prolog 1 & 2

65 5 1
                                    

pernikahan dan istri. Dua kata yang nyatanya tidak sedikitpun mampir di benak saya. Persoalan cinta pun, saya tidak khatam sama sekali. Saya rasa, masa muda akan sia-sia jika hanya sekedar mencari yang namanya cinta. Menelaah  yang disebut pernikahan. Dan mempelajari bagaimana rasanya menjadi seorang istri.

Umur saya baru sembilan belas tahun. Cita-cita masih tinggi, setinggi satelit bumi yang bernama bulan. Masa muda juga sedang menyala-nyala secerah sapuan cahaya di lapisan ionosfer. Bahkan, wujud dunia luar yang dikatakan orang berwarna-warni, belum terteguk karena terkekang aturan jeruji berkedok rumah.

Namun...
Ditengah kumandang azan, Allah membalikkan hati saya mengembalikan fitrah saya sebagai wanita yang dilahirkan kemuka bumi,  apalagi kalau bukan menjadi istri dan seorang Ibu.

Harfiahnya, pernikahan adalah penyatuan dua mahkluk  bernama laki-laki dan perempuan. Sesuai takdir-Nya. Sesuai jodoh yang ditulis dalam buku rahasia dan hanya Allah yang tahu susunannya.

Seperti kata Abi, jodoh itu cerminan diri. Jika saya baik, jodoh yang singgah juga baik. Jika saya tidak baik, jodoh yang berlabuh juga tidak baik.
Saya memang tidak setegas Safiyyah bin Abdul Muthalib, bibi Nabi. Saya pasti tidak setabah Ummu Sulaim istri dari Abu Thalhah.
Barangkali saya juga bukanlah perempuan setia layaknya Khodijah bin Khuwailid, tapi saya berusaha menjadi makmum yang baik baginya. Bagi laki-laki yang sudah mengajarkan makna cinta sesungguhnya. Yang telah mengajarkan bahwasanya mencintai seseorang tidak hanya menerima baiknya saja.
      
Layaknya Nabi Zakaria yang setia pada sang istri meski bertahun-tahun belum dikaruniai buah hati. Meneladani sikap baginda Rasulullah yang menerima pinangan Sayidina Ali untuk putri tercintanya Fatimah, walau Sayidina Ali bukan pemuda yang kaya; harta yang Sayidina Ali miliki hanyalah satu set baju zirah ditambah tepung kasar untuk makan.
      
Saya bukan perempuan istimewa, hanya putri Abi dan ummi yang masih suka menyusahkan mereka. Dan terus merengek ketika apa yang saya inginkan tidak dituruti.
      
Namun, bersamanya saya belajar menjadi perempuan yang bisa diandalkan. Berupaya menjadi perempuan yang mampu menjaga kehormatannya dan ingin diingat sebagai perempuan yang senantiasa melampiahinya dengan cinta.
Karena saya adalah istri yang dituntun nya untuk meraih Jannah, bersama.

____________________________________

*****

(Hidup ibarat kertas kosong yang harus kita tulis sampai penuh )

Saya sedang bertanya pada Ummi, "Ummi, kenapa mau menikah dengan Abi? Apa Ummi nggak bosen lihat Abi yang cuek luar biasa?"

Nyatanya jawaban Ummi di luar dugaan.
" Abi itu suami yang romantis."

"Dari mananya ?"

"Nikah dulu, baru tahu."

Sekian. Dan Ummi memilih meninggalkan saya, berkutat dengan segala jenis senjata andalan. Apalagi kalau bukan wajan, penggorengan berserta peralatan dapur dan bahan makanan yang lainnya.

Menikah? Untuk apa menikah jika akhirnya bernasib sama seperti Lilis. Saudara Ummi, yang dengan bangganya mendorong suami ke garis depan agar terlabel sebagai imam idaman. Nyatanya, kisah imam yang di damba-dambakan harus berakhir di ketok palu perceraian.
Itu belum seberapa. Melihat Titi, tetangga sebelah yang ditinggal semuanya kawin lagi saat hamil muda. Dia harus banting tulang untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Lebih tragis lagi. Wiwin teman satu kelas, impiannya berkerja sebagai admin kantor, pupus karena hamil di luar nikah. Nahasnya dia harus puas menjadi istri kedua.

Ah, rasanya semua referensi yang saya punya berkenan dengan pernikahan tidak ada yang bagus. Wajar saja jika saya sedikit menepi dari pembahasan mengenai hal itu.
Padahal, kisah cinta Abi dan Ummi patut dijadikan contoh.Abi orangnya cuek minta ampun dan pendiam luar biasa, tapi Abi tidak pernah sekalipun. Marah pada Ummi, apalagi main tangan.
Namun, lagi-lagi itu tak cukup  untuk menyentil hati saya agar merengek minta dinikahkan. Tidak! Saya tidak akan berakhir seperti kebanyakan anak gadis di Desa ini. Berhaha-hihi di atas pelaminan, ketika terlibat cekcok dengan suami, langsung minggat ke rumah orang tua. Mengadukan jika sang suami sudah tak sayang lagi.

Aku TakdirnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang