Hidup Catra banyak berubah sejak Hadyan menikah lagi dengan seorang janda anak satu. Selain memiliki saudara baru, di rumah juga jadi ada aturan-aturan baru. Ditambah ART yang tadinya bekerja di rumah mendadak diberhentikan dengan alasan Hadyan ingin menghemat pengeluaran. Sementara istri baru Hadyan tak pandai mengerjakan pekerjaan rumah dan hanya pandai memerintah. Makin parah saat wanita itu sudah memiliki anak dari rumah tangganya dengan Hadyan. Tiap hari ada saja yang dijadikan bahan omelan.
Wanita bernama Sara atau biasa Catra sapa dengan panggilan Ibu itu punya anak gadis yang umurnya tak jauh dari Catra. Namun, Sara sangat memanjakan Ana. Sara melarang Ana untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Selain karena tidak bisa, Ana juga ceroboh dan kerap kali memecahkan perabotan di rumah. Kerjanya lambat pula. Maka Sara hanya punya satu jalan: yaitu memerintah Catra. Bahkan tak segan untuk menggegerkan satu rumah jika Catra berani menolak.
Itulah alasan sekarang Catra berjongkok di depan mesin cuci sambil memejamkan mata. Ia baru selesai menunaikan salat Subuh dan harus mencuci baju orang rumah sebelum bersiap ke kampus. Tak peduli kalau harus sambil menahan kantuk.
"Dijemur sekalian, ya, Tra. Kemarin nggak langsung kamu jemur malah jadi bau itu. Ibu suka lupa kalau udah ke warung," ujar Sara yang entah sejak kapan sudah ada di sisi Catra. Warung yang dimaksud Sara adalah warung ayam penyet di depan gang. Warung itu dikelola oleh Sara sebagai tambahan untuk menghidupi rumah mereka.
Catra pun mengangguk. Lalu menguap lebar. "Ibu mau ke warung juga hari ini?"
"Iya. Kamu jagain Nana dulu bisa, nggak? Ribet kalau naik motor sambil bawa Nana."
"Catra ada kelas pagi, Bu. Nggak bisa."
Air muka Sara langsung berubah masam. Wanita itu berkacak pinggang. "Sebentar aja nggak bisa? Atau kamu bawa kuliah aja nggak pa-pa, deh. Daripada ikut Ibu. Dia tuh suka minta pulang kalau Ibu ajak ke warung. Bikin Ibu sumpek aja yang ada."
"Nggak bisa, dong, Bu. Mau dititipin ke mana kalau Catra lagi kelas?" balas Catra dengan pilihan kata sesopan mungkin.
Nana itu adik Catra yang paling kecil. Bocah perempuan tersebut baru berusia tiga tahun dan memang sering rewel kalau diajak ke luar rumah. Sara juga dasarnya tidak pintar mengasuh anak kecil, jadi lebih memilih meninggalkan Nana di rumah kalau ada keperluan di luar. Kalau sangat mendesak barulah mau membawa Nana. Kesabaran Sara bak tisu dibagi sepuluh kalau menghadapi tingkah Nana yang manja.
Merasa tak bisa mendapat apa yang dikehendakinya, Sara pun undur diri tanpa mengucap apa-apa. Lagi pula keinginan wanita itu aneh. Mana mungkin Catra bisa membawa adiknya ke kampus? Kalau pun mau, nanti ditaruh di mana? Kampus, kan, tempat belajar. Bukan penitipan anak.
"Cuciin sekalian, ya. Besok mau dipake," cetus seseorang yang mendadak datang membawa satu keranjang pakaian. Tanpa senyum ramah atau basa-basi, langsung menaruh keranjang penuh itu begitu saja.
Helaan napas panjang terdengar kemudian. Yang barusan itu Ana. Catra tak heran melihat kelakuan tak sopan gadis yang setahun lebih muda darinya itu. Dari awal mereka menjadi saudara juga sudah terlihat kalau Ana ini anak yang semaunya. Namun, Catra harus maklum karena Hadyan bilang bahwa dulu Ana serba kecukupan. Jadi, kalau agak manja dimaklumi saja. Pasti lama-lama nanti akan berubah seiring berjalannya waktu. Walaupun tak berubah juga sampai sekarang.
Catra tak bisa apa-apa selain menerima segalanya dengan lapang dada. Ia tak sempat menikmati masa jaya keluarga dan tinggal kebagian masa-masa sulit yang entah kapan akan berakhir. Harapan Catra hanya satu; bahunya dikuatkan, agar ia bisa menahan semua sampai akhir.
○○○
Wajah mahasiswa yang sedang bergerombol di lorong itu mendadak ditekuk sempurna ketika mendapat kabar bahwa dosen mereka tidak jadi masuk dan kelas dialihkan ke zoom meeting. Semenjak pandemi pembelajaran memang kadang tak semua dilaksanakan tatap muka. Beberapa dosen dengan kesibukan mengalahkan kepala negara memilih untuk melakukan zoom meeting atau memberi tugas lewat google classroom.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Long Summer
Ficção GeralSemua duka dan luka yang Catra terima sampai hari bak musim dingin yang berlangsung lebih dari satu dekade. Catra sendiri tak pernah tahu kapan musim dingin itu bermula dan dengan egoisnya mencoba untuk menjadi kekal. Untuk berharap bahwa musim pana...