"Ibu, maaf hari ini Ar merokok lagi,"
Dunia menjadi runyam sehabis napas ibu tidak lagi menghirup. Gundukan tanah yang mungkin hampir setiap minggu ia kunjungi, sedikit lelah menahan air mata Ghavi. Pasalnya, lekaki itu datang hanya untuk menangis dan melapor kesalahannya.
Matahari kian menepi ke ujung barat. Hampir dua jam ia terduduk di tanah sambil menunduk, Ghavi akhirnya menegakkan badannya dan mengambil bunga untuk di taburkan di atas makam ibunya.
"Ar pulang dulu ya, bu. Maaf kalau Ar jadi semakin buruk, jadi nakal, maafin, Ar," ucapnya penuh sesal. Kemudian Ghavi mengecup nisan ibunya lalu melangkah menjauh dari tempat itu.
---
Ceklek!
Suara pintu terbuka menampakkan Ghavi dengan wajah lelahnya. Seharian ini rasanya semesta begitu membencinya, sebab, baru membuka pintu sudah terpampang jelas amarah seorang paruh baya di depannya.
"Dari mana?"
"Yah, besok aja. Ar capek," jawab dengan nada lelah.
"Capek? Ayah juga capek setiap hari ada laporan dari guru kamu. Merokok? Bolos? Ayah nggak pernah ajarin kamu seperti berandalan, Ar. Kehilangan ibu kamu bukan alasan untuk jadi buruk, harusnya kamu tahu itu," ucap sang ayah dengan penuh penekanan.
"Ayah memang nggak pernah ajarin aku untuk jadi seburuk ini, tapi ayah juga nggak pernah ajarin aku agar terus baik. Karena, setelah pemakaman itu aku nggak cuma kehilangan ibu, ayah juga ikut hilang."
Sehabis mengatakan itu, Ghavi melenggang menuju kamarnya. Ia tidak peduli bagaimana respon ayahnya atas ucapannya itu, Ghavi hanya menyampaikan apa yang ia rasakan dua tahun terakhir ini.
Kehilangan tanpa aba-aba yang membawa segala bahagianya lenyap begitu saja membuat lelaki itu sering membolos dan merokok. Katanya, kepulan asap yang keluar dari mulutnya sehabis menghisap sebatang rokok itu membawa sesaknya ke udara lepas.
---
hlou semuanya... i'm back!
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumi Paling ujung
Teen FictionAku ribuan langkah bersama, Griz. Hanya Griz hari itu yang sepenuhnya menjadi utuhku. Tak lama semesta memberi perkenalan baru, derap-derap yang begitu ku hapal kini berganti menjadi langkah begitu asing. Dia, Langit. Lelaki dengan senyum seindah se...