"I'm struggling and lose my strength. Feeling that nothing is left but pain, a dying heart."
-
tw // mentions of grave, cursing, die, blood, ghost, hurt.
Bayangan tentang masa lalu yang memilukan hatinya kembali dalam bentuk kilas balik hitam putih. Teriakan-teriakan menggema di sekitarnya, buat dadanya sesak dan ingin kembali terisak. Bagaimana dulu ia menghadapi hidupnya yang tak pernah sesuai angannya. Bagaimana ia selalu diteriaki tak berguna oleh dua orang yang melahirkannya. Bagaimana ia selalu dicap bodoh karena tak bisa terbang tinggi seperti anak-anak lainnya.
"Bangun! Jam lima pagi masih tidur! Kamu ini bangun selalu terlambat, mau jadi apa memangnya!? Benar-benar tidak bisa diharapkan!"
"Kamu nggak lolos lagi daftar pramugari? Itu semua gara-gara matamu yang minus. Udah dibilangin berkali-kali berhenti baca buku yang nggak penting, jadinya kayak gini kan! Memang nggak berguna!"
Ia menangis. Gadis itu tergugu di sudut hatinya yang paling gelap, penuh gundukan sarat kesia-siaan. Melongok batu nisan terdekat, tertulis di sana 'PRAMUGARI'. Gadis itu mengelusnya pelan, sambil membisikkan seribu maaf pada seonggok batu tak berdaya di hadapannya-kuburannya yang terakhir. Setelah itu, ia tak lagi pernah berharap akan apa yang mungkin saja dikabulkan Tuhan dalam semalam. Hidupnya lebih mirip hantu di siang bolong; melayang tak tentu arah. Terlalu patuh mengikuti arus yang menjulang tinggi, diciptakan dua orang kesayangannya. Sesekali tersengal karena arus air masuk melalui hidungnya, paling parah ia menelannya langsung dari mulutnya hasilkan mata merah karena tersedak.
Dan itu kembali terjadi padanya kini. Dengan keadaan yang jauh lebih mengenaskan. Sekujur tubuh basah kuyup, rambut lepek dan bibir pucat pasi. Tubuhnya sedingin es di kutub utara. Demikian yang terjadi, Tuhan masih menyayangi gadis itu. Perlahan-lahan jantungnya kembali berdetak lemah, memaksa oksigen untuk kembali basuh & pompa organ inti dari tubuh kakunya. Lalu ia terbatuk keras, mulut dan hidungnya loloskan air laut yang sebelumnya dibiarkan kuasai tubuh tak bersalahnya. Kepalanya pening bukan main, berdenyut cepat dan keras seolah otaknya sentuh tulang tengkorak. Kelopak mata yang mengatup segera terbuka. Menyipit berusaha terbiasa dengan cahaya-cahaya baru yang masuk ke netranya. Tubuh kaku itu bergerak ragu dari ujung kaki, jari-jari yang semula dingin mulai kembali rasakan semilir angin. Dua tangan sudah bergerak tak sabaran menopang tubuh yang masih lemas. Tentu saja ia lemas, bagaimana tidak? Entah sudah berapa lama gadis itu tenggelam di dalam laut yang gelap dengan terus menelan airnya. Sekujur tubuhnya seolah remuk, lunglai tak bertulang. Namun gadis itu tetap memaksa setidaknya duduk.
Kepalanya menoleh ke sana kemari dengan pelan. Terlampau pelan gerakannya serupa robot. Tangannya erat remas dada yang berdenyut ngilu. Bak disayat seribu pisau dan rembeskan berkilo darah. Lebih sakit dari yang ia bayangkan.
Kepala bulat kecil itu menunduk nikmati sakitnya, pasir yang tertindih tubuhnya berangsur mundur dibawa air sungai besar luas membentang di hadapannya.
Inikah sungai lethe? Aku sudah mati?
Sikap sombong dan sok beraninya masih saja menyelimuti. Dilihat dari bagaimana caranya serampangan menyentuh air sungai dan tubuhnya yang remuk terseok-seok berusaha meraih dinginnya sungai.
Mengapa aku masih mengingat orang tuaku?
Memang keras kepalanya tak bisa turut hilang begitu saja. Diminumnya air sungai yang datang ke hilir. Begitu tergesa-gesa, seolah ia ingin segera dihukum Tuhan, menyerahkan diri seperti tawanan yang kelelahan bertahan dari segala serangan. Dadanya semakin sakit diisi sembarang air. Bisa-bisa meledak kembali tak sadarkan diri jika terus dipaksakan seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
FATE [ ENHYPEN ]
Fantasyi guess god took seriously my pray about disappear, that's how i meeting my fate(s). start : 230905, 6:45pm WIB