Menjemput Rapor

29 6 11
                                    

[Pokoknya, jangan lupa pakai peci. Bajunya juga baju muslim, jangan pakai baju yang bikin Uda jadi terlihat sok ganteng. Yang terpenting lagi, jangan lupa pakai masker. Uda ke sini mau ambil rapor, bukan tebar pesona]

Khairul tertawa membaca pesan yang dikirimkan sang adik. Ia yang baru saja terbangun dari tidurnya, langsung kehilangan rasa kantuk. Padahal, Khairul baru saja tidur tiga jam, karena ia baru sampai di rumah pukul empat subuh. Sehingga setelah salat Subuh, ia memilih tidur kembali.

Pekerjaannya sebagai model di salah satu agensi di kota kelahirannya, sering menyita waktu istirahatnya. Apalagi akhir-akhir ini Khairul juga banyak mendapatkan pekerjaan untuk pemotretan dan bintang iklan dari beberapa produk yang cukup ternama. Meskipun lelah, tetapi semua ia lakukan demi bisa  memberi kehidupan dan pendidikan yang layak untuk Sumayyah, adik satu-satunya yang ia miliki.

Lelaki berpostur nyaris sempurna dengan raut wajah tampan itu, bangkit. Ia mengambil handuk dan langsung menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Khairul diminta hadir untuk menerima rapor kenaikan kelas Sumayyah, sang adik. Ia tidak mau telat dan mendapat ceramah panjang dari gadis tersebut.

***

Secangkir kopi susu dan dua buah roti isian keju, menjadi teman sarapan Khairul pagi itu.

"Pasti mau ke sekolahnya Umay," tebak Tek Tina, perempuan yang digaji Khairul untuk membantu mengurus rumah dan juga menemani Sumayyah jika Khairul tidak ada. Wanita berusia lima puluh tahun itu sudah lama ikut mereka. Bahkan sebelum ibu mereka meninggal. Kebetulan, Tek Tina merupakan saudara jauh dari almarhumah.

"Etek tahu saja," sahut Khairul, lalu tertawa kecil. "Kalau tidak dituruti, bisa runyam masalahnya ini, Tek."

Tek Tina tersenyum. Ia duduk di kursi yang berseberangan dengan Khairul. "Iya, bisa-bisa seharian cuma ceramahnya yang kita dengar. Eh, Etek lupa, itu ada lontong sayur sebungkus lagi. Tadi, Etek beli dua waktu Umay minta tolong belikan. Kamu mau?"

Khairul menggeleng. "Nggak usah, Tek. Ini saja sudah cukup. Aku takut telat ke sekolahnya," tolak Khairul sopan. "Etek saja yang makan, ya?"

"Yaaa, terserah kamu saja kalau begitu. Oh, iya, hampir saja Etek lupa. Semalam Angku Datuak menelepon, dia menanyakanmu."

Khairul menghabiskan kopinya yang tinggal sepertiga. Lalu menyeka mulut dengan selembar tisu. "Ada apa beliau menelepon, Tek? Apa ada masalah keluarga lagi yang perlu dimusyawarahkan? Mumpung aku libur beberapa hari ini."

Tek Tina menggeleng. "Bukan."

"Terus?" Khairul membetulkan letak pecinya.

"Angku cuma bertanya, apa kamu sudah punya calon atau belum."

"Ah, selalu saja itu yang ditanyakan Angku." Khairul menggeleng-geleng.

"Maksud Angku itu, kalau kamu belum punya calon, Angku Datuak mau menjodohkanmu dengan ...." Tek Tina menjeda kalimatnya seolah-olah ragu untuk menyebutkan sebuah nama. "Kamila," lanjutnya.

Mendengar nama itu, Khairul menghela napas dan mengembusnya kembali. "Tak gentar rupanya beliau menjodohkanku dengan putrinya, ya, Tek? Padahal, sudah pernah kukatakan, kalau aku belum ada niat untuk menikah dalam waktu dekat. Seandainya menikah pun, aku ingin mencari perempuan yang bukan ada hubungan kekerabatan."

"Itu juga kalau kamu mau, Rul," tampik Tek Tina. "Kamila gadis yang baik. Kamu juga nggak akan rugi jika memperistri dia."

"Ah, sudahlah, Tek! Aku mau berangkat dulu. Nanti benar-benar telat," pungkas Khairul mengakhiri. Ia pun bangkit dari duduk dan bergegas meninggalkan ruang makan.

Tek Tina hanya bisa menggeleng-geleng. Entah kapan Khairul mau membuka hati untuk berumah tangga. Padahal dinilai dari segi mana pun, ia sudah pantas untuk itu.

***

Khairul memarkirkan motornya di parkiran sekolah Sumayyah, yang terletak di sisi barat gedung Madrasah Aliyah Negeri tersebut. Dari kejauhan, Sumayyah yang sudah melihat kedatangannya, berlari kecil mendekati Khairul.

"Uda, lama banget, sih?" omelnya bersungut-sungut.

Khairul yang telah terbiasa menghadapi sikap sang Adik, hanya tersenyum di balik masker hitam yang ia kenakan. "Emang acaranya sudah selesai? Belum, kan?"

Sumayyah tak menjawab. Ia malah sibuk memperhatikan siswi-siswi yang lalu lalang sambil mencuri pandang ke arah Khairul. Tak hanya siswi, bahkan beberapa guru muda dan orang tua murid juga melakukan hal yang sama. Sebab, aura wajah tampan yang dimiliki Khairul, tidak bisa disembunyikan meskipun sudah mengenakan masker.

"Kelasmu di mana?" tanya Khairul setelah menaruh helem dan berdiri di sisi Sumayyah.

Bukannya menjawab, Sumayyah malah menarik begitu saja tangan Khairul, menyeret lelaki itu menuju kelasnya. Entah mengapa, ia tidak suka jika orang-orang memperhatikan udanya sedemikian rupa.

Di sekolah, tak seorang pun yang tahu, bahwa ia memiliki kakak seorang model. Kalau teman-temannya sempat tahu satu orang saja, habislah ia. Sudah bisa dibayangkan keribetan hidup yang akan ia hadapi.

Bagaimana tidak? Khairul memiliki ketampanan yang tidak bisa dipungkiri oleh siapa pun. Sudah pasti banyak yang akan menjadikannya idola. Apalagi sekelas remaja seusia teman-teman Sumayyah. Meskipun mereka sekolah di sekolah berbasis agama, tetap saja kebanyakan dari mereka masih suka mengidolakan seseorang secara berlebihan dan seperti memuja-mujanya. Sumayyah tidak mau jika Khairul dijadikan seperti itu.

Sumayyah telah sampai di depan kelasnya dan langsung mengajak Khairul masuk. Kebetulan, sedang mengantre yang mengambil rapor bersama orang tuanya. Mereka terpaksa duduk dulu untuk menunggu.

"Itu wali kelas kamu, May?" bisik Khairul, menatap pada guru muda yang sedang sibuk berbicara dengan seorang wali murid deli depan sana.

"Iya. Dia wali kelasku yang baru. Sekaligus guru Fiqih di sini," sahut Sumayyah menjelaskan.

"Cantik, ya?" puji Khairul, dengan maksud menggoda adiknya.

Khairul mengaduh tertahan, saat siku Sumayyah mendarat tepat di pinggangnya. Lelaki berpeci putih itu meringis, kemudian tertawa pelan karena merasa lucu melihat wajah cemberut Sumayyah.

"Iya, deh, iya. Sumayyah Uda yang paling cantik," imbuhnya sembari mengusap puncak kepala sang adik yang tertutup jilbab putih.

Sumayyah memanyunkan bibirnya. Ia bukan cemburu, tetapi hanya tidak suka jika Khairul bersikap genit seperti itu. Walau sesungguhnya sikap Khairul tidaklah berlebihan.

Sebagai pria normal, matanya tidak salah menilai. Reda, perempuan yang memiliki suara tegas itu memang cantik dan anggun. Bahkan Khairul sempat terpana saat melihat lesung pipi Reda saat tersenyum.

"¹Ghadhul bashar, Uda!" sentak Sumayyah, ketika menyadari sang kakak menatap Reda tanpa kedip.

***

Foot note :
Etek/Tek : panggilan untuk tante di Minang
¹ghadhul bashar : menundukkan/menjaga pandangan


Segenap Cinta untuk SumayyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang