Bab 7. Hujan pertama di bulan Juli

18 1 2
                                    

(Bila mana keputusan saya membuatmu terluka. Anggap saja saya perempuan tidak baik. Maka rasa sakitmu akan menguap seketika.)

***

Barangkali langit sudah bolong. Ukurannya selebar segara. Tirta itu pun ambrol tanpa tanggung-tanggung. Membasahi pohon, menimpa jalan serta atap-atap bangunan berdebu. Bau tanah mengambil haknya, merasuki Indra pencium para anak adam. Khas yang nyaris dirindukan.

Hampir sepertiga hari hujan itu memuaskan dahaga bumi. Ketika curahnya berkurang, bianglala mengintip malu-malu. Tubuhnya beraneka warna. Melengkung dari Barat ke Timur. Memamerkan keelokannya yang hakiki.

Hujan pertama di bulan juli. Ketika musim hujan, banyak orang yang berkeluh-kesah karena aktivitasnya terhambat. Namun, tidak bagi saya yang seorang 'Pluviophile'. Kedatangan hujan saya sambut dengan gembira. Hujan penetral kegundahan hati. Hujan pembangkit semangat diri.

Saya menengadahkan kepala, membuka telapak tangan lebar-lebar. Membiarkan air mata dari tangisan awan itu membasuh kulit.

Kursi-kursi kayu polos tanpa cat berjajar rapi di sepanjang taman Rumah Sakit. Walau tak terlapisi cairan apapun, kursi itu tak akan mudah lapuk karena terlindung atap fiber. Atap yang sama, yang menaungi tubuh saya. Harusnya dengan kehadiran hujan saya bisa tenang. Sepertinya, untuk kali ini hujan tak punya daya magisnya. Buktinya, pikiran saya masih saja dipusingkan dengan keputusan itu. Benar atu tidak keputusan saya membatalkan khitbah, kenyataannya banyak orang yang menanyakan. Abi, Ummi, Mas Reza, Ibunya Salma, dan sekarang Salma.

Perempuan itu menemani saya. Duduk di samping saya. Memeluk notes yang sengaja saya pesan untuk dibawakan dari rumah. Tatapannya iba, terbalut rasa bersalah. Sudah puluhan, bahkan ratusan kali kata maaf meluncur dari mulutnya. Salma turut andil dalam kecelakaan tempo disaat dia baik-baik saja, kenapa saya harus terluka parah? Setidaknya, itu yang bisa saya tangkap dari ucapannya setiap kali kami mengobrol.

"Jangan melihat saya seperti itu" pinta saya, tanpa melihat ke arahnya.

Salma terisak pelan, "Maafkan saya, Aisyah. Coba saya tidak meminta mu mengebut."

Saya menoleh kepadanya, mengembangkan senyum terbaik yang saya punya.

"Allah mencintai orang-orang yang sabar (Qs.Ali Imron: 146)  Saya  berusaha ikhlas, Salma. Saya berharap kamu juga dapat membantu saya. Ini semua sudah kehendak Allah SWT."

Salma mangut. Mengusap ingusnya. Masih dengan terisak, ia menyuarakan tujuan awalnya menemui saya, "Ini buku yang kamu minta. Amplopnya ada di dalam situ juga. Perlu saya bantu?" Sembari menyodok notes tersebut.

"Tangan saya nggak lumpuh dua-duanya, Salman. Saya masih bisa menulis." tangan kanan saya teracung rendah, "Tangan yang ini baik-baik saja."

"Kamu yakin, Syah? Yakin membatalkan rencana pernikahanmu?"

"Pak Rifqi bisa mendapatkan perempuan yang lebih baik dari saya. Beliau pantas mendapatkan istri yang sehat. Pokoknya saya nggak siap menikah. Hati saya teramat ragu. Lagi pula, dari awal saya memang setengah hati menerima perjodohan ini. Anggap saja saya dan Pak Rifqi nggak jodoh." Senyum yang saya paksa agak lebar.

Salma mendesah, "Semua sudah keputusanmu, saya nggak bisa maksa."

Saya manggut-manggut.

"Salma... bisa tinggalkan saya sebentar? Saya malu kalau kamu lihat saya menangis."

Salma mengiyakan, lantas beranjak dari tempat duduknya dan pergi.

Saya memindahkan manik mata. Meletakkan notes ke kursi dan mulai menorehkan tinta hitam di atas secarik kertas yang kosong. Saya harus sanggup. Kemantapan hati ini saya butuhkan sekarang. Kalimat Bismilah yang terucap pelan, saya mulai membait surat itu.

Aku TakdirnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang