Dua: Tempel Terus, Jangan Melempem

79 14 6
                                    

"Gantengnya ...." Aku terus menatap Mas Carik yang sedang melayani seorang ibu untuk mendapatkan surat pengantar mengurus Kartu Keluarga di kecamatan.

Sebenarnya itu bukan tugas Mas Carik. Namun, karena hari ini Pak Hariman sebagai Kasi Pelayanan ada urusan di luar, sedangkan pegawai desa bagian pelayanan sedang cuti melahirkan, jadilah orang kedua di desa Sidorukun itu turut ambil bagian di bagian pelayanan.

"Berkedip, Nina. Berkedip," bisik Mbak Yani usil, tepat di telingaku. Membuatku geli.

Aku melotot marah padanya. Lagi enak-enaknya memandang lelaki yang kusukai malah diganggu. Namun, yang mendapat pelototanku malah tertawa terbahak-bahak bersama perangkat desa yang lain. Membuatku makin cemberut saja.

Entah bagaimana, baru satu bulan ikut membantu di kantor desa, Pak Inggi atau Kepala Desa dan Para Perangkat Desa tahu kalau aku menyukai Mas Carik. Anehnya, Ilham Adinata, Sang Sekretaris Desa itu, seolah buta akan semua perasaanku. Aku tak bisa menduga-duga, apakah dia memang tidak tahu atau pura-pura tidak tahu.

Aku sih, cuek saja. Perasaanku adalah urusanku. Sedangkan perasaannya adalah urusannya. Kalau nanti perasaanku dan perasaannya bisa nyambung, baru menjadi urusan berdua.

"Hari ini Mas Carik ada acara apa, Mbak?" tanyaku pada Mbak Yani, si Kaur Keuangan di desa kami.

"Kamu mau ngikutin dia lagi?" tanya Mbak Yani heran.

Aku mengangguk.

"Coba lihat website desa kita. Atau Facebook dan Instagram kita," kata Mbak Yani seraya bersedekap. Matanya melihatku sinis.

"Memangnya ada apa?" tanyaku tak mengerti. Tak urung, aku membuka juga Instagram Desa Sidorukun melalui ponselku. Padahal aku hafal isinya. Semua informasi tentang desa selama sebulan ini, aku yang mengunggahnya. Namun, siapa tahu ada hal baru yang aku tidak tahu, mengingat bukan hanya aku yang tahu username dan password sosial media milik desa.

"Sudah tahu yang kumaksud?" tanya Mbak Yani lagi.

Aku menggeleng, dengan mata yang masih menatap halaman ponsel.

Mbak Yani geleng-geleng kepala dan meraih ponselku. "Mas Carik melayani warga. Mas Carik menghadiri rembuk warga. Mas Carik mendampingi pegawai Dinas Pekerjaan Umum mengecek pembangunan jalan desa. Mas Carik lagi apa. Mas Carik lagi. Lagi-lagi Mas Carik. Lihat, semua foto Mas Carik. Pak Inggi bahkan tidak ada liputannya sama sekali. Seolah Pak Inggi tidak melakukan apa-apa. Padahal beliau kan sama sibuknya."

Aku menggaruk kepala yang sesungguhnya tidak gatal. Sampai seperti itukah aku terobsesi sama Mas Carik?

"Kamu tahu tugasmu, kan?" Mbak Yani lagi-lagi bertanya.

Aku mengangguk lemah. Tentu saja aku tahu. Aku ini bukan perangkat desa, sebagaimana pegawai lain di sini. Aku adalah Pegawai Desa dengan Perjanjian Kerja. Tugas utama yang diberikan padaku adalah mengurus semua publikasi desa. Sistem informasi desa yang menyangkut semua berita dan kegiatan Pemerintah Desa pasti aku upload di website dan sosial media milik desa. Makanya aku sering mengikuti acara-acara penting yang ada di desa. Namun, fokusku memang selalu pada Mas Carik kesayanganku.

Habis bagaimana ya, aku sudah naksir dia sejak akhir masa SMA. Waktu itu Mas Ilham, yang sekarang selalu kupanggil Mas Carik itu, baru menduduki jabatan Sekretaris Desa. Saat itu usianya masih 26 tahun. Menurut kabar, setelah lulus sebagai Sarjana Ekonomi di usia 22 tahun, dia sudah bekerja di perusahaan internasional. Lalu, ibunya jatuh sakit. Sebagai anak satu-satunya, dia harus pulang karena permintaan ibunya. Kebetulan waktu itu ada tes penerimaan Sekretaris Desa. Dia ikut seleksi dan diterima. Benar-benar anak yang berbakti kan?

"Kami tahu kamu itu naksir berat sama Mas Carik. Tapi ya mbok jangan nempel Mas Carik terus. Sebagai perempuan, apa kamu tidak malu nempelin Mas Carik terus?" Kali ini Mbak Asiyah, Kasi Pemerintahan, yang menimpali.

Mbak Yani dan Mbak Asiyah ini memang teman curhatku. Mereka ini masih cukup muda. Usianya baru awal 30-an, sudah menikah dan masing-masing memiliki dua orang anak. Ngobrol dengan mereka seru. Kadang bisa jadi teman, kadang juga bisa jadi kakak yang bisa memberi nasihat.

"Hm, maksudku ya, biar Mas Carik itu cuma lihat aku, Mbak. Biar enggak ada kesempatan buat perempuan lain yang mau dekat-dekat dia," jawabku beralasan.

"Iya kalau bisa begitu. Kalau dia bosen sama kamu gimana? Soalnya yang di dekatnya kan kamu lagi, kamu lagi." Mbak Yani menasihati.

Aku berpikir sebentar. Benar juga, kalau Mas Carik bosan sama aku bagaimana? Tak ada gunanya dong, aku mendekatinya.

Aku terdiam lama. Lalu mengepalkan tangan. Baiklah, mulai sekarang aku akan menjaga jarak sama Mas Carik. Mungkin main tarik ulur, malah bisa membuatnya melihatku.

Baru saja aku membuat keputusan itu, tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku. "Nina, ayo ikut aku!"

Sesaat aku terpaku, karena yang yang punya suara sudah ada di depanku. Ganteng banget.

"Jangan dengerin Mbak Yani sama Mbak Asiyah. Kamu tetap harus ngikutin aku. Ayo, kita mengecek warga sakit yang tidak punya KIS PBI*," kata Mas Carik yang sudah ada di depanku.

Aku melongo. Itu benar Mas Carik yang ngomong, kan? Kok terdengar merdu di telingaku.

Tiba-tiba semangatku bangkit. Apanya yang harus malu-malu. Apanya yang harus tarik ulur. Aku Brillian Karenina, Pegawai Desa dengan Perjanjian Kerja yang menguasai sistem informasi desa. Seperti saat melamar sebagai pegawai desa, aku memantapkan diri untuk mengejar cintaku. Kali ini pun aku tetap akan mengejar cintaku. Pokoknya, tempel terus, jangan melempem. Sampai diterima atau dia menyatakan menolak.

****

Catatan kaki:
* KIS PBI (Penerima Bantuan Iuran) adalah jaminan kesehatan untuk  peserta yang tergolong fakir miskin atau tidak mampu yang iurannya dibayarkan oleh Pemerintah.

🎀🎀🎀🎀🎀🎀🎀🎀🎀🎀🎀🎀🎀🎀

Mari kumpul sini. Baca lagi, yuk... Mau dipublikasikan besok, kok enggak sabar. 😁

Happy reading

Salam ❤️
Nadhiro

MENGEJAR CINTA MAS CARIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang