Tujuh: Tunjukkan Empati, Mungkin Dia Akan Mengerti

98 9 3
                                    

Kegiatan posyandu balita di gedung posyandu yang berada satu komplek dengan Balai Desa Sukorukun telah usai. Para Kader Posyandu merapikan barang-barang, seperti tikar pertumbuhan, timbangan, mainan anak-anak, dan lain sebagainya.

Sesuai rencana, Pak Inggi dan istrinya selaku Ketua Tim Penggerak PKK Desa, akan menengok Ratna Ayu, balita 2 tahun yang diduga stunting. Aku turut serta mengikuti beliau berdua bersama Bu Bidan. Tak lupa oleh-oleh yang sudah kami siapkan kemarin, kami bawa. Ada susu formula, dimsum, beberapa jajanan sehat, dan oleh-oleh lainnya. Semua untuk si anak dan simbah yang merawatnya.

Sayang sekali Simbah juga tidak pernah mengikuti Posyandu Lansia yang juga diadakan di Balai Desa tiap bulan sekali. Kadang, kurangnya pengetahuan, membuat warga menganggap kegiatan semacam posyandu ini tidak penting.

Padahal kegiatan itu ya ada tujuannya, yaitu biar bisa meningkatkan status kesehatan lansia.

Namun, kesibukan Simbah Ratna Ayu sebagai buruh cuci di tetangga, menyebabkannya tidak bisa menyempatkan waktu untuk mengikuti kegiatan di desa.

"Sst, Mas Carikmu kedinginan, tuh," beritahu Pak Hariman padaku yang sedang bersandar di mobil Pak Inggi. Beliau masih ada tamu, sehingga kami menunggunya.

"Lalu?" tanyaku tak mengerti maksud pemberitahuan Pak Hariman.

Kasi Pelayanan di desa Sidorukun itu menggeleng-gelengkan kepala. "Kamu memang tidak punya rasa kepedulian blas, Nduk."

Aku yang tidak mengerti sama sekali hanya menatapnya bingung.

Pak Hariman berdecak. "Dari tadi Mas Carikmu itu bersin-bersin terus di ruangannya. Seduh jahe buat dia sana," perintahnya dengan nada seorang bapak kepada anaknya.

Eh, Mas Carik sakit? Aku kok tidak tahu, ya?

"Eh, nanti kalau Pak Inggi nyariin aku gimana, Pak?" elakku keberatan.

"Enggak papa, biar Bapak yang bilang sama Pak Inggi," kata Pak Hariman meyakinkanku dengan menepuk dadanya, menunjukkan malah dia akan bertanggung jawab sepenuhnya.

Aku berpikir sejenak.

"Tips selanjutnya dariku, sentuh hati Mas Carikmu itu dengan minuman seduhanmu sendiri." Pak Hariman masih berusaha meyakinkanku. Aku jadi curiga, deh. Kok dia semangat sekali jodohin aku sama Mas Carik, sampai memberi tips-tips segala.

Namun, akhirnya aku menuruti nasihatnya juga. Namanya juga usaha. Ya, kan? Entah ada maksud tersembunyi apa dari Pak Hariman, yang penting aku bisa menarik perhatian Mas Carik.

Setelah menyeduh jahe di dapur kantor, aku membawanya ke ruangan Mas Carik. Pak Hariman tidak bohong, Mas Carik memang bersin-bersin dari aku masuk dapur sampai aku selesai membuat wedang jahe. Suaranya terdengar hingga ke dapur. Aku jadi khawatir. Dia itu kalau sakit, kok tidak izin saja tadi.

Aku mengetuk pintu ruangan Mas Carik, ketika sekali lagi terdengar suara bersinnya. Tanpa menunggu dipersilakan, aku langsung masuk saja ke ruangannya.

"Jangan dekat-dekat," kata Mas Carik agak keras ketika melihatku, sampai aku kaget dan hampir menumpahkan isi cangkir di tanganku. Dia mengangkat tangannya menunjukkan isyarat stop, agar aku tidak lebih dekat padanya.

"A... aku cu... ma mau ngantar wedang jahe, kok," terangku terbata, akibat kaget dengan nada suara Mas Carik yang tidak biasanya. Dia memang sekarang jarang tersenyum, tetapi dia tidak pernah bicara kasar.

Mengerti akan situasiku, dia meminta maaf.

"Maaf, aku cuma takut kamu tertular. Fluku parah banget," kata Mas Carik memberi alasan atas sikapnya tadi. Kuhitung tiap jeda kata, dia selalu bersin. Benar-benar parah.

"Kamu taruh saja wedangnya di meja," lanjutnya, masih dengan suara yang keluar dari hidungnya.

"Setelah itu, kamu segera keluar. Jangan sampai kamu tertular," usir Mas Carik, selagi aku masih meletakkan cangkir di mejanya.

"Mas sebaiknya ke dokter, deh. Muka Mas juga merah. Pasti parah banget sakitnya," kataku peduli.

"Iya... huacim... Tadi aku... huacim... Sudah minta obat sama Bu Bidan, kok. Huacim...." Dia benar-benar tak bisa berkata-kata dengan baik akibat sakit flu.

"Harusnya tadi enggak usah masuk kantor, kan. Nanti malah tambah parah," omelku masih dengan rasa peduli.

"Nanti kalau Pak Inggi selesai kunjungan ke rumah warga, aku pulang, istirahat. Kasihan warga kalau mau minta tanda tangan buat dokumen yang harus segera diurus, kalau enggak ada yang bisa tanda tangan di sini." Mas Carik masih saja memberi alasan. Tentu saja selalu disertai suara bersin yang bertubi-tubi.

Huh! Ingin kucubit dia, karena masih ngeyel saja. Susah memang nyuruh istirahat orang yang rajin seperti dia.

"Baiklah. Nanti kalau tidak ada warga yang butuh pelayanan, Mas harus istirahat. Di musala juga bisa, sebelum Pak Inggi datang," kataku yang lebih menyerupai perintah.

Mas Carik hanya mengangguk, karena hidungnya tak mau diajak kompromi. Lagi-lagi hidungnya mengeluarkan suara dan cairan, yang langsung diusapnya dengan tisu.

Aku menghela napas. Masih tidak rela dia masuk kantor di saat sakit seperti ini.

"Sudah sana, kamu ditungguin Pak Inggi, tuh," usir Mas Carik sekali lagi.

Aku tidak membantah lagi, dan keluar dari ruangannya. Ternyata tamu Pak Inggi belum pulang juga. Jadi aku pun menunggu lagi di pendopo desa bersama Bu Kades dan Bu Bidan, seraya berdoa untuk kesembuhan Mas Carik. Kalau dia sakit, rasanya aku kok ikut sakit. Seperti inikah cinta?

**

Nina lebay, ya. Hahaha...

Alhamdulillah, akhirnya aku bisa ngelanjutin Mengejar Cinta Mas Carik lagi.

Semoga setelah ini, bisa nulis rutin lagi. Hehehe...

Salam ❤️
Nadhiro

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 27, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MENGEJAR CINTA MAS CARIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang