Bab 9 Kota Surabaya

10 0 0
                                    

"Kata orang, cinta pertama itu tak lekang oleh waktu"

•••••

pagi merekah di pinggiran kota. Desa Medowo mulai sibuk dengan ternak perahnya. Embun berkuasa, menyebarkan kesegarannya. Membasahi segala sesuatu yang terlalui. Desa kami berada di puncak gunung. Melangkah melewati pintu, pandangan pohon-pohon pinus menjulang tinggi, langsung menyegarkan mata.

Saya menyikap gorden jendela, setelah itu membuka pintu. Melangkah keluar, lalu duduk di tepian teras sembari menarik nafas dalam-dalam. Hak paru-paru saya untuk dapat menikmati udara bersih nan menyegarkan. Cukup dingin memang, tapi dinginnya pagi inilah yang menemani para tetangga memikul milk can ke koperasi. Pemandangan biasa yang selalu dijumpai kala dini hari.

"Pagi, Aisyah?"

"Pagi, Bude."

Perempuan paruh baya itu menyempatkan untuk berhenti. Pikulannya diletakkan ke tanah. Senyumnya melengkung sederhana, sesuai dengan parasnya yang bersahaja.

"Kata Ummimu, kamu mau kuliah ke Surabaya, ya?"

"Iya Bude, Insyaallah lusa saya berangkat."

"Apa nggak susah, dengan keadaanmu sekarang?"

Ah, sudah satu bulan berlalu. Tetap saja orang-orang belum terbiasa dengan keadaan saya. Raut wajah iba itu lagi yang mesti saya lihat terus menerus.

"Saya nggak apa-apa Bude, do'akan saja saya bisa hidup mandiri di sana." seutas senyum saya kembangkan.

"Yang hati-hati, Aisyah. Kehidupan kota itu keras. Orang-orangnya suka pilih-pilih."

"Insya Allah, Bude."

Kemudian, perempuan paruh baya itu pergi. Saya terus memandanginya hingga tertelan pintu koprasi susu yang letaknya tepat di depan rumah.

Benar sekali, saya akan kuliah ke Surabaya. Tak urung saya terkejut juga dengan keputusan Abi beberapa hari lalu. Padahal, keinginan kuliah sudah saya pupus'kan. Benar-benar susah dipercaya. Abi terang-terangan memberikan lampu hijau. Malahan sudah menitipkan saya dan Salma pada salah satu rekannya yang memiliki usaha kos-kosan di belakang kampus. Setidaknya, dengan kuliah saya bisa sibuk dan tidak kepikiran dia lagi.

Rifqi, nama itu begitu susahnya saya lupakan. Kata orang, cinta pertama itu tak lekang oleh waktu.  Saya rasa itu benar. Atau kepribadiannya yang sangat menarik perhatian, berhasil membawa pula hati saya. Pergi dan tak kunjung kembali lagi.

Bagaimana keadaan dia sekarang? Saya sendiripun tak tahu. Rifqi bagai hilang ditelan bumi. Tak ada kabar sama sekali. Nomor ponselnya tak aktif lagi. Bahkan saat Abi ke betulan pergi ke Surabaya dan mencoba lewat di depan rumahnya, plang kayu besar, bertuliskan "Rumah dijual" tergantung di pagarnya.
Keberadaan Rifqi di keluarga kami bagaikan memori saja. Seperti dia tak pernah singgasana di kehidupan kami sebelumnya. Semua lupa akannya, tapi saya tidak. Kenyataan itulah yang terus menyiksa. Kenyataan jika saya mencintainya terlalu dalam.

Sepertinya, Allah benar-benar tak mau membuat saya dan Rifqi bersua kembali. Syukurlah, setidaknya dengan begitu dia tidak tahu kondisi saya sekarang , bahkan sampai kapanpun jangan sampai tahu.

"Syah ...."

Saya menoleh seketika. Sapaan itu membuyarkan lamunan. Salma setengah berlari menghampiri saya, lantas duduk diantara saya dan tembok yang menyisakan celah sempit.

"Sudah packing?"

Saya mengangguk cepat.

"Saya nggak sabar nunggu lusa. Akhirnya kamu bisa bebas juga, Syah. Saya sampai gak nyangka Abi ngebolehin kamu kuliah di sana."

Aku TakdirnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang