prologue

714 59 8
                                    

tw // mention of death, blood, drowning, give up, hurt.

Kecamuk kata meronta payah dalam kepala, membuatnya seolah akan meledak tumpah ruah ke jalanan malam yang sunyi. Bahkan terlihat semakin janggal tatkala kicau burung terdengar di balik surai legam yang kusut pada pukul dua belas lewat tengah malam. Namun tak dihiraukan sebab mungkin ini satu dari cara agar ia dapat lancarkan rencana untuk menghilang.

Kepalanya berat menampung banyak hal. Tinggalkan gelap di garis bawah mata yang besar, sebagai tanda kalau dunia ini sudah terlalu bengis mempermainkannya.

Yang ia ingin sekarang hanya dinginnya air yang terhampar di hadapan. Meski dalam hati enggan, degup jantung yang hampir terdengar keluar tubuh jadi pertanda kalau sebetulnya hatinya diselimuti takut. Kembali pegangi kepalanya yang terasa pening. Denyutnya tak kalah cepat dengan yang ada dibalik dada. Tak bisa memusatkan diri pada satu tuju karena bising di dalam diri sungkan tuk pergi.

Dihirupnya udara malam dalam-dalam sampai penuhi relung di dadanya. Susul sentuh ombak cilik yang sedari awal sapa jemari kakinya penuh harap.

"Dingin."

"Akan sedingin apa di tengah sana saat sudah terbawa ombak," gumamnya dalam hati.

Jika dipetakan, kepalanya penuh alarm merah sarat akan penolakan. Melarang keras tubuh yang kini sudah mengambil langkah pertamanya untuk turuti ide tak masuk akal yang muncul sejak lama sekali. Ditemukan lagi pada bunga tidur beberapa hari yang lalu, hasilkan tuju mengerikan bagi sebagian orang. Memangnya mau tenggelam di lautan?

"Dingin sekali." Ucapnya tatkala berhasil sentuh ombak yang pecah di pelataran pantai tapi, tak ia hiraukan dan terus maju sampai air sentuh dadanya.

Bisa ia rasakan jantung yang berdegup kencang didominasi takut, sampai ia hentikan langkahnya yang ke tujuh. Kembali tarik nafasnya dalam-dalam untuk cari tenang dan keyakinan yang sebelumnya membuncah-membanjiri tiap langkahnya yang tergesa.

"Apa yang akan terjadi setelah ini?"

"Apakah akan sakit?"

"Bagaimana jika aku tetap sadar?"

Ia kira ini akan mudah. Semudah ia tutup matanya ketika pening melanda. Namun semua tak ada yang serupa.

Lalu ia berlari, berlari, berlari. Hingga tak ada lagi darat untuk ia tapaki. Yang ada hanya deru ombak dan desau angin. Sepi. Dingin. Tak ada siapa pun di sini. Setitik cahaya pun nihil, lahirkan rasa yang sering kali ganggu di sela kegiatan berarti; cemas. Akan apa pun yang mungkin saja terjadi. Tuhan bebas membuatnya merasa terhukum dan tersiksa karena mendahului waktu yang telah diberikan.

Kurang ajar, kalau kata sang papa.

Pada kenyataannya memang tak pernah ia diajari apapun apalagi diberitahu tentang bagaimana dunia ini bekerja. Yang ia tahu hanya bumi ini manis untuk ditinggali. Tak ada pahit dan sesak akibat keinginan yang tersendat atau mimpi yang harus ia siapkan kuburannya jauh-jauh hari barangkali ia tak bisa sampai seperti kata ibunda yang terhormat.

Ia menangis. Pedih hati mengingat semua yang ia lalui. Bertanya tegas apakah ia harus rela meninggalkan semuanya.

Lantas, sesaat sebelum kepanikan yang disebut-sebut reda dan merampas ke-nekat-annya, ia lepaskan nafas terakhirnya; sebagai persembahan kepada samudera yang maha-luas.

Bertemu pada hilang yang ia dambakan. Meski harus berteman dengan gelap, dingin yang tusuk diri, dan detak yang tak lagi bisa ia dengar.

༊*·˚

Dingin.

Yang bisa dirasakan hanya dinginnya air, terus menusuk sampai ke tulang. Pening kepalanya hampir pecah dan menghambur menjadi buih di laut yang (rupanya) gelap ini. Telinganya berdengung kencang, suaranya memekak mengalahkan cepat debar jantung yang ternyata sudah tak didengar sejak kaki mengejang laut lepas dengan mubah. Merah darah bertaburan warnai biru laut, lepas begitu saja dari bangir hidung yang sering dibanggakan.

Kemudian yang ia dengar hanyalah kesunyian. Ketika perlahan gemeletuk air mulai menghilang, ia temui ruang hampa. Ini tak menyenangkan seperti yang dibayangkan. Saat tubuh kaku itu masih mendaratkan kaki di atas tanah kering yang keras. Udara segar bisa dihirup banyak-banyak sampai penuh dasar relungnya. Masih bisa berlagak tak peduli pada bisingnya percakapan manusia maupun monolog dalam kepala sendiri.

Kini tak bisa lagi.

Ia buta.

tuli,

bisu;

bersamaan dengan itu ia semakin dihimpit gelap, sunyi, dan dingin.

Namun sedikitnya ia merasa lebih baik; gaduh di kepalanya tak lagi bersuara, dibungkam begitu saja oleh tenangnya air di balik ribut ombak yang menyalak kepada angkasa. Gamangnya hati akan apa yang harus ia lakukan seperti: untuk ini, itu, dan untuk-untuk yang lain, lebur jadi satu dengan arus.

Tak ada lagi bayang-bayang menakutkan tentang mimpi yang tak sampai, cinta yang bertepuk, rumah yang memuakkan, apa pun yang tak menyenangkan.

Meski begitu, satu cahaya kecil berpendar lemah dari dada kiri. Tanpa ia sadari. Tersisa satu harapan kecil namun kuat pertahanannya. Bahkan dinginnya air tak mampu tembus benteng bak baja di balik cahaya remang itu.

"I am blessed, yet cursed. As I am watching how cruel this world playing me. Therefore, when I am giving up my own to you, dear world; let the fate come to save me."

Sayup-sayup gemeletuk air kembali menyapa rungunya. Dingin masih rengkuh dirinya, begitu erat sampai sesak dadanya. Meski dengan begitu ia jadi tahu kalau detaknya kembali sapu tubuh yang sudah terbujur kaku. Suara-suara asing seperti nyanyian terdengar bergema di sekitar. Memang tak begitu keras, seolah itu datang dari jauh. Berkilometer jaraknya dari tubuh yang melayang tenggelam ke dasar.

"Apa aku mulai berhalusinasi? Atau aku sudah di tahap pertama kematian dan malaikat sedang menyapaku lewat nyanyian itu? Namun nyanyian itu terlalu indah untuk sambutan orang mati!"

Sampai tenang mengelus lembut wajahnya yang seharusnya mati rasa sejak deru nafasnya dibawa sang 'hilang'. Buat heran dengan apa yang sedang dan akan terjadi pada tubuh malang ini. Ke mana ia akan dibawa? Apa ini adalah hukuman karena mendahului catatan takdir yang malaikat pegang dari Tuhan?

Dengan sombong ia coba bernafas. Menarik dalam-dalam udara yang tak ubahnya air asin ke dalam paru-paru, membuangnya lewat hidung. Nihil saja tak terasa apa pun, tak terjadi apa pun sampai nyanyian yang disebut sebelumnya terdengar dekat di balik tubuhnya. Seolah itu menariknya semakin jatuh, ke dasar laut.

FATE [ ENHYPEN ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang