15: Rahasia Dalam Sebangun Toko Antik Tua

10 3 5
                                    

Begitu saja, hari menjadi lebih cepat bergulir. Entah mengapa, Gerhana merasa ini takperlu di saat-saat terakhir ia mesti berangkat. Di depan cermin lemari, ia masih memandangi wajah sendiri sambil memikirkan langkahnya ini. Gerhana merasa tak seharusnya membuat janji dengan Rahi—siapa pun yang ingin dirinya libatkan. Namun, gadis itu pasti menunggu di gang ujung jalan. Azan Asar telah lewat setengah jam lalu.

Oke, enggak masalah. Abis ini jangan lagi.

Gerhana membetuli kerah kemeja kotak-kotak birunya sebagai luaran kaus hitam polos. Mengacak rambut sekali, bergegas, lalu menutup pintu dan memutar kunci beberapa kali hingga timbul bunyi ‘klik’. Sebelum benar-benar keluar pagar setelah mengambil sepeda, ia meraba saku samping celana jins biru tuanya. Mengesah lega saat merasakan lipatan kertas tersimpan cukup dalam di sana. Sekali naik, Gerhana mulai menjauh dari rumah.

Selama perjalanan yang akan memakan waktu sekitar seperempat jam, ia tak berhenti membayangkan bagaimana semestinya memulai percakapan dengan nyaman, singkat; hingga pada pembahasan inti yang akan ia ajukan nanti. Karena bagaimanapun, Gerhana merasa mustahil bila harus lebih lama berbasa-basi. Hanya, seseorang ini adalah orang asing, dan bisa saja bahkan menolak untuk menjawab sesuatu yang sangat ingin Gerhana ketahui. Tidak. Dirinya belum mencoba. Ini bukan apa-apa selain sekadar pemikiran buruk atau hanya sebuah bayangan demi mengantisipasi seperti apakah dirinya akan bersikap nanti.

Dari jarak lima meter, Gerhana melihat Rahi duduk tenang di sepeda kuning cerah. Sama sekali tak merasai bahwa ada seseorang yang baru saja berhenti di sisi sepedanya. Karena itu, Gerhana tak memiliki pilihan selain harus menepuk setir sepeda Rahi hingga membuat si gadis berkepang terlonjak.

"Ya ampun! Aku enggak nyadar kalau kamu udah dateng!"

Gerhana hanya mengulas senyum tipis, lalu berujar, "Ayo berangkat", dan nyaris lebih dulu mengayuh andai saja suara Rahi tak menghentikannya.

"Kamu udah tahu tempat persisnya, ya?"

Alis Gerhana mengerut, takcukup ramah ketika ia menatap mata kelam Rahi yang berbinar, tetapi taklama sebelum gadis itu tahu-tahu berpaling cepat ke arah lain sambil tertawa.

"Di utara pasar, kan? Kios tua sebelah toko roti?"

Jawaban itu mendapat sambutan gelak tawa lebih nyaring, yang mau takmau membuat Gerhana bingung dan tersinggung. Memangnya apa?

Rahi, yang selanjutnya berhenti tergelak saat ditatap sengit, akhirnya mengayuh maju sepeda di depan Gerhana. "Enggak, enggak. Aku yang di depan."

Gerhana mengangkat bahu, enggan berkomentar. Terserah. Kemudian mengekori Rahi dengan batas jarak kayuhan satu meter.

Dibanding jalur yang Gerhana bayangkan untuk menuju toko antik, si gadis berkepang justru menuntunnya ke jalan yang sama sekali berbeda dan asing. Alih-alih lurus hingga menikung ke kiri di pertigaan, mereka berbelok ke jalan batako sempit sebuah perumahan, terus mengayuh hingga tiba di jalan setapak penuh bebatuan. Sisi kanan-kiri mereka dipenuhi alang dan putri malu yang saling membelit.

Gerhana, yang selama perjalanan hanya diam mengikuti, sekarang berteriak protes sementara setir ia arahkan hati-hati demi ban sepedanya tak akan menginjak batu-batu menonjol yang bisa membuat kayuhan terguncang.

"Rahi, kamu seriusan? Lewat jalan ini?"

Meski Gerhana terpaksa harus mengeluarkan suara yang susah payah dirinya tahan di tenggorokan, teriakan itu sama sekali tak Rahi tanggapi. Berbanding terbalik, si gadis berkepang justru sedikit mempercepat kayuhan tanpa sedikit saja melirik wajah tertekuk orang di belakangnya yang telah memerah padam.

Sebersit sesal muncul, hingga kemudian Gerhana diam-diam mengutuk keputusan konyol ini beberapa saat yang lalu. Akan lebih baik jika tinggal di rumah, sementara ia akan berusaha mengumpulkan keberanian untuk hanya seorang diri menemui si pemilik toko barang antik. Memang taktahu kapan pasti, tetapi itu jelas akan dirinya lakukan sesegera mungkin.

𝐌𝐄𝐑𝐏𝐀𝐓𝐈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang