Bab 02 Bertemu

575 211 12
                                    

Menangis.
Fariza merasa dia tidak sanggup meninggalkan rumah. Bahkan saat berpamitan dengan kedua orang tua dan Fariz dia memeluk semuanya dengan erat. Untung saja dia teringat kalau usianya sudah tidak anak-anak lagi. Sudah mau masuk bangku kuliah. Menjadi mahasiswi dan harus lebih mandiri. Maka dengan berat hati, dia berangkat ke Yogya.

Dia diterima di salah satu universitas di kota pelajar itu. Dimana kakaknya Faiz juga menetap di sana. Fariza belum membalas pesan Faiz sejak semalam. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Kakaknya yang satu itu sudah lama tidak pulang ke rumah ataupun berkirim pesan dengannya. Rasanya begitu canggung.

Tapi saat dia sampai di Yogya, Faiz ternyata sudah menunggunya di  bandara. Pria itu melambaikan tangan ke arah Fariza.

"Kenapa nggak balas pesan kakak semalam? Kalau Ariz nggak ngasih tahu kakak jam keberangkatan kamu, kakak sudah bingung."

Faiz mengatakan itu dengan lembut. Khas Faiz sejak dulu. Faiz memang kalem tapi sangat menyayangi Fariza. Sejak kecil dia selalu dibela Faiz kalau Fariz kakak keduanya mengganggunya. Tapi itu dulu, sejak kakak pertamanya itu keluar dari rumah, dia tidak mendapatkan perhatian itu lagi. Meskipun kakaknya itu masih memberinya hadiah tiap dia merayakan ultah, atau saat hari raya idul fitri, atau saat-saat dia naik kelas dan sebagainya.

"Udah tidur semalam."

Fariza menjawab dengan cepat. Sekarang, dia merasa kesal dengan kakaknya itu. Sekian lama tidak pernah berinteraksi dengannya dan sekarang seolah-olah dia masih adik kecil yang dulu.

"Ya udah, habis ini tidur lagi. Pasti masih ngantuk."

Faiz mendorong kopernya dan menggandeng tangan Fariza yang membuatnya terkejut. Dia berhenti melangkah.

"Kenapa?"

Faiz menoleh ke arahnya dan mengernyitkan kening. Pria dengan tinggi 180 cm itu tampak menjulang di atas Fariza. Dari dua kakaknya, Faiz memang paling tinggi dibanding Fariz. Sebenarnya Fariza juga bingung. Dia saja tingginya tidak lebih dari 160, kedua orang tua mereka juga tidak lebih tinggi dari Faiz. Kadang, dia berpikir postur tubuh Faiz begitu berbeda di keluarga mereka.

"Malu."
Fariza melepaskan genggaman tangan Faiz dan melangkah mendahului kakaknya. Dia sudah dewasa, tidak mau lagi digandeng ataupun dirangkul seperti saat kecil dulu. Fariz saja pasti terkena amukannya kalau kakak keduanya itu menggoda dengan mencium atau merangkulnya.

Faiz hanya tersenyum kecil tapi tidak mendebatnya. Hanya mengarahkan Fariza untuk mengikuti langkahnya.

****

"Ini kamar kamu."

Faiz membuka pintu kamar berwarna merah muda itu. Mereka sudah sampai di rumah Faiz yang minimalis itu. Hanya ada dua kamar dan salah satunya kamar yang akan ditempati Fariza.

"Tapi Kak, bukannya rumah ini jauh dari kampus?"

Fariza memang sudah diajak ke kampusnya tadi dan menurutnya jaraknya lumayan jauh dari rumah Faiz.
Sang kakak menganggukkan kepala lalu masuk ke dalam kamar dan meletakkan koper Fariza di dekat tempat tidur dengan seprai warna pink bergambar hello kitty itu.
Fariza mengernyitkan kening lagi, dulu dia memang suka sekali dengan hello kitty dan warna pink. Tapi itu dulu, menginjak SMA dia sudah tidak menyukai keduanya. Dia sekarang senang dengan warna monokrom.

"Kakak akan antar jemput kamu. Nggak usah takut soal itu."

Kakaknya menjawab sambil melangkah ke arah jendela kamar. Dia membuka tirainya dan memberikan pemandangan di luar sana.

"Nanti merepotkan Kak Faiz."

Fariza kini duduk di tepi kasur dan mengamati detil ornamen di kamar itu.

"Za..."

Panggilan itu membuat Fariza menoleh dan menemukan kakaknya kini duduk di sebelahnya.

"Kakak minta maaf."

Permintaan maaf itu membuat Fariza kini menatap kakaknya yang sudah lama tidak mengajaknya bicara. Ada kerinduan yang tersimpan di lubuk hatinya. Kak Faiznya yang baik dan selalu melindunginya.

"Minta maaf buat apa?"

Fariza kini memainkan ujung rambutnya yang tergerai sebahu itu.

"Karena udah buat Iza sedih selama ini."

Perkataan kakaknya itu membuat emosi Fariza tidak terbendung lagi. Dia ingin menangis sejak dulu.

"Kak Faiz jahat sama Iza."

"Iya. Kakak tahu."

"Kak Faiz..."

Fariza tidak bisa melanjutkan ucapannya dan menangis tersedu. Pelukan dari Faiz membuat tubuh Fariza menegang. Sudah sangat lama sekali dia tidak merasakan hal ini.

"Husst, jangan nangis. Iya kakak salah. Maafin ya?"

Tepukan lembut di punggung dan pelukan hangat itu akhirnya membuat Fariza luluh. Dia sudah menemukan kembali kakaknya itu.

"Janji nggak cuekin Iza lagi?"

Anggukan Faiz membuat Fariza tersenyum.

"Kangen."

Rengekan manja itu membuat Faiz kembali terkekeh. Tapi kemudian pelukan itu terurai saat ponsel Faiz berbunyi. Panggilan video call dari sang bunda membuat Faiz langsung menjawabnya.
Wajah bunda mereka terpampang di layar.

"Assalamualaikum, Bun."

Faiz menyapa sang bunda.

"Waalaikumsalam Kak. Udah nyampe Iza nya?"

"Udah Bunda."

Fariza yang ada di sebelah Faiz menampakkan wajahnya di layar. Tapi wajahnya yang sembab membuat sang bunda terlihat khawatir.

"Iza kenapa?"

Faiz menepuk kepala Fariza.

"Biasa Bunda, kangen sama Bunda katanya."

"Ih, enggak Bun. Kak Faiz bohong."
Fariza menyangkal ucapan Faiz dan membuat kakaknya itu tertawa.

"Jangan manja sama Kakak loh kamu Za. Kak Faiz banyak kerjaan kamu jangan buat repot."

Bundanya berpesan seperti itu dan membuat Fariza menganggukkan kepala.

"Enggak Bunda. Tenang aja."

"Eh bocil, kamar lo Kakak tempatin ya?"

Tiba-tiba kakak keduanya Fariz muncul di layar dan langsung mengatakan hal itu. Membuat Fariza memberengut.

"Bundaaa jangan kasih kamar Iza lho entar jadi bau apek."

"Ih udah gue tempatin, wek wek."

Fariz berlari setelah mengatakan hal itu. Membuat Fariza merengek.

"Enggak. Kamu tenang aja. Kamar kamu kuncinya Bunda yang pegang. Ya udah, Bunda lagi masak nih. Nanti telepon lagi ya. Baik-baik di sana. Owh ya Kak, itu obat-obatannya Iza jangan lupa Kakak yang simpan ya? Tahu sendiri Iza tuh pelupa."

"Iya, Bunda. Faiz udah ambil kok. Bunda tenang aja. Salam buat Ayah, uangnya udah Faiz kirim ke rekening ya."

"Kak, nggak usah kirim-kirim lagi. Duitnya kakak ditabung aja. Ayah kan ada uang pensiun juga."

"Nggak apa-apa, Bunda. Faiz udah ada kok."

Fariza mendengarkan pembicaraan Kakaknya dengan Bundanya. Ternyata selama ini, kakak pertamanya itu memang sangat berbakti. Padahal rumah saja sangat kecil dan pastinya Faiz lebih membutuhkan uang lebih.

"Za, kamu mandi dulu sana. Kakak mau buatin kamu makanan. Lapar kan?"

Lamunannya buyar saat pertanyaan kakaknya itu terdengar.

"Iya laper."

"Nanti Kakak panggil."

Setelah mengatakan itu, Faiz keluar dari kamarnya. Fariza menghela nafas. Sepertinya dia akan betah di sini.

Bersambung

Ini sebenarnya mau lsg jadiin pdf tapi kok kangen sama komen-komen kalian di sini. Makanya di up di wp biar rame lagi.
Yuk ramein ya. Biar semangat nulisnya.

ADA CINTA DI RUMAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang