Aneka hidangan mulai tersaji, satu persatu mulai mendatangi meja makan dengan binar yang sama, mungkin karena sudah lapar atau memang sangat terlihat menggiurkan.
Makan malam bersama adalah hal yang wajib dilakukan oleh keluarga Kezia. Bagi papa Kezia, makan malam itu bukan hanya tempat makan, tetapi tempat membagi solusi dari segala masalah hari ini. Namun, Kezia begitu benci makan malam di rumah.
"Pa, minggu depan Zia mau lomba, tapi ada pembayaran administrasi---"
Belum selesai berbicara omongan gadis itu sudah lebih dulu di rebut papanya, "menulis hal tidak penting lagi? Menampilkan sesuatu yang tidak berguna yang kamu bilang karya?"
"Harusnya papa dukung aku, aku punya bakat," balas Kezia menahan emosi.
"Bakat? Kamu harusnya mengejar prestasimu di sekolah, Kezia. Belajar dengan benar, contoh kakakmu. Papa nggak suka kamu membuang-buang waktu lalu menjadi orang bodoh dan tidak berguna," ucap papanya tambah menyinggung.
Ini yang Kezia benci dari makan makan beserta percakapannya. Karena, dia tidak hanya menelan nasi beserta lauk, tapi, juga menelan segala kerumitan yang bertambah berantakan.
Tidak ingin melampiaskan marahnya di sini, Kezia berlalu tanpa mempedulikan makanannya yang baru ia makan setengah. Persetan dengan panggilan mamanya yang menyuruhnya kembali, ia tetap mengayunkan langkahnya menuju luar rumah. Kezia mengambil sepedanya lalu mengayuhnya ke pantai.
Memang perumahan tempat ia tinggal sangat dengan pantai, hanya butuh waktu kurang lebih 7 menit ke sana. Dan, mungkin menurut orang lain pantai menyeramkan saat malam hari apa lagi gelap. Tapi bagi Kezia, pantai jauh lebih tenang saat sunyi juga gelap. Ia merasa di temani.
Kezia duduk lesehan di pasir. Mata coklat gelap itu kian mengabur, tetes-tetes air mengalir di pipinya. Ia mengadu kepada tuhan agar membawa sedihnya pada ombak yang bergulung hingga samudra lain.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumi Paling ujung
Teen FictionAku ribuan langkah bersama, Griz. Hanya Griz hari itu yang sepenuhnya menjadi utuhku. Tak lama semesta memberi perkenalan baru, derap-derap yang begitu ku hapal kini berganti menjadi langkah begitu asing. Dia, Langit. Lelaki dengan senyum seindah se...