memandangi sekeliling. Pio menatapku sambil meringis. Om Bram menggelengkan kepala, sementara orang yang masih bersandar di dinding itu ... lupakan. Aku tidak lihat apa-apa!

"Wa-wa'alaikumsalam, Bu," jawabku, agak terbata.

"Sudah sama Om?"

"Udah, Bu. Bentar." Aku menoleh ke arah Om Bram. "Ibu, Om."

Om Bram mengulurkan tangan, dan ponselku langsung berpindah ke tangannya. Dia menempelkan benda itu di telinga, lalu bangkit. Sepertinya Om Bram butuh tempat untuk berbicara privasi dengan Ibu. Adanya Pio di sini kemungkinan agak membuatnya kurang leluasa.

Namun baru berjalan tiga langkah, Om Bram menoleh ke arah orang tadi. "Gha, ini Naura." Kemudian menatapku. "Kak, ini Bhaga, sepupu tante kamu."

Om Bram berlalu begitu saja seolah-olah perkataannya tadi bukan masalah besar. Sementara aku terkesiap, nyaris seperti kejatuhan bom. Astaga, ini harusnya hanya mimpi, kan? Sepupu Tante Mila? Apa-apaan!

***

Magelang, 21 Juli 2023

Favorite Person (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang