Temaram lampu di kamar Catra berpadu dengan kesunyian. Pemuda itu baru saja membuka mata setelah tertidur selama beberapa jam. Hari ini ia terlalu memforsir diri sendiri hingga saat sampai di rumah ia lebih banyak tidur. Kepala Catra kemudian berotasi, menengok ke nakas. Di sana ada sebuah note yang tertempel pada gelas kaca. Juga ada obat-obatan milik Catra.
Kakak ada urusan mendadak, kayanya lembur jadi gak bisa nemanin kamu. Kalau kebangun pas malem, tidur lagi ya. Kasian badan kamu kalau diajak begadang. Okay? Sama sekalian, besok pagi minum obatnya. Udah Kakak taruh di nakas. Awas lupa!
Senyuman Catra terbentuk sempurna. Menghiasi wajahnya yang pucat tanpa rona. Gavin itu sangat perhatian atau lebih bisa dibilang sebagai satu-satunya orang yang perhatian pada Catra di rumah ini.
Catra lalu mengambil ponselnya di atas nakas. Sepi, tidak ada satupun notifikasi yang masuk. Well, tidak heran karena Catra bukanlah orang yang aktif bersosial media. Dan juga tidak memiliki teman. Kontak di ponselnya saja hanya dosen, keluarga, serta Savana. Tangan pemuda itu bergerak membuka roomchat-nya dengan Savana. Ia mengirimkan banyak pesan tidak ada yang dibalas oleh gadis itu.
Catra Madhava
Savana, udah tidur?Catra tetap mengirimi pesan meski sudah tahu kalau Savana tidak akan membalasnya. Entahlah, hanya dengan begiu Catra bisa mengatasi keinginannya untuk berbicara dengan Savana kala mereka tak bisa bertatap muka. Akhir-akhir ini Catra serng tidak masuk kuliah karena penyakitnya. Kemungkunan besar semester ini akan banyak mata kuliah yang tidak lulus dan harus diulang kembali. Helaan napas lelah lantas mengudara. Catra melirik jam dinding yang ada di kamarnya, jam itu menunjukkan pukul 22.35 WIB. Mungkin Savana memang sudah tidur. Namun, belum sempat Catra mengembalikan ponselnya ke tempat semula, benda itu begetar.
Drttt ... drttt ...
Savana Prastika is calling ...
Mata Catra lantas membola, kaget. Buru-buru ia menekan ikon berwarna hijau. Beberapa detik kemudian terdengarlah suara Savana.
"Halo, ini Catra, kan?" ujar gadis itu. terdengar begtiu lembut dan menghanyutkan."Iya, bener. Kenapa nelpon?" balas Catra kaku. Ini pertama kalinya ia ditelpon Savana setelah sekian lama, jangan ditanya bagaimana perasaannya. Tentu saja sangat senang!
"Lo bisa bantuin gue nggak?" tanyanya kemudian, terdengar keraguan menyertai pertanyaan barusan.
"Bantu apa, Sa?"
"Mobil gue mogok, gak tau kenapa. Deket perumahan tempat lo tinggal. Temen gue gak ada yang angkat telpon."
Dahi Catra berkerut. "Kamu sendirian?" Catra tampak khawatir. Well, ini sudah larut malam dan tidak aman bagi seorang gadis untuk berkeliaran.
"Iya."
"Oke aku ke sana. Diem aja di dalam mobil. Kalau ada orang asing jangan ditanggapin, ngerti?"
"Hmmm." Savana menggumam pelan. Tampak enggan berbicara lebih lama dengan Catra. "Cepetan, ya. Udah malem."
Sambungan telpon diputus sepihak, padahal Catra belum sempat berucap. Catra mengembuskan napas pelan. Keadaannya belum begitu baik, tetapi ia tidak mungkin mengabaikan Savana. Dan juga kesempatan seperti ini tidak datang dua kali. Ia tentu tidak bisa menyia-nyiakannya. Pemuda itu beranjak kemudian menuju lemari. Menggaet hoodie-nya yang digantung dan berjalan cepat menuruni tangga. Tak lupa menyambar kunci mobil sang ayah yang ditaruh di meja ruang keluarga.
Catra mengemudikan mobilnya di atas kecepatan rata-rata. Lalu lintas malam yang tak terlalu padat membuat Catra sampai di tempat yang Savana maksud. Dari kejauhan ia bisa melihat siluet mobil putih milik Savana. Ia juga bisa melihat ada seorang gadis manis yang duduk di jok kemudi. Setelah memarkirkan mobilnya di tepi jalan, Catra turun dan menghampiri Savana.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Long Summer
General FictionSemua duka dan luka yang Catra terima sampai hari bak musim dingin yang berlangsung lebih dari satu dekade. Catra sendiri tak pernah tahu kapan musim dingin itu bermula dan dengan egoisnya mencoba untuk menjadi kekal. Untuk berharap bahwa musim pana...