Keluarga Catra dari pihak sang ayah didominasi orang-orang yang lulus dari jurusan pendidikan dan berkecimpung di bidang pendidikan pula. Tak sedikit dari mereka memilih dosen sebagai pekerjaan pokok. Beberapa saudara juga membuka tempat les dengan tarif lumayan. Oleh karena itu, Catra juga ditempa untuk menjadi seorang pendidik. Selain untuk mengikuti jejak keluarga, Hadyan memaksa Catra untuk masuk ke bidang yang ia tekuni sejak lama karena sudah terlalu sering membanggakan Catra di hadapan rekan-rekan kerjanya.
Catra memang berprestasi di sekolah, sering ikut lomba dan tak jarang memenangkannya juga. Mengharumkan nama sekolah dan keluarga bukanlah hal yang sukar dilakukan kalau memiliki otak seencer Catra. Sayang sekali, Catra tidak pernah melakukan semua itu dengan sukarela.
Kehidupan SMA Catra rasanya sangat mencekik kalau diingat lagi. Menjelang ujian masuk perguruan tinggi, Catra bahkan sampai kesulitan untul membagi waktu antara makan, tidur, dan belajar. Hadyan memaksanya untuk belajar, belajar, belajar, selalu belajar. Tak peduli Catra harus menahan lapar serta kanduk, lalu berujung dilarikan ke IGD dalam keadaan setengah sadar. Itu tak seberapa karena setelah tumbang pun Hadyan malah marah-marah. Enggan menerima sakit sebagai alasan Catra untuk berhenti-beristirahat-sejenak dari kegiatan belajarnya.
Kalau nggak kuat, gue pasti udah mati dari dulu. Catra menyimpan kalimat itu dalam kepala dan dadanya. Sehingga setiap kalimat berisi penyemangat yang berniat menguatkan seperti tak berefek lagi. Catra sudah tahu kalau yang bisa ia lakukan hanya tetap kuat.
"Tra? Catra?" Suara itu membuyarkan seluruh isi kepala Catra. Catra sudah bangun, tetapi enggan bangkit karena ia merasa tak bertenaga selepas pulang dengan perut lapar. Samar-samar Catra bisa mendengar suara langkah Hadyan masuk lebih dalam. Lalu guncangan yang cukup kencang mampir di tubuhnya. "Jam berapa ini? Jangan tidur terus! Mainan Nana di bawah belum kamu beresin. Makan malam juga belum dimasak. Papa ini capek habis pulang kerja, di rumah malah disambut kondisi rumah yang berantakan. Kamu, kan, hari ini cuma ada satu mata kuliah. Jangan malas-malasan juga di rumah!"
Sungguh, Catra ingin marah tiap kali sang ayah bersikap begini. Catra selalu dianggap pemalas hanya karena tidur sebentar. Selalu saja begini, padahal di rumah ada orang selain Catra yang bisa diperintah untuk membersihkan rumah atau memasak. Sara juga bisa memasak, kok. Walaupun masakan wanita itu kadang keasinan atau hambar. Ana juga seharusnya belajar memasak. Kalau Catra mati nanti bagaimana mereka akan hidup?
"Makannya beli di luar aja, ya, Pa? Bahan makanan di kulkas udah hampir habis, kalau dimasak sekarang nanti buat sarapan nggak ada lagi." Perlahan, Catra bangkit sambil mengumpulkan sisa-sisa nyawa yang masih mengawang.
"Kamu besok ada kelas pagi?"
"Enggak. Jam 11 baru ada kelas."
"Ya udah. Besok habis sarapan kamu belanja ke pasar, sekalian beli perlengkapan rumah yang lain. Ibu sibuk ngurusin Nana di rumah. Kamu bisa, kan?"
Catra mengangguk. Memang apa lagi yang bisa ia berikan sebagai jawaban selain persetujuan? Kalau ia menolak pun Hadyan pasti akan memaksa sampai Catra mengiakan. Lagi pula Catra sudah biasa hidup begini sejak empat tahun lalu. Hadyan yang kebal akan bantahan, Sara dengan segala tingkahnya yang selalu ingin diratukan, jangan lupakan Ana yang tak jauh berbesa dengan sang ibu. Nana masih kecil, jadi Catra tak akan protes. Sementara itu si sulung yang sibuk bekerja juga Catra maklumi karena tidak dapat menolong Catra dari pekerjaan rumah ini.
Setelah puas mendapat jawaban dari Catra, pria paruh baya itu segera beranjak. Kepentingan Hadyan dengan Catra memang hanya sebatas itu saja. Hadyan bahkan tak penasaran tentang apa yang terjadi pada Catra hari ini. Di mata Hadyan mungkin Catra tak lebih dari anak penurut dan gampang disuruh-suruh. Selain itu, Hadyan tak akan peduli.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Long Summer
Genel KurguSemua duka dan luka yang Catra terima sampai hari bak musim dingin yang berlangsung lebih dari satu dekade. Catra sendiri tak pernah tahu kapan musim dingin itu bermula dan dengan egoisnya mencoba untuk menjadi kekal. Untuk berharap bahwa musim pana...